Bab 76 :
Jalan Kehidupan Mira, Bagian Satu

Ketika aku ada di Jakarta, setiap hari selalu ada saja acara yang cukup padat. Baik acara yang diacarakan, direncanakan, maupun acara dadakan, yang sebenarnya diluar acara. Salah satu diantaranya, tak tahu aku namanya, tetapi menyangkut perasaan, menyangkut "pengamanan perasaan" dan dengan tilpun atau datang sendiri ke obyeknya.

Aku punya kenalan yang kami sudah saling menganggap keluarga sendiri. Benar juga kata peribahasa, orang yang baik terkadang bisa menjadi keluarga yang dekat, bahkan lebih dekat dengan keluarga yang sebenarnya ada pertalian darah. Dan perkara inilah yang mau kuceritakan.

Keluarga ini kurasakan sangat dekat dengan kami. Sekeluarg tiga orang. Seorang Ibu dengan dua anak gadisnya, yang ketika kami mulai berkenalan dengan keluarga ini, dua anak gadis ini sudah berumur dewasa, dan bahkan sudah berkali-kali ganti pacar, dan itu bukannya cacat-cela benar, adalah biasa, apalagi kalau para pembaca mengikuti alur cerita keadaannya.

Kami mengenalnya sejak tahun 90-an, yang ketika itu kakaknya berumur sekira 25-an dan adiknya 20-an. Ketika keluarga ini ke Paris, di rumah kamilah mereka menginap. Dan di rumah inipun, si adik yang bernama Mira, sudah menumpahkan air-pahit penderitaan hidupnya kepadaku, sebagai Oomnya yang dipercayainya. Dan sudah wajar kalau dia menangis tersengguk-sengguk. Dan keluargaku lainnya yang tidak mengerti, bertanya-tanya, ada apa ini, belum apa-apa kok sudah menangis. Dan aku belum menceritakannya secara detail.

Perkenalanku dengan Mira, serta mama dan mbakyunya, kebanyakan hanya kesedihan yang paling banyak kuterima dari alur-alir kehidupan Mira. Sebenarnya kakaknya, Lisa itupun sama juga halnya. Hanya Lisa pandai membawakan hidupnya, dan pandai berkelit memainkan peranan kehidupan yang seirama dengan dirinya, pandai hidup, pandai membawakan diri.

Apa soal? Persoalan anak muda, apalagi kalau bukannya cinta-asmara. Dan aku seperti biasa kami katakan antara kami, menjadi poubelle kata orang Perancis, keranjang-sampah, buat penumpahan kesedihan dan segala yang menyakitkan hatinya. Tentu saja poubelle di sini dalam pengertian baik, artinya yang sedia dan dengan rela menerima tumpahan perasaan. Bukankah ini artinya suatu kepercayaan? Mana ada orang mau menumpahkan kepercayaannya kalau tempatnya itu tidak bisa dipercayai, ya kan?!

"Oom", kata Mira suatu kali kepadaku dalam tilpun. "Agar Oom juga tahu, saya selalu merasa enak, dan beban terlepaskan bila Oom mau mendengarkan keluh-kesah saya dalam lautan kehidupan ini. Apalagi Oom turut memikirkan dan memberikan solusi bagaimana baiknya saya harus menjalani kehidupan ini. Terutama dalam perkara yang sedang saya hadapi ini", katanya dulu sekali. Lalu karena itulah aku menjadikan diriku sebagai orang pengayom, pengasuh, penentraman perasaan, karena orang itu sendiri mengharapkan begitu, dan kulihat nyatanya juga begitu. Dan sejak itulah aku merasa berkewajiban buat meneruskan "pekerjaan" yang bagaikan pendeta atau Oom spiritual.

Mira berwajah cantik, sebagaimana kakaknya, Lisa, juga cantik. Dua-duanya gadis ini cukup cantik, bahkan boleh dikatakan banyak menjadi rebutan anak-anak muda. Tetapi pertanyaanku yang paling besar dan sampai kini belum tuntas terpecahkan, mengapa gadis secantik itu kok susah amat dalam menemukan jodohnya. Sampai-sampai doaku kepada Tuhan, aku pernah mengatakan begini : " Ya Tuhanku, tolonglah Kau temukan jodoh Mira yang sesungguhnya. Sering sekali dia harus menemui kegagalan dan sakithati dalam perjumpaan dengan pria yang dicintainya. Dan sering sekali dia terbenam bahkan hampir tenggelam dalam lautan kesedihan dan sakithati. Tuhanku, selamatkanlah dia Tuhanku, ampunilah dosanya, dan bahagiakanlah dia Tuhanku", beginilah sering-sering aku berdoa buat Mira.

