Bab 78 :
Sejumput Kenangan Buat Ayah, Bagian Satu,-

Karena ayah menjadi mantri Kehutanan, Boschwezen, maka rumah kami juga terletak di pinggir hutan. Sebenarnya tak jauh dari kota hanya 6 km saja. Tetapi maklumlah pada masa baheula, baru begitu saja jaraknya sudah terasa jauh. Lagi pula pulau kami, Belitung kan kecil, jadi pandangannyapun mungkin juga tak besar-besarlah. Seseorang yang mau bepergian yang jaraknya baru saja puluhan kilometer, rasanya dia itu sudah mau merantau begitu jauhnya, padahal masih dalam satu pulau. Dari satu ujung ke ujung yang lain, barat dan timur, selatan dan utara, tak sampai 100 km. Jadi cukup kecil, dengan penduduknya dulu itu sekitar 60.000, dan kini tahun 2000 ini, tak sampai 160.000.

Di rumah kami, rumah dinas pemerintah Belanda waktu itu, sebagai pejabat kantor Kehutanan, tentu agak besar bila dibandingkan dengan rumah penduduk yang tak jauh dari rumah kami. Semua sangkutan pakaian di rumah kami, selalu terdiri dari cabang-cabang tanduk rusa. Kepala rusa yang sudah diawetkan itu, dan sudah sangat keringnya, bertanduk, bercabang sampai 8 cabang. Dan dengan cabang-cabang tanduk itulah kami menyangkutkan pakaian dan yang pantas disangkutan. Juga kalau para tamu sedang bertamu, bisa menyangkutkan sesuatu di tanduk kepala rusa itu.

Ini menandakan juga ayah adalah seorang pemburu, hobbynya memburu. Dan kalau sudah keranjingan memburu, berhari-hari dan adakalanya tidak pulang. Tapi begitu pulang diiringi "para pengikut dan pengawalnya", sebab membawa banyak hasil buruan, rusa dan kijang. Tetapi ada juga yang sudah tidak utuh, sebab sudah dibagi-bagikannya kepada orang-orang sekampung dan sedesa. Bila ayah berburu, itu artinya rezeki hasil buruan akan selalu dinikmati bersama antara orang-orang kampung dan desa itu. Dan pada biasanya, kepala-rusa dan kepala-kijang yang bertanduk bercabang itu, selalu dibawa ayah ke rumah, diawetkan. Dan tanduk rusa dan kijang itulah yang banyak menghias rumah kami.

Menurut catatan ayah sampai beliau pensiun, dia sudah berhasil menembak 65 rusa dan kijang. Tak dihitungnya kalau hanya kancil atau pelanduk, atau burung-burung punai dan sejenisnya. Pada zaman itu tak ada orang meributkan tentang lingkungan, polusi dan sebagainya, juga tak ada tentang hak-hak azasi manusia atau perlindungan alam. Waktu itu semua berjalan yang dianggap wajar dan tak pernah membahayakan, dan tidak pula dianggap merusak alam dan sebagainya. Dan semua ini diketahui oleh pemerintah Belanda waktu itu.

Ayah punya pistol-dinasnya sebagai seorang mantri-kepolisian-kehutanan. Dan juga punya senapang dobbelloop, berlaras-dua. Pelurunya dibuat sendiri atau beli melalui kantor dinas-kehutanan. Peluru senapang berburu itu dibuatkan tabungnya lalu diisi dengan puluhan milis senapang-angin, dan dengan bubuk-peledak dan sebagai detonatornya. Jangan main-main dengan peluru senapang ini, jangankan orang, gajahpun bisa mati. Karena peluru itu menyembur, menghancurkan kalau sasarannya terlalu dekat.

