Bab 72 :
Patut Diingat, Patut Dicatat

Setiap aku datang ke Jakarta, Indonesia, termasuk kampungku di Belitung, aku selalu berusaha mencari teman-teman lama, sahabat-sahabat lama. Rasa kangen, ingin melepaskan rindu, ingin ngobrol berkepanjangan, dalam keadaan dan suasana yang santai. Ingin saling cerita keadaan masing-masing, ingin banyak tanya dan dengan penuh perhatian, sebagai seorang teman, sahabat dan keluarga.

Sebagian besar memang mendapat sambutan baik, hangat dan bersahabat bahkan bisa akrab. Tak dapat dibayang dan diperkirakan, sudah begitu lama berpisah, lebih tigapuluh tahun. Aku ingat seorang penyair Tiongkok, Thu Fu, dalam sajaknya PERTEMUAN, ditulisnya :

Siapakah gerangan yang dapat mengira sesudah duapuluh tahun berselang aku dapat menjejak lagi bendul pintu rumahmu ini?

Kala kupergi dari sini, dahulu engkau masih bujang belia, - Tetapi sekarang anakmu *lah hampir selusin, sehat-sehat sekali.

Lucu pula, anak-anakmu itu berkerumun disekelilingku, dan bertanya kepadaku dengan jenakanya dimana tempat tinggalku, dan dusun tempat lahirku!

Sedang tanya jawab kian meriah dihidangkan oleh mereka anggur sepiala disusul buah-buahan yang segar-segar.

.........dan beberapa bait lagi yang seterusnya. Sebagai catatan : Thu Fu adalah seorang penyair besar Tiongkok yang hidup pada dinasty Thang, ketika zaman keemasan Sastra Tiongkok-lama. Hidup satu zaman dengan penyair besar lainnya LI Tai-po. Thu Fu digelari sebagai "Dewa Sastra" sedang temannya Li Tai-po digelari sebagai "Pandu Sastra", keduanya hidup pada abad keemasan sastra Tiongkok-lama, 701-762 ( LI TAI-po ) dan 712-770 ( THU FU ).

Sudah tentulah bukan mau menyamakan pertemuanku dengan teman, sahabat dan keluarga itu sebagai Thu Fu dan Li Pai! Jauh dari itu. Tapi sebagai orang yang suka pada puisi dan sastra, tentulah tak ada salahnya kalau teringat akan hal tersebut, ya kan?

Tetapi ada juga yang kutemui hanyalah merupakan pil pahit, tidak tepat waktu. Masaksih ketika orang ramai-ramai merayakan milenium 2000, di tempat umum, perayaan dan malam-gembira, persahabatan, pertemuan besar menjelang Tahun Baru 2000 di Jakarta, ada orang yang menolak kusalami, dan membelakangiku, dan lalu menghindar. Aku heran, mengapa pada hari-baik, malam-baik, Tahun Baru pula, penuh suasana persahabatan, dengan gembira aku menyalami banyak teman, sahabat dan mungkin ada keluarga walaupun agak jauh, tahu-tahu uluran tanganku ditolak dan tidak diterima, membelakang lalu menghindar dan menghilang dari mata. Rasanya tak pernah aku berbuat salah kepada teman itu. Rasanya pernah bertemupun tidak. Lalu kenapa uluran tanganku ditolak? Sungguh ada rasa malu, dipermalukan di tengah umum! Betapa menyedihkan. Tapi sudahlah, siapa tahu memang beginilah sang nasib "orang buangan" "orang yang dianggap buangan" dan bermacam gelaran yang kami terima selama puluhan tahun ini.

Kepada seorang teman yang memang sejak dulu tak takut berteman denganku, walaupun keluarganya termasuk keluarga diplomat yang selalu banyak hidup di luarnegeri, kutanyakan bagaimana keadaan si A sekarang? Baikkah kalau aku mencarinya, lalu menemuinya, tentu dengan menilpunnya dulu? Teman itu mengatakan, menurut dia rasanya aku ini belum akan dapat sambutan. Mungkin temanku ini benar. Tetapi dari segi waktunya yang sudah lebih 30 tahun, dan mengingat persahabatan kami dulu itu sangat eratnya, rumahku dan rumahnya sudah menjadi tempat sehari-hari kami berdua, maka kukira masaksih dia akan menolak?

Dulu tahun 1951, kami berdua pernah sampai mengunjungi kuburan Chairil Anwar di Karet, Tanah Abang, maksudnya menyekar dan di kuburan itu kami berdoa agar kami bisa menjadi penyair, pengarang, paling tidak seperti dirinya itulah. Ketika itu kami samasekali tidak menganggap kemauan dan kehendak kami itu aneh! Malah kami anggap mulia, dan sakral rasanya. Dan tidak kebetulan kami berdua dengan dibantu teman lain memperingati wafatnya Chairil Anwar pada tahun 1951 itu, di mana ketika itu banyak yang hadir selain HB Jassin, Utuy Tatang Sontani, Balfas, Amal Hamzah, BachrumRangkuti dan banyak sastrawan lainnya. Bahkan persahabatan kami ini menelurkan kumpulan sajak bersama, kami bertiga yang berjudul KETEMU DIJALAN diterbitkan Balai Pustaka, yang akhirnya dilarang karena ada namaku, terpaksa dua orang temanku dikorbankan karena ada satu nama yang "mengotori" kehendak penguasa.

