Bab 70 :
Mengenang HB Jassin dan Cerita Sekitarnya - Bagian Satu

Mula pertama saya berkenalan dengan HB Jassin pada tahun 1948, ketika umur saya 14 tahun, masih di SMP. Ketika itu yang membawa saya ke Pak Jassin adalah Chairil Anwar, yang serumah dengan saya. Lalu sekalian Chairil memperkenalkan saya kepada Pak Jassin karena ada beberapa sajak saya yang dimuat di Mimbar Indonesia. Sebelumnya saya sudah memuat cerpen di majalah WAKTU di Medan. Tetapi sampai pada waktu itu saya samasekali tidak mengerti bahwa setiap tulisan kita yang dimuat dalam majalah atau penerbitan apapun, biasanya dapat apa yang dinamakan honorarium. Tentu saja waktu itu Chairil diam saja mengenai perihal honorarium ini, dan tokh sudah kami makan bersama dibelikan soto-babat di Boplo, Pasar Gondangdia.

Antara rumah kami dengan kantor redaksi Mimbar Indonesia, cukup dekat, hanya beberapa menit jalan kaki. Rumah kami ketika itu nama jalannya Oude Gondangdia Binnen no 2, yang akhirnya menjadi Gondangdia Lama Dalam no 2, hanya terjemahannya saja. Sedangkan kantor Mimbar Indonesia ada di Jalan Cikini Raya, kalau tak salah nomor 31, sedangkan nomor 25 adalah Bengkel Las - Teknik "Belitung" di mana banyak teman-teman saya bekerja di situ. Seperti ungkapan sebutan banyak orang, " Cikini si Gondangdia, aku begini lantaran dia", begitu pantunnya, jadi memang berdekatan dua kampung itu.

Dalam pada itu rumah kami yang di Gondangdia itu selalu saja kedatangan tamu-tamu penting, karena hubungan-hubungan sosial-budaya dan juga politik. Karena saya masih terlalu muda, jadi saya tidak begitu openen, melihat orang ya melihat orang, tapi tak tahu siapa. Setelah beberapa lama antaranya barulah saya tahu, misalnya Asrul Sani, Rivai Apin, HB Jassin juga, dan bahkan ada orang bulenya, berkulit putih. Bahkan ada serdadu Belandanya segala, bawa stengun lengkap, tapi pakai ransel dan celana pendek. Belakangan barulah saya tahu, dialah itu JC. Princen, yang sampai kini masih hidup, seorang pejuang hak-hak azasi manusia. Ternyata sejak dulu beliau itu sudah anti-perang, anti-kekerasan, sehingga "melarikan diri" dari ketentaraan Kerajaan Belanda yang menjajah Indonesia. Jiwanya berontak, dan akhirnya "masuk ke kalangan" kita, dan sampai kini sebagai seorang pejuang tangguh hak-hak azasi manusia. Juga kalau tak salah ada yang namanya Dolfverspoor, Beb Vuyk, dan lain-lainnya.

Di kalangan kaum politisi juga demikian, sering datang dan pergi, atau paling tidak surat-menyurat dengan abang saya, seperti Chairul Saleh, Wikana, dan jauh sebelum itu juga Mohamad Yamin, dan beberapa kaum politisi lainnya.

Hubungan dengan HB Jassin, maksud saya antara grup sastrawan ini, sejak zaman Chairil dengan teman-temannya, sampai ke angkatan sesudahnya, yaitu kami-kami ini. Yang saya maksudkan kami-kami ini ada beberapa nama sastrawan muda yang ketika itu sangat aktive mengisi banyak ruangan budaya-sastra di beberapa majalah dan suratkabar. Ketika itu kami masih "agak satu" belum "terpecah-pecah". Masih bisa bersama, selalu kumpul dan bicara ngobrol ngalor-ngidul. Teman-teman saya ketika itu yang dekat, lebih banyak dan menyeluruh, masih menyatu. "Komplotan" kami ketika itu ya sebenarnya tak ada komlotan dalam pengertian yang sesungguhnya, bisa saya ingat-ingat seperti Ajip Rosidi, SM. Ardan, Sukanto SA, Trisnojuwono,Syumanjaya,Rijono Pratikto, Rendra, DS Mulyanto dan banyak lagi. Rendra dan Mulyanto datang belakangan sebab mereka selama itu ada di Solo dan Yogyakarta. Sama halnya dengan angkatan yang lebih tua dari kami, seperti Wiratmo Sukito, Trisno Sumardjo, juga dari Solo.

