Bab 96 :
Cerita Sekitar Agama dan Doa, Bagian Satu,-

Tidak sedikit teman atau orang yang ragu-ragu, bagaimana sikapku, atau sikap kami terhadap agama. Maksud kami di sini yalah sekitar keluargaku. Kalau kuceritakan bahwa pada pokoknya semua saudaraku, abangku dan aku sendiri sejak kecil ditanamkan menaati agama. Mengaji, sembahyang atau shalat, sejak kecil kami lakukan. Ada teman atau orang yang heran setelah kuceritakan bahwa kami semua tamat Al-Quran, khatam. Ada yang mau menyanggah : "akh masaksih, apa betul abangmu itu juga tamat Quran? Kan dia gembongnya PKI. Apa bisa baca Quran?!".

Kukatakan dia bisa bahkan tamat baca Quran. Setiap kami menamatkan Al'Quran, selalu diadakan kenduri sederhana. Membuat gegunungan dari nasi-kuning dan ditancapkan berbagai telur rebus yang ditusuk dengan lidi dari bambu. Biasanya telur itik. Nasi kuning itu dihias begitu rupa seperti tumpeng di Jawa, dengan campuran lauk-pauk dipinggirnya, teri-goreng, kacang-goreng, dadar-telur yang diiris halus, emping-goreng, kerupuk dan ayam-goreng. Yang kuingat benar, tak ada di antara kami yang tidak beragama, apalagi yang anti-agama. Sesudah besar dan dewasa, barulah punya pikiran yang luas-bebas, dan ada yang seakan-akan melepaskan agamanya. Pengertian melepaskan di sini yalah tidak lagi seperti dulu, sudah tak mengaji lagi, tidak shalat lagi. Tetapi tidak ada yang anti-agama. Pengertian anti-agama dengan tidak beragama samasekali lain. Tidak beragama dengan anti-Tuhan juga sangat berbeda. Tidak beragama dapat diistilahkan vrij-denker, tetapi anti-agama lebih keras dan berupaya menghalang dan menghadang orang yang beragama, termasuk menghalang dan menghadang orang-orang yang melalukan ibadah agama, ritual agama. Dan yang berkategori begini, tidak seorangpun ada di antara keluargaku.

Aku sejak kecil sampai ketika "jaya-jayanya PKI" sampai tua begini ini, tidak pernah anti-agama dan anti-Tuhan. Sejak dulu aku selalu mengakui adanya Tuhan dan merasa diriku tetap beragama, dan melakukan berdoa selalu walaupun tidak shalat, tidak sembahyang, tidak puasa. Bagaimana bisa menjadi anti-agama, anti-Tuhan, sekeluarga kami selalu berada di tengah kehidupan orang-orang dan keluarga yang taat beragama. Ayahku sendiri adalah salah seorang pendiri perkumpulan Nurul Islam di Belitung pada tahun 1936. Nurul Islam ini adalah organisasi ke-Islaman yang orientasinya banyak ke Muhammadyah di Jawa, Yogyakarta ketika dulu itu.

Sampai hari tuanya, ayah bila sedang berada di Jakarta di rumah anaknya yang "benggolan dan kepala PKI" itu tetap sembahyang. Sampai kini seorang abangku yang "lepasan Pulau Buru selama 13 tahun di sana" adalah seorang haji. Beberapa kali ketika aku menilpunnya dari Paris di Depok, selalu isterinya menjawab bahwa dia sedang di mesjid. Dalam hatiku, "nah, ini betul-betul haji luardalam". Ketika dulu dia bertemu denganku di Jakarta di tempat penginapanku, ketika tengahhari lewat sedikit, dia mengajak anaknya, agar menuju langgar ( surau ) terdekat, buat sembahyang lohor! Ketika itu aku betul-betul merasa terharu. Dulu akulah yang merasa lebih islam dari dia, ternyata kini dia betul-betul islam luardalam!

Ada orang mengatakan bahwa PKI itu anti-agama, tidak beragama, atheis. Kukira ini benar, sebab PKI itu bukan orang, dia adalah partai, organisasi, tak ada agamanya. Golkar dan PDI-pun tak ada agamanya! Kalau berbicara perorangan, nah, barulah jelas. Jangan dicampuradukkan antara partai, organisasi dan orang perorang. Dalam PKI, sudah tentu ada orang-orang yang tidak beragama, seperti juga dalam Golkar dan PDI, tentulah di dalamnya ada orang-orang yang tidak beragama. Lain halnya kalau di dalam NU dan Masyumi, atau PPP atau Partai Bulan Bintangnya Yusril, mungkin tak ada orang yang tak beragama, namanya saja partai berlandaskan agama.

Ketahuilah, sejarah PKI yang mula-mula adalah Syarikat Islam (Merah,)dari embrionya yang landasannya justru agama! Sedangkan orang-orang PKI angkatan pertama tahun-tahun 20-an, terutama yang memelopori pembrontakan bersenjata mula-mula melawan penjajahan Belanda tahun 1926, kebanyakannya adalah orang-orang santri, dan haji! Dan yang dibuang ke Tanah Merah di Digul itu kebanyakannya adalah orang-orang yang justru sangat taat beragama.

