Bab 98 :
Keluarga Titin

Ketika aku berkunjung dan berniat ziarah ke kampung halamanku pada tahun 1996, setelah lebih 35 tahun tak pernah menginjakkan kaki di tempat kelahiranku, Belitung, aku ditemani oleh abang sepupuku, Rakhman. Bang Man, begitulah aku memanggilnya, sudah tampak tua. Sudah pensiun. Dan memang dia lebih tua 3 tahun dariku. Tapi tampaknya masih bisa diajak bergurau, bercanda. Kami dulu ketika masih kecil, bisa berkawan, juga pernah berkelahi, bertinju. Karena kami sepupu, satu nenek satu kakek, maka dia sering menginap di rumah kami, dan akupun sering menginap di rumahnya.

Mengenangkan masa kecil, sama-sama nakal, betapa bahagianya. Dan ketika tahun kepulanganku itu, kami jalan mengelilingi kampung Baro, yang letaknya agak rendah. Dulu perumahannya tidak begitu teratur. Kini sudah bagus, sudah banyak perubahan. Dan agak sulit mengenalinya, karena perubahan yang baik itu. Dulu rasanya ada bandar, parit yang besar sekali. Ada rumah yang letaknya seakan-akan menantikan ambrol, runtuh, karena dipinggir tebing. Kini rumah yang dulu lebih 35 tahun yang lalu itu, sudah tidak ada lagi. Lubang besar, parit dan yang merupakan lembah kecil itu sudah tertutup. Sudah banyak pepohonan, dan perumahan tak perlu lagi kuatir ambrol dan longsor.

Kami jalan lagi ke tempat-tempat dan perumahan sekitar kampung kami. Kampung kami namanya Pangkallalang. Sebelahnya nama kampung itu Air Pancor, lalu Kampung Ujung. Agak menjauhi kota Tanjungpanadan, ibukota kabupaten Belitung, namanya Air Ketekok. Ada sebagian kampungnya yang tampak tidak begitu terpelihara, banyak rerumputan, semak-semak. Di sebuah rumah yang sudah agak hancur dan tampak tak didiami, tiba-tiba saja Bang Man terdiam, dan akupun terhenti. Bang Man melihatku agak lama. Akupun melihatnya, ada apa ini. Dan sambil dia mengerenyitkan mata dan kerut-kerut keningnya, dia bertanya : "Masih ingat tidak kau, rumah siapa dulu itu?". Aku memeras ingatan. Seakan-akan masih ingat. Lalu pikiranku menerawang ke belakang waktu, puluhan tahun yang lalu. "Rasa-rasanya masih ingat. Apakah bukannya rumah kak Titin dulu itu?", kataku. "Betul. Lalu masih ingat tidak apa yang terjadi dengannya, ketika malam-malam kita terbangun pagi-pagi sekali dan mengintip dia menyanyi?". Lagi-lagi aku memeras ingatan. Sekali ini jalan pikiranku sudah pulih buat menggali ingatan dengan leluasa.

Keluarga kak Titin yang kami tahu ada adiknya laki-laki, namanya Bahani. Dia ini meninggal muda. Lalu adiknya yang perempuan, namanya Sabut. Mengapa dinamai Sabut, kami tak tahu. Dan Sabut ini cukup cantik. Kak Titin-pun sebenarnya juga cantik. Yang kami tahu lagi, sekeluarga ini kena sakit ingatan, kurang akal, kasarnya gila. Nah, sekarang ingatanku pulih sudah.

55 tahun yang lalu, ketika kami masih kecil, umurku sekitar 6 tahun, dan Bang Man sekitar 8 atau 9 tahun, suatu malam kami terbangun. Yang kami tahu ketika itu hampir pagi, sudah lewat jam 03.°°. Aku sedang menginap di rumah Bang Man. Kami terbangun karena mendengar suara orang menyanyi. Lalu kami mengintip dari jendela kaca rumah Bang Man. Sebenarnya kami takut, takut dan ngeri sekali. Tetapi karena mau tahu, siapa yang sedang menyanyi di pagi buta itu, kami berani-beranikan diri sambil diam-diam, berginjit kaki melihat keluar. Tampak kak Titin menyanyi dengan suaranya sangat bagus. Malam itu bulan sangat terang, tak ada angin, tenang. Kak Titin menyanyi. Berganti lagu, lalu diam. Lalu berkata-kata, bicara. Kepada siapa? Yang tampak ada seekor kucing yang diikat pada lehernya, ditambatkan dekat pohon bunga bougenville. Lalu ada seeekor ayam, juga ditambatkan. Dan ada seekor burung bayan, jenis kakaktua, juga ditambatkan dekatnya. Tampaknya kak Titin mengajar makhluk-makhluk itu. Mungkin dalam pikirannya semua itu adalah muridnya.

"Ayo dengarkan baik-baik. Dengar saya dulu ya, sudah itu kamu semua, harus bisa ya, harus!". Lalu kak Titin menyanyikan lagu Cempaka Putih, lagu lama, angkatan kakak-kakak kami, yang kami sendiri tak pernah menyanyikannya, tetapi masih ingat kata-katanya. Lalu berganti lagu Mawar Merah. Mawar Merah, mawar menyala, harum mewangi semerbak berseri dan seterusnya. Suaranya sungguh jernih. Dan dengan suasana malam yang begitu sepi, dengan terang bulan sinar kencana, menambah suasana bertambah sedih sepi dan ngeri. Bayangkan tengah malam buta, ada orang menyanyi bagus dan menyayat hati. Kami terdiam, kami merenung. Dan padaku ada terasa sangat kasihan, tetapi aku merasa sangat takut dan ngeri.