Suatu kali aku menilpun Mira, tetapi jawaban dari ibunya sangat mengejutkan. Mira ada di rumahsakit S, karena tiba-tiba pingsan tadi pagi katanya. Dan aku terpaksa membatalkan acara sehari-hariku. Kuanggap menjenguk dan mengamankan perasaan Mira jauh lebih penting, dan ini bukan main-main.

Sampai di rumahasakit, Mira sudah siuman, dan sesudah diberi suntikan glucose, tampaknya agak mendingan. Begitu aku datang, lagi-lagi tangisnya terkeluarkan dan isakan sesenggukannya bebas hambatan. Kubiarkan agar berhabis-habis tuntas, agar lalu mendapat ketenangan. Bukan main kurusnya anak ini, wajah yang dulu begitu berseri, pipinya yang selalu memerah tomat, dan bibirnya yang selalu basah bila berbicara, kini redup, bagaikan pelita yang hendak padam. Kupeluk sayang dia, dan aku tahu benar, dia memerlukanku berlaku demikian. Dan tangisnya dipuaskannya. Benar, tak lama kemudian keadaan menjadi berangsur tenang. Dan dia sudah mau bercakap-cakap.

Dia pingsan karena terlalu lelah dan letih. Kurang tidur, banyak pikiran yang menerawang, dan karena tidak mau makan sudah berhari-hari. Dan ini yang sangat tidak membantu, merokoknya luar biasa, dari mulutnya seperti keluaran asap lokomotiv. Ibunya selalu menangisi anak gadisnya ini. Ibunya sangat bersedih, dan pernah mengatakan padaku, tolonglah Mira bagaimana kesanggupan bapak buat membantunya, katanya suatu kali. Dan juga baik Mira maupun ibunya menyatakan minta maaf dan berterimakasih atas bantuanku. Tentu saja aku berbuat demikian dengan perasaan sejujur dan seikhlasnya, bagaimanapun antara kami sudah serasa satu keluarga.

Dalam pada itu, kehidupan keluarga ini, tinggal lagi dua orang di rumahnya di Kebayoran. Mbakyu Mira, Lisa, sudah pindah ke London, mengikuti suaminya seorang yang masih berteteskan bangsawan Inggris. Kisah Lisa-pun tersendiri dengan jalur dan alur yang berbeda, kenapa sampai di Inggris, tetapi tetap ada persamaan, nasib peruntungan karena jodoh juga adanya.

Suatu petang, di mana aku datang ke rumah Mira buat memenuhi janji akan menemuinya, dia menegaskan lagi mengapa terakhir ini putus lagi hubungan dengan pacarnya yang hampir saja sudah mengeluarkan surat undangan pernikahannya baru-baru ini.

"Coba Oom bayangkan, tanggal 28 Desember dia belum mengatakan apa-apa, masih biasa-biasa saja. Dan saya dengan semangat dan hati yang senang, tetap berpendirian bahwa kami akan menuju pernikahan. Orangtua kami masing-masing sudah pada setuju dan siap-siap. Ee tanggal 30 Desember dia mengatakan bahwa dia tidak bisa menerima kehidupan nyata saya yang saya sudah ceritakan itu", kata Mira kepadaku.

"Mir, maafkan, saya mau tanya, semoga kau tidak marah, dan sedia terusterang", kataku mau tahu. "Apa yang kau maksudkan tidak bisa menerima kehidupan nyata saya yang sudah kau ceritakan itu"? "Biasa Oom, soal klasik dan bahkan kuno dan usang. Bahwa kami ini, ayah saya adalah bekas tapol, dan kami keluarga yang dipencilkan. Sangat sulit cari kerja, sulit masuk ke pergaulan umum. Keluarga yang dulu dekatpun menjadi jauh, orang-orang menghindari kami. Dulu kan sudah saya ceritakan pada Oom, ketika saya sedang kiprahnya mengajar anak-anak balet dan tarian klasik di sanggar Darma, tahu-tahu setelah diketahui saya ini siapa asal keluarganya, saya dapat surat PHK. Maka habislah hubungan saya dengan murid-murid saya yang baik-baik dan manis-manis itu", demikian katanya.