Ditulisan ini aku sebenarnya mau mengatakan bahwa adalah tidak benar bahwa PKI itu tidak beragama atau anti-agama atau anti-Tuhan. Yang benar adalah, memang ada orang-orang PKI yang tidak beragama, ini secara perorangan. Sebagaimana juga, tentulah ada orang-orang yang tidak beragama di Golkar atau PDI, atau yang lainnya, selain di NU, PPP atau Bulan Bintang tadi itu. Tetapi kalau sampai anti-agama dan anti-Tuhan, menurutku tidak ada dalam peraturan-dasar, anggaran-dasar, dan konstitusi di partai dan organisasi itu.

Tentu saja ada-ada saja bahan perdebatan tentang agama dan Tuhan, tetapi kalau diperdebatkan bakal tak habis-habisnya dan hasilnya takkan ditemukan, karena masalahnya sangat individual, antara dirikita, antara perorangan dengan Tuhan-nya masing-masing.

Sampai kini karena pendidikan agama di kampungku dulu itu, aku masih bisa membaca Al-Quran. Di SR, Sekolah Rendah, lalu jadi Sekolah Rakyat, lalu menjadi Sekolah Dasar ( SD ), di kampung kami di Belitung, kami diajarkan huruf Arab. Namanya huruf arab-gundul. Karena tidak pakai tanda, baris, harus tahu sendiri mencari dasar katanya. Huruf Arab yang tidak gundul, ya, itu di dalam bacaan Al-Quran. Karena pada umumnya anak-anak yang bersekolah di Sumatra diajarkan huruf arab-gundul, maka kami semua bisa membaca dan menulis dengan pakai huruf arab, sampai kini. Dan karenanya bisa juga membaca Al-Quran.

Aku ingat benar ketika dulu itu, yang kebetulan kami sama rapat para guru di Beijing. Bila isteriku atau aku sendiri pulang duluan ke rumah, selalu kami berpesan pakai surat tertulis kecil dalam tulisan arab. Yang orang lain tidak akan dapat membacanya, yang isinya sangat pribadi, misalnya : " jangan lupa kalau kau pulang duluan, angkat jemuran, jangan sampai kehujanan" atau " makanlah duluan, lalu mandikan anak-anak sebelum tidur" atau jenis pesanan lainnya. Ini karena banyak orang lain, jadi sulit ngomong berhadapan, dan lagi lebih praktis pakai tulisan arab-gundul itu.

Karena namanya saja arab-gundul, tak ada tanda baca a, i, atau u, atau e dalam ekor, maka kalau salah baca bisa berabe! Kami dulu ada bacaan namanya Hikayat si Miskin, tentang cerita Mara Karma, sebuah buku agak tebal, tetapi dengan huruf arab-gundul. Lalu ada bacaan buku yang terbitan Medan. Dalam buku itu ada kata-kata yang sama tulisannya tetapi lain bacaannya. Dan inipun berdasarkan logika, bukan asal terka sembarangan. Dan inilah uniknya tulisan arab-gundul itu. Misalnya ada kalimat " ada kumbang hinggap di atas kembang.Lalu kambing datang maka kumbangpun terbang", kalau salah baca bisa menjadi "ada kambing hinggap di atas kembang, datang kumbang lalu kembang terbang"! Karena apa, tulisan kembang, kambing dan kumbang, sama saja, sama persis!

Ketika kami mendapat pelajaran pengajian dulu itu, karena sudah bisa membaca hurufnya, maka kami bisa berinisiatif sendiri, pindah atau meneruskan bacaan secara bebas Al-Quraan yang begitu tebalnya. Al-Quran yang 30 jus itu, biasanya kalau bulan puasa dibaca bersama, satu malam satu jus atau lebih sedikit, sehingga menjelang lebaran, akan tamat sejumlah 30 jus. Tidak mungkin dibaca sendiri, atau sangat melelahkan dan luarbiasalah! Karena sudah bisa baca sendiri, kita bisa agak ngebut dalam pengajian, namun guru mengaji kita, akan selalu memperhatikan dan tahu benar di mana kesalahan kita, di mana tekanan suaranya yang kurang afdol, di mana tajwidnya yang kurang dengung dan tekanan. Beliau akan selalu tahu dan memperhatikan murid-murid mengajinya. Yang sedapnya yalah kami tahu dan pandai mengaji, tetapi kami tidak tahu apa arti bacaan itu! Apa ceritanya bacaan itu. Kami hanya membaca, mengeja dan melagukan, tetapi samasekali tak tahu apa artinya semua itu. Kecuali kalau ada pengajian khusus, ada "guru besarnya" yang datang ke surau kami buat mengajarkan secara khusus pula.

Rasanya dan pada kenyataannya, tidak akan ada di antara kami yang begitu sampai hatinya sampai bisa menjadi anti-agama dan anti-Tuhan. Karena kehidupan kami dulu itu betul-betul sangat meresap tertanam dalam, dan lagi tak ada rasa penyesalan atau merasa dibohongi atau tertipu oleh kehidupan beragama ketika dulu itu. Kalau sampai tidak menjalankan upacara agama dan suruhan serta kewajiban beragama, masih dalam pengertian yang bisa diterima akal. Walaupun hukumnya tetap saja sebuah dosa, dan itupun entahlah, tak dapat dipegang teguh karena aku bukan lagi orangnya yang sedang memperdalam agama.

Paris 16 Mei 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.