Bab 74 :
Cerita Sebuah Judul Buku, Bagian Satu

Ketika sepasang keluarga muda yang sempat menginap di rumahku dari lawatannya ke Irlandia dan akan ke Indonesia, kutitipkan kepadanya seberkas sajak-sajakku yang belum pernah dibukukan. Maksudnya minta bantuannya agar tolong dicarikan penerbitannya di Jakarta atau di mana saja, asal bisa diterbitkan. Setelah berbulan-bulan barulah ada beritanya bahwa kumpulan sajak itu akan diterbitkan, dan bagaimana buat selanjutnya, sebab kumpulan sajak-sajak itu sangat acak-acakan. Kukatakan pada teman yang kupercayakan mengurusnya, Oom Hadeo, agar teman-teman di Jakartalah yang menanganinya bagaimanalah baiknya. Apakah dibagi atas waktu penulisannya ataukah atas lokasi tempat terjadinya peristiwa sajak-sajak itu diciptakan. Ataukah atas masalah perihalnya. Semua ini kuserahkan kepada teman-teman yang mengurusnya melalui Oom Hadeo, termasuk juga siapa yang akan diminta membuat Kata Pengantar kumpulan sajak itu.

Hal ini bukan karena aku mau lepas tangan tak mau bertanggungjawab atas masalah teknis penerbitan itu, tetapi semata-mata mempercayakan kepada beberapa teman. Dan lagi bukankah orang lain akan lebih obyektif menilai tulisan dirikita daripada kita sendiri? Dan orang lain pandangannya akan lain dari kita sendiri sebagai "bapak dan ibu kandung" dari tulisan atau ciptaan kita sendiri itu. Atas dasar inilah aku mempercayakan semua itu kepada beberapa teman. Dan Oom Hadeo setuju atas pandanganku ini. Dan setelah bolak-balik dengan beberapa perbaikan, koreksi dan perbaikan ejaan, huruf dan lain sebagainya melalui e-mail, maka kata "fiat" dapat diputuskan dan akan masuk mesincetak. Tetapi ada hal yang aku betul-betul tidak memperkirakan dan tidak terpikirkan. Dan hal aneh sangat aneh, bukan kepada masalah kepada diri teman-teman itu, tetapi pada diriku sendiri, sampai ketika itu aku belum tahu nama judul buku itu. Mengapa tidak kutanyakan, mengapa lalu terlupa menamai judul buku itu. Walaupun kuserahkan sepenuhnya kepada beberapa teman, tokh tak ada salahnya aku seharusnya menanyakan apa nama judul buku kumpulan sajak itu.

Lalu segera ku-email Oom Hadeo. Katanya sudah agak rapi, sudah ada Kata Pengantar, dan dari seorang teman yang juga "pernah jadi penyair" dan penulis beken serta dulunya pernah berperanan penting, bahkan menjadi konsultan, bahkan ada yang mengatakan seseorang yang sangat dipercayai Mas Gun,- demikian pendapat banyak teman. Dan aku kenal betul teman yang akan memberikan Kata Pengantar itu, kenal sejak tahun 1960, artinya 40 tahun yang lalu. Dan aku setuju serta percaya kepadanya. Tetapi yang menjadi pertanyaanku justru judul kumpulan buku itu. Dan nama judulnya MENCARI LANGIT, dan katanya teman itulah yang memberikan nama judul itu, sekaligus memberikan Kata Pengantar.

Sampai di sini, lama sekali aku berpikir, darimana nama judul yang dia dapatkan itu. Rasanya tak ada sajakku yang berdjudul Mencari Langit, dan lagi terasa asing nama judul itu. Pada umumnya nama judul sebuah kumpulan buku, akan selalu diambilkan dari sebuah nama sajak yang ada di dalamnya. Dan dari situlah timbulnya keherananku, tak ada nama sajakku yang Mencari Langit. Mau bertanya langsung kepada temanku Am itu terasa tidak enak. Tetapi dibiarkan begitu saja mengawang dalam pikiran sendiri juga lebih tidak enak. Maka satu-satunya jalan, lebih baik lagi kuteliti satu persatu semua sajakku yang dimuat dan yang akan dibukukan itu. Diperiksa dan diteliti seluruhnya. Sebab tidak mungkin teman itu akan semaunya memberikan nama judul buat buku seseorang teman yang dia tahu kehidupan kepenyairannya.