Memang ayah Mira adalah bekas tapol, meringkuk bertahun-tahun di penjara. Dan sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Mbakyu-nya Lisa, pernah menjadi wartawan suratkabar terkenal yang beroplah besar. Dan setelah tahu siapa asal keluarganya, yang "tak bersih lingkungan", juga dipecat. Dan ketika sedang jadi wartawan radio, dan mengajukan permohonan masuk PWI, juga terkena litsus tersendiri, dan juga ditolak bahkan oleh Pemimpin Redaksinya "dianjurkan" agar mengundurkan diri sebelum dipecat secara kontan!

"Bukankah soal yang dulu-dulu kau ceritakan masa lalumu itu, sudah sangat lama kan, Mir", kataku menyeling. "Ya, dan sudah ada jedah beberapa minggu malah, lalu tiba-tiba dia putuskan tidak bisa menerima masa lalu saya, dan putus hubungan begitu saja, habis, titik",-kata Maya dengan perasaan tertekannya.

Lama kupikirkan perkara Mira ini. Sebab yang kuketahui saja setelah aku mengenalnya, Mira sudah tiga kali dengan ini berpacaran, dan selalu sudah mendekati akhir ketetapan berumahtangga, lalu tiba-tiba putus tak menentu. Dan pihak yang memutuskan selalu ada pada pihak prianya. Soalnya sama, tidak bisa menerima Mira sebagai keluarga "tidak bersih lingkungan" dan "tidak bersih diri", terutama bapaknya yang tapol itu walaupun sudah lama almarhum.

Karena perkara ini sangat dekat dengan perasaan kekeluargaan, maka akupun turut memikirkan bagaimanalah sebaiknya Mira ini. Tetapi aku hanya bisa berdoa saja, dan berharap dengan beberapa nasehat. Nasehatku selalu didengarkan, bahkan dituruti. Karenanya akupun harus berhati-hati, begitu salah nasehat, salah jalan, maka akulah yang bisa langsung dianggap bertanggungjawab. Seperti masalah jalannya kehidupannya ini. Dulu dia sangat asyik dengan bergabung dengan teman-temannya di IKJ - Tim, berkesenian, naik-panggung, mencipta, main-drama, ikut aktive dengan Tim dan IKJ. Tapi akibat itu jarang pulang ke rumah, dan kuliahnya di Atmajaya jadi berantakan. Dan ibunya merasa sangat kesepian di rumah, tak ada yang menolong sehari-hari di rumah.

Lalu Mira minta nasehatku bagaimana sebaiknya. Dan kukatakan pendapatku, karena kuliahnya di bagian Hukum Perdagangan di Atmajaya tinggal setahun, maka lebih baik dirampungkan dengan sungguh-sungguh, tokh tinggal persiapan membuat inskripsinya saja. Dan dia mau menuruti nasehatku yang tadinya hampir saja dia mau mulai kuliah di IKJ dari mula-mula, awal tahun. Ini rugi, kataku, kau mulai dari nol lagi, sedangkan di Hukum Perdagangan itu tinggal setahun, lebih baik dirampungkan setuntasnya. Dan benar saja, hanya setahun dia kerja, belajar mati-matian, dia dapatkan gelar SH dari univ. Atmajaya. Mbakyunya Lisa juga sarjana UI bagian Politik dan Pengetahuan Sosial, salah seorang mahasiswa andalan profnya Yuwono Sudharsono yang mantan menteri itu. Tetapi Lisa ternyata lolos dari lobang jarum kehidupan yang sempit-gelap yang dialami rata-rata kehidupan keluarga tapol. Dan dia melesat ke jagad lain, Eropa Barat, "dapat pula menggondol bangsawan Inggris itu", beruntunglah dan sukurlah.

Jadi andil perjalanan alur dan alir kehidupan Mira, akupun merasa harus bertanggungjawab atasnya. Dan apalah salahnya kalau aku seharusnya memperhatikan kehidupan keluargnya, khusus buat Mira yang selalu saja gagal dalam percintaan, padahal menurut mata-hatiku, apalah cacatnya Mira itu. Orangnya cantik, menarik, pandai bergaul, pandai berkesenian, pandai kerja, bahkan pandai mencari hidup. Tetapi selama ini selalu gagal dalam percintaan, dan cukup menyakitkan, yang dalam hatiku selalu berkata, apa sih dia kurangnya, segala dia ada dan bisa, tetapi ternyata menemukan jodoh dia sangat sulit,-

Paris 13 April 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.