Bab 77 :
Jalan Kehidupan Mira Bagian Dua — Habis

Yang aku tahu saja, dengan kejadian ini, percintaan Mira dengan pacarnya adalah yang ketiga. Yang pertama katanya dengan teman dekatnya yang sama-sama aktive di IKJ dan Tim. Pemuda yang berasal dari Sulawesi Selatan, orang Bugis. Mengapa sampai putus? Selalu yang menderita ada di pihak Mira. Katanya Mira selalu dipukuli, sering main tangan, dan perilaku yang tidak semestinya sebagai sepasang orang yang sedang berkasih. Dan juga Mira selalu dibohongi, dan ibarat kata lama, Mira sering diduakan. Artinya pemuda itu punya lagi kekasih lainnya, yang pada akhirnya diketahui Mira, bahwa diam-diam dia dijadikan yang kedua. Tentu saja Mira sakithati dan sangat sedih.

Dan mendengar kisah-kisah ini, terkadang akupun ada juga kejengkelan. Karena walaupun sudah diperlakukan demikian, sebenarnya Mira masih juga mencintai pemuda Bugis itu. Dan aku mengatakan pada Mira, "kalau sudah begitu pasalnya, mengapa lagi kau harus mencintai orang itu?", kataku agak campurtangan.

"Lalu apakah dia tahu 'masa lampaumu' dulu-dulunya?", kataku menanyakan. "Tahu, dan siapa tahu karenanya kalau sampai pada pernikahan, tampaknya dia akan lama berpikir, sebab kaum kerabatnya banyak yang menjadi tentara dan pejabat di pemerintahan". "Bagaimana kau dapat memastikan atau memperkirakan bahwa dia ragu menikahimu?". "Dia pernah berterusterang, kita berkenalan saja walaupun rapat, tetapi tidak usahlah memikirkan pernikahan. Kau kan tahu tentang kaum keluargaku, dan merekapun tahu juga tentang keluargamu. Mereka kuatir akan kehilangan keududukan karena aku menikah denganmu. Kukira wajar saja ada kekuatiran begitu, termasuk diriku, tidak mungkin bisa berkembang maju lebih dari yang sekarang. Sebab semua posisi untuk maju selalu terhambat oleh litsus tentang "bersih diri dan bersih lingkungan", begitu dia pernah berkata.

"Mira", kataku dengan menahan kesabaran. "Tahu tidak kamu bahwa pernyataannya itu sendiri sudah menyatakan keraguan buat menikahimu, dan Oom tidak sangat yakin bahwa dia mencintaimu dengan sepenuh hati. Malah kamulah yang sebenarnya sangat mencintainya, yang padahal dia menduakanmu, katamu. Untunglah dan baguslah kalau kamu kini putus dan menjauhinya", kataku.

Dan percintaan kedua, aku mengikutinya. Karena ketika aku ke Jakarta tahun 1994 Mira dan pacarnya ini yang selalu membawaku ke mana-mana, dan banyak kesempatan buat omong-omong. Pemuda inipun orang sekeliling IKJ dan Tim juga, dan mengenal pacar Mira orang Bugis itu. Pemudanya ganteng, besar gagah, atletis, secara badaniah, tampaknya sangat cocok dengan Mira. Dalam hatiku ketika itu, nah, yang ini kira-kira jadi nih.

Tahu-tahu macet lagi, dan sekali ini selain mungkin soal yang klasik dulu-dulu itu ada persoalan lain agama. Pemuda itu Islam, Mira Katolik. Keluarganya menentang mengambil gadis Katolik apalagi ada berbau kiri. Dan pada akhir cerita, putus lagi. Dan Mira menderita lagi. Dan aku kesal lagi memikirkan, kenapa Mira yang sebenarnya bisa memegang posisi kunci, karena cantiknya, karena pintarnya, karena baik hati dan ramahtamahnya, karena pandainya bergaul dan membawakan diri, selalu saja gagal dalam percintaan dan selalu menderita siksaan hati dan batin. Sebagai kedekatan rasa kekeluargaan, aku sebenarnya agak marah dan merasa tidak enak, merasa sedikit direndahkan oleh dua kali percintaan dengan pemuda-pemuda itu.

Dan yang kali ketiga ini, aku tidak mengikutinya secara dekat, tetapi Mira selalu mengatakan dan menceritakan padaku. Mira terkadang sangat manja padaku. Dan aku mengerti, sejak kecilnya dia sangat kurang bergaul dengan ayahnya. Baru mau besar, ayahnya sudah meninggal. Tak sempat menikmati kasihsayang seorang ayah. Mereka bertiga sangat saling dekat. Dan begitu mbakyunya menikah dengan bangsawan Inggris itu lalu pindah ke London, dia bertambah kesepian. Hanya berdua dengan ibunya, dan seorang pembantu.

Rumahnya terletak di tengah perumahan orang-orang Islam, dan mereka sangat terpencil dan juga ada faktor pemencilan, ditambah lagi ada jarak antara keluarga Mira dengan para tetangganya. Karenanya mereka terkadang merasa terpulau di tengah karang-karang tajam, yang tampaknya selalu menganga. Suatu kali ketika mereka ke luarkota, rumahnya pernah kemasukan maling. Dan banyak sekali barang-barang yang agak berharga hilang diangkuti 'dengan aman' oleh maling itu. Dan mereka tidak berani melapor. Karena mereka tahu, kalau melapor pasti akan berkepanjangan, dan bisa-bisa akan lebih banyak lagi yang akan hilang, dan siapa tahu, kalau sedang sial, mereka sendiri kena batunya!

