Bab 73 :
Beban Seorang Tokoh

Semua kami yang ada di kotaku selalu menghormatinya, menghargainya sebagai seorang tua atau yang dituakan. Kami mengerti beliau ini adalah tokoh tua dalam sejarah pergerakan bangsa, dan cukup berjasa. Mungkin persamaan kami dengan beliau yalah sama-sama menanggung beban, beban sejarah perjalanan bangsa ini. Tetapi juga beban terhadapnya, terhadap diri beliau, karena beliau mungkin terlalu berat menanggung beban keseluruhannya.

"Jadi benar bapak berkunjung ke Suharto itu", tanya kami suatu ketika. "Lah, ya, bukan hanya itu, juga saya datang ke Habibi, Nasution, dan semua jenderal teman-teman saya dulu itu. Kan kamu tahu, saya ini orangnya Barnas, Barisan Nasional yang kebanyakan anggotanya adalah para jenderal. Dan saya merasa cocok di situ, sama-sama jenderal juga tokh?", katanya.

Maka sebagaimana kebiasaannya selama ini, bila beliau ini agak sedikit dipancing buat cerita "sejarah lamanya" dengan "mengunyah-ngunyah jasa lamanya" maka keluar dua tiga kalimat dari kita, akan berjawab ratusan kalimat dari beliau.

"Saya baru saja dari Nasution, Pak Nas, kan baru sekali ini saya ketemu setelah beliau diangkat jadi Jenderal Besar itu. Dan saya bawa gagasan saya buat kembali menegakkan aspirasi, spirit Angakatan 45. Yang masih hidup, kan sudah tidak banyak lagi, boleh dikatakan tinggal dua hitungan jari tangan kanan dan kiri. Antaranya ya saya ini, Pak Nas dan Pak Harto. Saya gagaskan agar kita kembali menegakkan semangat 45 dulu itu. Pak Nas, setuju, tapi dimintanya saya yang datang ke Pak Harto. Apalagi si Ucup itu percaya benar bahwa Pak Harto itu akan menurut apa saja yang saya katakan dan minta. Benar saja, Pak Harto tidak keberatan menandatangani gagasan yang saya keluarkan itu. Tapi sompretnya itu si Tutut, selalu saja turut campur. Dan Tutut mengatakan bahwa soal penandatanganan itu nanti saja. Bukankah Bapak sedang dalam pengurusan soal-soal yang diminta Jaksa Agung itu. Dan itupun belum selesai, jadi tunda saja dulu. Begitu Tutut campur tangan, lha, si babe kan nurut aja sama Tutut, maka gagallah penandatangan gagasan yang sudah begitu bagusnya saya susun."

Suatu kali beliau bercerita tentang bagaimana hebatnya, beraninya, luarbiasanya Angkatan Menteng 31 itu. Dan sampailah kepada teman-temannya se-angkatan. "Akh, itu Aidit, begitu lepas dari saya, maka nggak keruan dia itu, bisa gila dia. Bung Karno nggak bisa menundukkan dia, yang bisa menundukkan dia itu ya saya ini. Tapi kan saya tidak bisa ngendon terus di Jakarta, tugas saya kan menjabat Duta Besar, ya harus berangkat. Maka sesudah itulah ambruknya itu Aidit! Lepas dari saya betul-betul dia keblinger, seperti kata Bung Karno. Saya sudah katakan pada Bung Karno, mbok jangan saya, banyak pekerjaan dan tugas menghendaki saya harus di tanahair, carilah orang lain. Dan Bung Karno marah pada saya, beliau bilang ini keputusan dan perintah dari Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya okey-kan".

Ketika ada seseorang yang mau menanyakan cerita-cerita tentang sekitar proklamasi dulu itu, ada kesempatan buatnya banyak berpropaganda. "Sudah baca belum buku saya, Menteng 31? Baca dong, atau minta sama teman yang punya. Mungkin di Jakarta sudah habis terjual. Angkatan muda sangat perlu membaca buku itu, agar tahu bagaimana perjuangan kami-kami dulu itu, penuh keberanian dan pengorbanan, tidak mementingkan diri sendiri. Orang-orang muda sekarang ini tidak seperti kami muda dulu, penuh semangat juang buat tanahair dan bangsa. Kalian,kini yang diingat bagaimana jadi kaya, punya banyak harta, punya pangkat yang tinggi dan akhir-akhirnya ya korupsilah! Yang diingat dan diperjuangkan hanya kepentingan diri sendiri, ya materialistislah!"

Kami semua pada pokoknya sudah membaca dua jilid buku itu. Dan ada yang berani mengatakan kepadanya, bahwa buku pertama itu penuh penjilatan dan cari muka pada Suharto, sedangkan buku keduanya, yang berjudul bagus, Menggugat, seolah-olah perbaikan dari jilid pertama, sudah berani menuding Suharto. Kata kami dalam hati, mungkin karena buku jilid pertama itu tidak diperdulikan oleh Suharto, maka beralih haluan, apalagi massa rakyat yang luas sudah mulai berani berkata apa yang dirasakannya, dan sealiran dengan jalannya gerakan rakyat yang menghendakai reformasi. Maka mau tak mau harus juga mengikuti aliran pokok dari gerakan batangtubuh rakyat yang luas, lalu ikut juga menuding dan menggugat Suharto.