Kata orang, pada malam bulan teranglah, orang gila akan selalu kambuh penyakitnya. Kukira keadaan yang kami lihat itu menambah kebenaran pendapat ini. Sebab selalu sesudah itu kak Titin apabila bulan terang, antara bulan 13 sampai dengan 17, selalu berada pada arena - panggung nyanyiannya. Sebuah pelataran yang sekelilingnya ada beberapa pohon bougenvile, flamboyan, dan cempaka, dekat rumah Lurah Haji Abussama, termasuk keluarga kami yang sudah jauh.

Orang-orang, tetangga sekitar situ, tentu saja tidak akan mengusirnya. Tetapi jelaslah terganggu, dan sangat merasa kasihan, sedih, tetapi apa akal? Di kampung kami tidak ada rumahsakit gila buat perempuan, tetapi buat laki-laki memang ada. Dulu pernah kami dengar, kak Titin mau dimasukkan ke sana. Tetapi banyak orang-orang menentang pendapat itu. Karena sebenarnya kak Titin kalau ketika pikirannya sedang waras, dia berlaku seperti orang normal saja adanya. Ketika dia penyakitnya kambuh, barulah dia akan bertingkah abnormal. Dan itupun tidak mengganggu orang, hanya orang-orang akan menjadi terganggu. Dan itupun karena ulah dan perilakunya yang suka menyanyi tengah malam buta itu. Bahkan diam-diam kurasa orang-orang akan sangat senang mendengarkan nyanyian dari suaranya yang indah bagus itu.

Sambil berdiaman kami di depan rumah yang sudah hampir roboh semuanya itu, tersadar diriku, sedang mengapa kami berdua Bang Man ini. "Lalu di mana dia sekarang Bang Man?" "Kak Titin sudah lama meninggal". "Adiknya si Sabut itu?" "Juga sudah meninggal, tapi ada keturunannya". "Maksudnya keturunan yang bagaimana?" "Sabut punya anak, katanya malah ada dua. Tapi suaminya tidak ada." "Jadi bagaimana ceritanya?" "Siapa yang mau kawin dengan orang gila. Hanya perkosaan dan paksaan yang bisa menjadikannya hamil dan punya anak. Dan itulah anaknya", kata Bang Man. Ketika itu dalam hati yang dapat kuucapkan : astagafirrullah sampai hatinya memperkosa orang gila, dan sampai punya anak lagi.

"Lalu di mana anaknya itu?". "Anaknya sudah lama pindah ke sebuah pulau, tentu kau tahu Pulau Seliu", kata Bang Man. Aku tahu dan pernah ke Pulau Seliu, satu malam pelayaran dengan perahu biasa. "Lalu cerita lainnya tentang keluarga Sabut dan keturuannya itu?", kataku lagi mau tahu lebih banyak. "Anaknya itu, lalu punya anak lagi. Dan sudah dewasa, katanya sudah bekerja di perusahaan pertambangan timah. Jadi artinya cucu si Sabut, cucu ponakan dari Kak Titin. Agaknya mereka pindah dan menjauhkan diri dari kampung kita ini, kemungkinan besar buat menghilangkan jejak. Mana ada orang mau mengawini dan kawin dengan orang keturunan gila. Kalau terus di sini, tentulah akan sangat sulit bagi kehidupan mereka", kata Bang Man. "Tetapi apakah lalu semua anak cucunya lalu jadi gila, tidak waras semua turunannya?", kataku mau tahu. "Yang kudengar sih tidak semua turunannya. Cucu si Sabut dan cucu ponakan Kak Titin ini malah kudengar baik-baik saja, dapat kedudukan yang baik di PPTB, Perusahaan Pertambangan Timah Belitung. Tapi lebih terperincinya kita tidak begitu tahu, sebab sudah sangat jauh tinggalnya dari kampung kita ini",- kata Bang Man.

Dalam hatiku semoga sajalah mereka sehat-sehat dan tidak menurun penyakitnya itu, dan tidak pula diasingkan oleh masyarakat seperti di kampung kami ini dulunya itu. Dan semoga anak-anak lain, yang "pangkatnya" cucu kami, tidak lagi mendengarkan cucu-cucu dan keturunan Kak Titin maupun Sabut pada menyanyi di pelataran sekitar pohon-pohon bunga di dekat rumah Pak Haji Abussama lagi. Ingat ketika itu betapa banyak perasaan bercampurbaur dalam hatiku : takut, ngeri, sedih dan sangat iba rasanya hati mendengarkan nyanyian yang sesungguhnya begitu merdu dan sahdu. Sungguh kasihan pada Kak Titin yang sudah lama almarhum itu. Dan suaranya yang menyayat hati pendengarnya, sebenarnya banyak doa dipanjatkan agar Kak Titin sembuh dari penyakitnya, tetapi kami orang-orang kampung tak tahu apa yang mesti kami buat ketika itu,-

Paris 19 Mei 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.