Kalau ingat ini semua, masaksih ajakan bertemu akan ditolak? Maka pagi yang cerah itu kutilpunlah teman-lamaku ini. "Hei, Sah, apakabar? Semoga kau masih ingat. Aku sangat kangen dan sangat ingin ketemu kau", kataku. Dan dia tanyakan siapa aku, lalu kuceritakan siapa aku, nama asliku, dan kenangan dulu-dulu ketika bersamanya. Ketika dia mendengar dengan jelas siapa aku, terasa dalam suaranya di tilpun, dia agak ragu dan tidak ramah.

"Jadi apa bisa kita ketemu, entah di manalah menurutmu yang baik?" "Ya, di mana ya? Jangan sampai di rumahlah, sebab susah nyarinya, di tempat lain. Juga jangan sampai di kantor. Lagipula apa begitu perlu kita ketemu? Kalau bisa dengan tilpun kenapa tidak digunakan tilpun saja ya". "Ya, aku sih sangat mau ketemu kau, rasanya sangat lama benar kita nggak ketemu. Bagaimana keadaan rumah, keluargamu?" "Ya, baik-baik saja. Soal ketemu itu lain kali saja ya kita janji, jangan sekarang ini. Lagian yang perlu kan di situ bukannya di saya, saya sih sibuk kantoran, banyak pekerjaan menjelang milinium ini. Gitu aja baiknya, okey?" Tak lama tilpunnya ditutup, dan dia yang mulai nutup, dan aku terhenyak, agak kaget juga.

Benar juga pendapat temanku itu. Dari segi pengkotakan, aliran, memang dia termasuk "lesbumi" sedang aku termasuk "lekra", tapi tak pernah ada persoalan itu di antara kami, secara pribadi dan perorangan kemanusiaan antara kami baik-baik saja.

Seorang sarjana, juga seorang sastrawati, yang sebenarnya cukup kukagumi, sudah berkali-kali kuhubungi dengan tilpun mau ketemu. Sudah selama tiga tahun ini. Dan tahun 2000 ini lagi-lagi kuhubungi. Dia ini seorang wanita yang energik, kaya, pintar dan ternama, dan katanya masih ada pertalian keluarga dengan ponakanku dari garis ibunya. Karenanya kuanggap sudah pantas kalau aku mencarinya untuk bisa bertemu, mengadakan tali persahabatan, paling tidak antara manusia.

" Saya simon. Apa ini ibu T?" " O, bukan, saya pembantu di rumah ini. Memang tadi ada pesannya sebelum ibu keluar", kata yang mengaku pembantu itu. "Apa bapak ini adalah pamannya Iman Bungsu?" "Ya, betul, saya datang dari Paris, kalau dapat mau ketemu Ibu T". "Mungkin belum cocok waktunya barangkali, sebab Ibu ke luar kota buat menghadiri pertemuan, begitu pesan Ibu tadi sebelum pergi. Dan minta disampaikan kepada Pamannya Iman Bungsu". "O begitu, ya, lain kali sajalah, dan salam hangat kepada Ibu ya, tolong sampaikan kepada Ibu, dan terimakasih banyak ya",- kataku.

Ini pengajuan pertemuan buat ke empatkalinya sejak tahun 1996. Dan padahal aku tahu betul bahwa Ibu T ketika itu ada di Jakarta, tidak keluar kota, karena dia memberikan kuliah tambahan kepada mahasiswanya, dan mahasiswanya ini ketika sorenya bertemu denganku menceritakan kuliahnya. Dan ada terasa dalam hati, jangan-jangan yang menjawab sebagai pembantunya itu, adalah Ibu T sendiri, karena kami belum pernah saling tahu suara masing-masing. Tetapi kutekankan pada diriku, janganlah terlalu cepat curiga, selalulah memandang yang baik, yang jelas dan jernih.

Dan, begitulah keadaan kenyataan yang kutemui selama di Jakarta dan Indonesia. Yang anehnya, barangkali yang gilanya, aku tak pernah bosan untuk datang ke Indonesia. Ada yang masih belum bisa menerima kami, atau aku, dan bahkan bisa menyakiti hati, mempermalukan kami atau aku. Tetapi sungguh tak ada rasa dendam padaku. Bisa dimengerti keadaan semua ini, terlalu lama kekuasaan Orba dulu itu mencengkamkan dan menanamkan kebencian, ketakutan, antara rakyatnya sendiri. Mengaduk-aduk, mengobok-obok, mengadu-domba antara kami. Yang termakan tentu saja terkena, yang merasa bisa mengatasi persoalan, cobalah berpikir jernih dan bening. Dan aku berusaha keras buat menekan perasaan yang selama ini ada dan terperam, agar tidak perlu lagilah menyuburkan kebencian dan permusuhan. Bukankah dunia ini akan bertambah jelas, jernih, terang benderang bila penghuninya saling dapat memahami persoalan dan perihal selama ini? Make the world clear, clean and happy.

Paris 6 April 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.