Ketika kukatakan pada Mira, kalau dia memerlukanku, tilpun saja kapanpun, dan jangan merasa segan dan tidak enak. Kukatakan aku merasakan kedatanganku ke Jakarta antara lain mau dekat denganmu dan mama. Pernyataan ini saja sudah merupakan obat dan kekuatan buat Mira. Dan aku merasa sangat bersenang hati, dapat meringankan beban orang lain, betapa bahagianya.

Hampir setiap hari atau malam aku menilpun Mira atau Mira menilpunku menyatakan bagaimana keadaan dirinya. Suatu malam Mira menilpunku agar kalau mungkin apakah aku dapat datang ke rumahnya. Ini pertanda, artinya kesehatannya kurang baik, dan aku melesat dengan taksi menuju Kebayoran. Kulihat dia dipembaringan. Dia memang sedang menungguku. "Maaf yang Oom ya, Mira sengaja menilpun agar Oom bisa datang. Mira selalu menyusahkan ya, maafkan sekali lagi", katanya.

Kuamati dirinya. Masih agak pucat dan kurus sekali. Kupegang tangannya dan kucari jarinya yang sudah kuning itu. Merokoknya sangat keterlaluan, dan itu menandakan dia sedang sangat kusut. Lalu batuknya menjadi-jadi, dan nafasnya turun-naik menahan desakan paru-paru dan jantung. "Kau harus mengurangi rokokmu, Mir", kataku. "Ya, Oom, tapi kalau pikiran sedang suntuk, mulut juga menagih terus buat merokok". "Yah tapi kan nggak boleh dituruti kemauan yang tidak baik buat kepentingan kesehatanmu. Kesehatan bagimu sekarang ini yang paling pokok. Kalau kau sudah sakit, banyak yang menderita, tidak hanya kamu, tapi juga mama dan mbak Lisa, sebab pasti akan ada pengaruhnya, bahkan juga buat Oom sendiri", kataku. Dan banyak lagi dia ngomong yang dia peram dan tahan selama ini. Kubiarkan diriku menampungnya, di mana sekali-sekali memotong buat meluruskan pikirannya yang tidak menguntungkan dirinya dan jalan kehidupannya. Aku sangat minta dan berharap kepadanya agar dia melupakan semua yang sudah lalu dan cobalah memulai yang baru. Dia mengatakan akan mencobanya. Dan aku sangat merasa gembira, lalu kupeluk dirinya erat-erat. Terasa dadaku basah. Airmatanya sejak tadi yang terbendung kini melancar mengalir. Dan kubiarkan dia, biarlah menangis sejadi-jadinya, lama-lama juga akan ada hentinya sendiri.

Ketika pagi-pagi hari baru saja jam 06.°° sudah ada lagi tilpunnya. Sekali ini ternyata bukan keluhan, tetapi tekad dan niat dan semangat. Dia katakan pembicaraan kita tadi malam sangat berarti, dan dia bertekad buat bangkit. Dia berusaha buat sehat dan kuat, lalu mulai lagi mencari kerja dan kehidupan baru, dengan kualitas baru. Ada tekad begini saja sudah sangat baik. Dan aku menambahkan, "kalau kau sehat, sembuh dan kuat, Oom kan dengan tenang dan merasa aman bisa pulang ke Paris lagi. Tapi kau harus janji, sementara ini janganlah memikirkan kegagalan yang baru-baru ini. Boleh dipikirkan buat benteng untuk tidak mengulanginya lagi. Dan berusahalah 'mencari' yang tidak punya banyak soal, tetapi itupun bukannya sekarang.

Betul adanya. Mira selalu saja bertemu secara kebetulan dengan orang-orang yang selalu punya soal kebencian dan anti 'kaum kiri' dan takut akan 'lingkungan dan diri yang tidak bersih'. Secara iseng pernah kutanyakan pada anakku Nita, karena dia juga tahu persoalan Mira dan keluarganya, dan apalagi dia sedang mendalami "ilmu pintar spiritual". Dan Nita mengatakan, Mira kenapa selalu saja nyangkut dengan pemuda yang anti-kiri dan komunisto-phobi. Dia akan sukses kalau ketemunya itu dengan yang tidak takut dan yang berani bercinta, yang berani bertanggungjawab, berani mengambil alih haluan dan kemudi-kehidupan. Mbakyunya juga berkali-kali gagal, karena ketika itu pemuda yang dicintainya kebetulan anaknya jenderal. Tentu saja penghalangnya akan berjibun. Tapi segera Lisa mengubah haluan dan banting setir, dan akhirnya sanggup 'menggaet' turunan bangsawan dan pedagang pula!

Aku dari jauh, hanya bisa berdoa dan berharap agar kehidupan Mira bisa berubah. Sekali ini dan nantinya semoga jadilah, ya Tuhanku, pertemukanlah jodoh Mira dengan tuntunanMU dan berkaMU. Sudah terlalu banyak dan terlalu lama dia disakiti hatinya oleh kegagalannya dalam bercinta. Padahal menurut fisiknya saja, tidak sedikitpun cacat Mira, malah sampai kini tetap bisa bila dikatakan dia itu adalah bunga semerbak, cantik-menarik. Ternyata orang tidak cukup hanya dari pihak wajah fisik saja, tetapi juga dari pihak politik.

Paris 14 April 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.