Yang aku tahu, senapang berburu itu betul-betul hanya untuk berburu, sedangkan pistol dinasnya itu, sepucuk browning buatan Belgia, hanya untuk pakaian dan perlengkapan kedinasannya saja. Karena aku selalu ikut dengannya apabila sedang memeriksa penebangan hutan atau pembuatan dapur-arang, yang dikelola orang-orang Cina, istilahnya waktu itu, maka aku tahu betul, tak ada masalah apa-apa dengan pistol itu. Dan ayah tak pernah bentrok dengan pengelola kehutanan, sebab pada umumnya mereka menuruti semua peraturan yang ditetapkan pemerintah. Dan aku sangat senang mengikutinya jauh ke desa dan hutan. Bau hutan, dedaunan dan pepohonan sangat menyenangkan.Ditempat pemeriksaan kayu,balok atau gundukan arang, maka aku dapat melihat semua pekerjaan ini. Dan aku adakalanya bermain-main dengan anak-anak kampung dan anak-anak Cina itu. Dan yang ini bagian aku yang paling senangnya lagi, begitu mau pulang, selalu dibawakan telor rebus, atau singkong rebus. Rasanya enak sekali. Begitu sampai di rumah, aku sudah kekenyangan. Sambil digoncengan sepeda yang dikayuh ayah, aku terus melahap telor dan singkong itu, sampai ngantuk. Dan sampai di rumah, ibuku mengangkatku karena sudah setengah tidur, dan mungkin juga karena kekenyangan.

Suatu hari menjelang tengah malam, ada sedikit keributan di rumah kami. Ribut bunyi ayam beterbangan, dan abang-abangku berlarian menuju ke kolong rumah mengikuti ayah yang siap dengan pistolnya. Ternyata katanya ada maling ayam. Aku juga ikut melihat dan mau tahu. Kami turun rumah dan dengan beberapa senter,baterei, menyinari kolong rumah, rumah panggung yang anak-kecil bisa sampai berdiri. Dan dikolong itu ada beberapa tiang-batu buat menyangga rumah. Jadi bisa sembunyi di sebelah-menyebelahnya.

Tak jauh dari kolong rumah, terletak beberapa karung yang sudah berisi ayam dan masih berbunyi keok-keok, ramai sekali. Menurut ayah dan ibu serta abangku, mereka melihat si pemaling bersembunyi di balik tiang batu. Tapi mereka diam saja setelah ayah agak membentak mereka. Yang dibentak ayah malah anak-anak dan ibuku, bukannya yang maling. Maksudnya agar jangan ribut dan berteriak, jangan sampai si maling tahu bahwa kami tahu siapa dia. Maksudnya mungkin jangan sampai yang maling itu menjadi sangat ketakutan dan malu. Dan pistol itupun memang ternyata hanya pakaian dinas saja bukan buat membunuh orang, demikian pikirku ketika itu.

Dan lama juga aku berpikir dan keheranan, bahwa pada suatu hari aku disuruh ayah membawa bungkusan yang aku tahu berisi pakaian bekas dan sedikit beras. Bungkusan itu harus kubawa dan kuberikan kepada tetangga kami yang agak jauh rumahnya. Namanya aku tahu betul, sebab anaknya teman sepermainanku. Nama anak itu "Pentis", artinya burung kecil. Sedangkan bapaknya Senen. Keluarga ini keluarga miskin. Bapaknya bekerja sebagai kuli harian, dan terkadang juga bekerja di dinas kantor kehutanan di mana ayahku menjadi pegawainya. Lha, lha, dalam hatiku, dan setelah tahu dari abang-abangku, yang katanya si maling ayam itu adalah Pak Senen tadi itu, malah kini aku harus mengantarkan bawaan pemberian, hadiah buat mereka!! Waktu kecilku itu belum mengerti, apa-apaan perbuatan ayah dan abang-abangku ini, mengherankan, ajaib, ganjil. Lama-lama barulah sedikit mengerti, orang miskin, susah hidup seperti Pak Senen sekeluarga itu, bukanlah sasaran tangkapan dan pengaduan. Bagaimana bisa menolong dan meringankan kehidupannya, dan itulah yang seharusnya kita kerjakan buat mereka, demikian selalu yang dikatakan ayah dan abangku,-

Paris 15 April 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.