"Saya sudah berkali-kali mengatakan kepada teman-teman di Jakarta, sekaranglah waktunya untuk berembug, ber-rekonsiliasi-nasional, dan ini sangat sesuai dengan semangat persatuan yang didengungkan Bung Karno. Mari maju ke meja perundingan, kita bicarakan bersama-sama, persatukan kekuatan yang benar-benar menginginkan kesatuan dan kemajuan bangsa dan rakyat. Saya sudah berkali-kali menilpun Bang Ali, si Kemal, dan jenderal-jenderal di Barnas. Mereka saja tidak mau mendengarkan, nah, inilah akibatnya, terus saja ada soal, soal Timtim baru selesai, lalu soal Ambon, soal Papua-Irian, soal Aceh sudah betahun-tahun tak selesai. Makanya, kalau mau tahu apa isi kepala masing-masing, ya, mbok ketemu di meja perundingan, meja dialog! Ya, kadang-kadang saya nggak sabaran. Dan kalau sudah begini, benar-benar saya ingin pulang, terjun ke praktek langsung", katanya bersemangat. Dan paktua kita ini harus diakui, selalu bersemangat, selalu berapi-api.

Umurnya sudah 82 tahun, tapi masih tetap sehat. Dan sangat rajin bekerja. Dia mengerjakan apa saja yang sehari-hari pekerjaan restorannya. Dari belanja buat restonya sampai mengurus dan membersihkan kakus wc, dia kerjakan sendiri. Padahal dia sudah pernah operasi jantung; Karena rajin kerja badan begini, walaupun sudah berumur 82 masih tetap gagah sebagai orang tua.

Kalau dia kita beri pendapat, dia tidak akan marah dan tidak akan memaki kita. Beban kami kepadanya, sudah kami katakan, dia terlalu suka memuji dirinya sendiri. Dan semangat kesombongannya luarbiasa. Merasa sudah berjasa, merasa sedikit merendahkan orang lain, dan tetap "rindu pada jasa-jasa lama" lalu "mengunyah sejarah dan jasa-jasa lama". Merasa dirinya penting dan tidak akan beres kalau dia tidak turut dalam pekerjaan apa saja, teristimewa dalam mengurus negara dan rakyat. Barangkali ada kaitannya dengan masa dulunya sebagai Menteri Pengerahan Tenaga Rakyat. Lalu ketika masa Bung Karno dengan pangkat letnan kolonel, naik menjadi Mayor Jenderal (titulair) ketika masa Suharto. Soal keberanian, dan kecintaan pada tanahair dan bangsa, tak seorangpun yang meragukannya di antara kami. Dalam kepalanya benar-benar yang dia pikirkan hanyalah persoalan tanahair, sudah tentu ada juga soal lain, misalnya bagaimana agar rumahnya yang di Jalan Madura itu bisa kembali kepadanya. Kami kira pikiran itu tidak samasekali salah.

Kesombongan dan keangkuhannya minta ampun. Suka ngomong gede, dan tidak mengenakkan yang mendengar. Aku masih ingat ketika kami berdua dengan Mas Hersri mengantarkan seorang teman yang mau menginterviunya, kontan saja beliau menyapa : "Nah, bagaimana anak muda? Apa saja yang sudah kau kerjakan buat bangsa dan rakyat di tanahair kita? Apa saja yang sudah dan sedang kalian kerjakan buat kemajuan bangsa dan rakyat kita yang sedang terpuruk ini?", katanya dengan lepas dan enak saja. Padahal teman itu baru sekali ini berjumpa dengannya. Dan belum pula pernah berkenalan, baru dari buku-buku sejarah dan cerita dari mulut ke mulut. Sesudah kami ngomong-ngomong berjam-jam di restonya, teman itu tidak mengeluarkan apa-apa buat perlengkapan wawancaranya. Dan kamipun pulang setelah mendengarkan cerita-cerita kehebatannya, keluarbiasaannya, dan pujian-pujian pada dirinya sendiri. Kami tanyakan kepada teman itu, lho, kok nggak jadi mewawancarainya.

"Sudahlah, belum mulai, saya sudah nggak tahan mendengar ocehan pujian-pujian pada dirinya sendiri dan merendahkan orang lainnya. Lebih baik dibatalkan sajalah, efeknya akan jauh lebih baik", kata teman kami itu.

Orang tua tokoh yang satu ini barangkali merupakan sisa-sisa sejarah lama kita. Penuh beban-beban sejarah, penuh kemarahan dan ketidakpuasan, apalagi dulunya pernah jadi Menteri dan Dutabesar. Namun walaupun begitu, aku dan mungkin kami, tetap menghargainya sebagai tokoh lama yang turut aktive menyelenggarakan urusan negara dan rakyat. Soal beliau suka memuji dirinya sendiri, sombong dan angkuh, merasa sangat berjasa, tokh beliau sudah "mendapat pengajaran" dari teman-temannya di Jakarta baru-baru ini, pada sebuah rapat yang banyak dihadiri bekas teman-temannya, para jenderal dari Barnas. Beliau akan atau semoga merasakan bahwa pikirannya selama ini sudah sangat tidak cocok lagi dengan banyak teman-temannya sendiri, mungkin sudah ketinggalan. Orang-orang lain sudah pada maju, tetapi beliau, tokoh tua kita ini, masih mau mengganduli jasa-jasa dan sejarah lamanya. Aku hanya berharap, semoga beliau bisa mengubah diri dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang sangat jauh berubah. Semoga bisa mengikuti zaman dan irama sejarah yang sedang berjalan,-

Paris 8 April 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.