Maka mulailah aku meneliti mengapa dia memberikan judul begitu, padahal tak ada sajakku yang berjudul demikian. Lama dan lelah juga mata mencari-cari sajak yang seonggokan, sebuku itu. Berkali-kali, berulang-ulang, maka bertemulah dengan kata "mencari langit" itu tetapi bukan sebagai judul sajak, melainkan kata-kata dalam sebuah sajak saja adanya. Demikian sebuah sajak tersebut :

MUSIM SEMI 1982

Berdiri aku di segitiga tanah Perancis
tengadah ke utara
Jerman
melangkah ke selatan
Suisse
lalu apa yang kau cari anak risau?
sedih selalu dalam rantau
mencari langit?
mencari bumi?
mencari laut?

Takkan pernah hilang
zamrut khatulistiwa
taman kaca
pualam bening
jernih tak bersaing.

Terdengar kelepak balam
hinggap di pucuk cemara
akh, ada juga kau di sini
apa yang kau cari?
apa kau juga dari selatan?

Balam terdiam
aku menunggu jawaban
kami sama tenggelam
dalam lautan sunyi,-

Lure, Perancis Timur, Juni 1982,-

Maka tahulah aku, dari kata-kata ini lalu diambilnya buat nama judul buku itu. Lalu dan kalau begitu aku tidak perlu heran lagi. Ada dasarnya, dan aku setuju dengan judul yang diberikannya itu. Tetapi yang aku herankan dan yang "kukagumi" pada temanku ini, begitu teliti dia memperinci persoalan kehidupanku dengan nama judul buku itu sendiri. Artinya dia tidak hanya begitu saja mengambil nama judul yang dipetiknya dalam kata-kata sajak itu, tetapi dia juga meneliti seluruh kehidupanku yang berliku-liku sepanjang puluhan tahun itu. Dan kebetulan diapun tahu jalan kehidupanku, termasuk almarhum isteriku yang dikenalnya sejak dari Medan, yang meninggal di Beijing tahun 1980. Jadi dan maka kloplah dia memberikan Kata Pengantar dan nama judul MENCARI LANGIT itu.

Membaca sajak ini, lalu teringatlah aku ketika itu, musimpanas tahun 1982, aku di Lure, tanah Perancis Timur yang penuh dengan bunga-bunga mewangi. Aku berjalan-jalan sendirian di tengah hutan yang sejuk terlindung rindangnya pepohonan. Aku tengah merenungkan bagaimanalah nasibku yang betul-betul tak tahu ujungpangkalnya, akan berapa lama terpaksa tinggal di Perancis ini, dan akan ke mana lagi sesudah itu. Semuanya gelap dan tak menentu, pokoknya bagaimanalah agar bertahan dulu sampai bisa pulang ke tanahair. Tengah aku merenungi nasib dan ingat kerinduan akan tanahair, terdengar kelepak burung balam, sangat jinaknya. Yang kalau ketika kami di Tiongkok dulu, sudah jadi sasaran tembak yang sangat empuk. Tetapi ini di Perancis, bukan lagi ada di dunia ketiga! Dan kami berdua balam itu betul-betul berdamai, dan aku menikmati bunyi suaranya, dan bunyi kelepakan sayapnya yang tengah menetapkan kehinggapannya di cabang dan ranting. Betul-betul "kami" berdua balam itu menikmati damainya rasa ingin berkenalan dan saling bertanya, tetapi yang ada hanya kesunyian, dan pertanyaan-pertanyaan itu terpaksa dijawab sendiri.

Seketika itu tersadarlah aku, bahwa "kami berdua" sama-sama ada di Perancis Timur, dekat perbatasan negara lain. Hanya kataku dalam hati, dia itu bagaimanapun balam, sedangkan aku kan manusia, masih perlu memikirkan nasib dan hari depan. Namun demikian, suasananya sangat nyaman, sepi, sunyi dan penuh dengan aroma haruman bunga-bunga dan bau daun-daunan, pepohonan. Suara-suara hanya ada bunyi kelepakan balam dan burung-burung lainnya, yang agak kurang kuperhatikan. Tetapi balam memang khusus kuperhatikan sebab sangat mengingatkanku pada balam-balam yang di kampungku, Belitung, yang puluhan ribu batu jauhnya dari tempatku ketika itu.

Maka terjawablah mengapa kumpulan sajak itu bernama Mencari Langit tadi itu, dan malah aku menjadi terharu, sebab sangat mengingatkanku akan "kami berdua" dulu itu. Penulis Kata Pengantarnya sendiri mungkin tidak tahu sejarah akan kenapa ada sajak itu ketika aku di tengah hutan Perancis itu dulu. Semoga terbaca jugalah olehnya kisah yang sangat sederhana ini,-

Paris 11 April 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.