Bab 79 :
Sejumput Kenangan Buat Ayah, Bagian Dua — Habis

Di Pulau Belitung sejak dulu sampai satu waktu tertentu tidak ada sawah. Penduduknya berhuma, membuka tanah buat ditanami padi kering. Seperti halnya di Kalimantan dan bagian Sumatra tertentu, mereka berhuma, membuka ladang. Cara begini terlalu banyak menghabiskan hutan, penebangan pohon yang tak terbatas, dan secara ekonomis cukup merugikan. Dan karena selalu berpindah, jadinya tanah yang ditinggalkan tidak efektif. Dan sesudah bertahun-tahun barulah menjadi hutan lagi. Sedangkan berhuma, berladang itu, terlalu banyak menguras tenaga, karena selalu harus membuka tanah baru, huma baru, ladang baru. Begitu selesai padi diketam, dipanen, harus segera memikirkan ke mana lagi berpindah membuka huma baru itu. Dan demikianlah setiap tahun, bertahun-tahun.

Rupanya pemerintah Jepang ketika itu, berpendapat, penduduk Belitung harus membuka sawah sebagaimana halnya di Jawa, bagian Sumatra tertentu. Tetapi bagaimana akal? Penduduknya sudah terbiasa berhuma, membuka tanah dengan menebang hutan, dan lagi mereka tidak ada kemauan buat bersawah yang bagi mereka sangat asing. Dan lagi bukankah pekerjaan ini harus dari nol lagi, harus memulai dari dasar lagi, dan mana ada orang Belitung dan penduduk Belitung yang bisa dan pandai bersawah, tak ada, dan juga tak mau.

Maka bagian-bagian pemerintah daerah Belitung harus mencari akal, bagaimana caranya "mengajar" penduduk yang sudah terbiasa berhuma itu, memulai "belajar" bersawah. Lalu siapa yang mengajar? Sebab semua penduduk Belitung belum tahu, belum mengerti apa dan bagaimana itu bersawah. Maka pilihan jatuh ke tangan bagian kehutanan, jawatan kehutanan, penilik dan pengawas kehutanan harus mencari akal, bagaimana "membiasakan" penduduk Belitung mulai bersawah, belajar bersawah! Singkat cerita, ayah yang menjadi pegawai kehutanan sudah puluhan tahun, diberi tanggungjawab buat "mencuri" orang Jawa. Datang ke tanah Jawa dan membawa orang-orang Jawa yang terbiasa bersawah itu. Kenapa seolah-olah dikatakan "mencuri"? Karena ketika itu tidak ada istilah transmigrasi bagi Pulau Belitung, tidak ada penampungan buat keperluan tersebut! Dan banyak pendapat yang menyatakan, tanah Pulau Belitung tidak baik buat persawahan.

Pada kenyataannya memang penduduk Belitung punya matapencaharian seimbang antara petani huma dengan nelayan dan buruh serta pegawai. Belitung terkenal dengan hasil pertambangan timahnya, dan pernah menjadi andalan pemerintah, sebagai pulau penghasil timah di antara tiga besar : Pulau-pulau Bangka, Belitung dan Riau Kepulauan, Singkep, Tanjungpinang. Ketika masa jayanya boom-timah, penghasilan dan kehidupan penduduk Belitung cukup baik. Cita-cita anak-anak muda kebanyakan bagaimana agar bisa menjadi pegawai staf di PPTB, Perusahaan Pertambangan Timah Belitung. Suatu maskapai, perusahaan yang sedang jaya-jayanya, dengan perumahan, pendapatan gaji, salaire yang sangat menggiurkan. Perumahan pegawai staf, pegawai tingginya, rata-rata punya rumah besar, gedung mentereng, di antaranya yang bekas kepunyaan pegawai Belanda dulu. Kompleks perumahannya bagaikan kota dalam kota, mewah dan megah.

Ayah ditugaskan mencari dan "mencuri" orang-orang Jawa ke tanah Jawa. Pemerintah Jepang akan selalu berkoordinasi dengan pemerintah Jepang yang ada di Jawa, kalau-kalau ayah menemui kesulitan, misalnya ditangkap atau dicurigai. Sebab proyek ini bukan proyek resmi pemerintah yang sudah solid dan terkoordinasi. Tetapi proyek pemerintah daerah yang dikuasai Jepang, dan tak ada hubungan dengan pemerintah pusat di Jawa dan Jakarta. Karenanya ayah dipersiapkan kalau-kalau menemui kegagalan dan penangkapan, ditahan di Jawa, maka pemerintah daerah akan "membelanya".

Tentu saja ayah juga bukannya dengan tenang, tetapi ada juga ketegangannya, dan juga kami, serta jawatan ayah di mana beliau bekerja. Dan dalam jangka waktu dua bulan tibalah sebuah perahu besar yang membawa keluarga orang Jawa dengan 33 kepala keluarga dan lebih seratus orang dengan anak-anaknya. Perahu ini perahu Bugis yang selalu berlayar antara Jawa Sumatra, Kalimantan, dan selalu juga singgah di Belitung. Mereka berangkat dari Semarang, dan pada umumnya tidak menemui kesulitan dengan aparat penguasa. Tetapi malah lebih banyak kesulitan lainnya, dalam meyakinkan orang-orang itu. Sebab pindah kehidupan ke daerah lain, bukannya mudah. Orang-orang itu dijanjikan akan mendapatkan tanah seberapa mereka kuat buat mengusahakannya. Tetapi tetap sawah, dan dengan tujuan mengajarkan bersawah kepada penduduk Belitung. Dan karena Belitung itu sangat jarang penduduknya, dan tanah masih cukup luas, maka janji-janji itu samasekali bukannya bohong. Benar-benar mereka mendapatkan tanah seberapa mereka sanggup mengusahakannya.

Dan tokh menurut pemerintah, hasil padinya tetap buat keperluan Pulau Belitung, kecuali berlebihan buat dijual ke luar daerah. Dan setelah dua tiga tahun, pada pokoknya semua orang Jawa itu merasa puas, dari hanya berumahkan pondok darurat, papan, lalu lama-lama menjadi gedung, dan tidak pula sulit buat kalau mereka mau melihat keluarganya di Jawa. Sebab hubungan Pulau Belitung dengan Jawa, sangat mudah, tidak jauh, dan hubungannya ramai dan sering. Dan sejak itulah penduduk Belitung sudah "mau belajar" bersawah dari saudaranya orang-orang Jawa itu. Dan sejak itu pulalah Belitung tercatat sebagai pemula orang-orang membuka sawah di Belitung, sebelumnya, ratusan tahun sebelumnya, mereka hanya berhuma, mengharapkan padi kering yang setahun sekali itu. Kerja dan usaha ayah yang dulu mencari dan "mencuri" orang-orang Jawa, sampai kini keluarga itu masih ada turunannya, dan setiap malam Kemis selalu ada pertunjukan Ketoprak di Kampung Parit di Tanjungpandan. Juga tonil atau drama modern, yang kebanyakannya juga dipentaskan di arena yang sama. Sebab penduduk Belitung yang berasal dari Jawa, sebelumnya juga memang sudah ada. Dengan kedatangan penduduk baru ini, maka lingkup pergaulan mereka menjadi lebih luas dan ramai.

Kuanggap hasil kerja ayah ini adalah hasil yang cukup monumental, ada artinya dan bersejarah sampai kini. Bahwa pada akhirnya penduduk Belitung tetap saja lebih suka berhuma, adalah soal lain. Tetapi satu hal, mereka sudah mengenal sawah dan bisa bersawah. Memang pada dasarnya penduduk Belitung bukanlah petani tradisional, tetapi lebih merupakan nelayan tradisional, dan buruh serta pegawai Pertambangan Timah yang sudah ratusan tahun sejarahnya.

Ayah selalu mengatakan kepada kami : "aku tidak akan meninggalkan harta untuk kalian, tetapi aku akan berusaha sekuat mungkin agar kalian bersekolah sebaik-baiknya, mencari ilmu. Jangan sekali-kali mengharapkan harta orangtua dan warisan, yang bisa kalian lihat dan saksikan sendiri, harta dan warisan itu hanya lebih banyak menjadi perseteruan antara kaum keluarga, bahkan bisa menjadi permusuhan. Tapi sekolahlah sebaik-baiknya, setingginya", begitu ayah selalu menekankan kepada kami. Dan menurut penilaianku, di antara kami anak-anaknya, yang paling rendah sekolahnya adalah justru ayah kami, hanya tamatan SD saja. Tetapi yang paling berhasil antara kami yalah ayah sendiri. Beliau sejak umur 18 tahun sudah punya rumah sendiri, kampunghalaman sendiri, hak-milik sendiri. Dan tidak hanya satu. Sedangkan kami yang rata-rata bergelar macam-macam kesarjanaan, bahkan ada yang menjadi menteri, tak satupun yang punya rumah sendiri! Hanya ngontrak, nyewa, atau mendiami rumah dinas.

Apakah keberhasilan itu menurut ukuran dulu? Yalah bila seseorang punya rumah sendiri, rumah panggung, gedung. Lalu bisa dan sanggup naik haji, punya emas sebungkal dua bungkal, punya sawah sendiri, dan tak punya hutang! Dan kami anak-anaknya tak satupun yang sanggup memenuhi persyaratan itu. Tetapi ayah yang hanya sekolah rendah yang dulu namanya SR lalu SD, sempat menjadi anggota DPR sebagai wakil Angkatan 45 dari daerah Belitung. Anaknya yang termasuk pernah jadi menteri-pun "tak mampu bersaing" dengan ayah dalam soal "keberhasilan dari ukuran masa baheula" itu.

Dan lagi-lagi menjadi catatan sejarah buat ayah, beliau adalah salah seorang pemimpin daerah Belitung yang mula pertama mengorganisasi pemuda mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda di Belitung. Salah seorang pemula mengibarkan bendera merah-putih di daerah Belanda di Belitung, karena Belitung termasuk daerah federal, Belanda. Akibatnya ayah dicari-cari mau ditangkap, dipenjarakan, tetapi ayah sempat meloloskan diri, melarikan diri dengan perahu Bugis, menuju Cirebon dan masuk wilayah RI di Yogyakarta. Rasanya aku hanya bisa dan sanggup memuji dan mencatatnya, dan hanya itu yang aku bisa, sebab kemampuan ayah jauh lebih luarbiasa dari kemampuanku.-

Paris 16 April 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.