Angkatan yang lebih tua dari kami, tetapi sering bersama, seperti Nugroho Notosusanto dan Ramadhan KH. Dan beberapa sastrawan lainnya yang digrup Balai Pustaka seperti Anas Makruf, Amal Hamzah, Taslim Ali, Achdiat K Mihardja, dan Pramoedya Ananta Toer. Dan sebenarnya secara diam-diam keseluruhan dari kami, mau tidak mau, dalam hati ada pengakuan, bahwa kami ini bukan apa-apa kalau tidak diperkenalkan oleh HB Jassin kepada sidang pembaca yang luas dengan ulasan-ulasannya, dengan kritik sastranya. Secara diam-diam dan menyeluruh, sebenarnya pengaruh HB Jassin luarbisa besarnya, kepada pertumbuhan sastra dan sastrawan. Sepertinya, kayaknya, kalau "belum disahkannya", maka kriterium sastrawan itu belumlah akan mendapatkan tempat sewajarnya. Perasaan ini ada pada banyak kami, walaupun tidak mau mengakuinya ketika itu. Dan pengaruh yang begitu itu sangat tampak dari luar bagi orang yang memang memperhatikan perkembangan budaya-sastra.

Itulah pula sebabnya oleh Gajus Siagian, Pak Jassin digelari "Paus Sastra". Seolah-olah dialah yang "membaptis" bisa tidaknya seseorang menjadi sastrawan. Sudah tentu pendapat ini sangat berlebihan, atau karena tidak suka, tidak rela akan pengaruh besar Jassin ketika itu. Saya kira tidaklah sampai begitu benar halnya. Walaupun kenyataan ke arah itu memang ada. Katakanlah seseorang yang "belum mendapatkan pengesahan" dari Jassin, memang begitu lama "berada di kalangan luar" dan lama sekali baru bisa masuk "kalangan dalam" yang resmi. Ini dapat saya lihat pada beberapa pengarang, misalnya pada Motinggo Busye, termasuk pengarang-pengarang yang walaupun aktive - produktive sepertri Marga T, dan penulis yang dikatakan novel-pop, dan sebangsanya. Padahal menurut saya, banyak juga hasil karya mereka itu cukup baik, berseni, bernilai-bernas. Ini semua sebenarnya karena "pengaruh besar kepausan" Jassin itu.

Jadi ketika itu seolah-olah ada dua kubu, yang sudah "masuk" dan bisalah dikatakan sastrawan-pengarang "resmi" dan yang belum "masuk", masih berada "di luaran". Dulu pada tahun-tahun pertengahan 50-an, seperti saya sebutkan tadi, kami masih satu, mengumpul, tidak atau belum terkotak-kotak. Tetapi ketika sudah zamannya "jor-joran", banyak organisasi budaya-sastra yang tumbuhnya dari partai politik, seperti Lekra, Lesbumi, LKN, Lesbi dan lain-lainnya, nah, sejak itulah kami sudah terkotak-kotak, sudah terbagi, terpisah, tidak menyatu lagi seperti jauh sebelumnya. Saya sudah sangat jarang bergaul dengan Ramadhan KH dan Nugroho, bahkan dengan Ajip dan Ardan atau Misbach Jusa Biran. Tidak mungkin lagi bergaul seperti jauh sebelumnya, sebab sudah ada "barrier" kata orang Perancis, sudah ada "penghalangnya, hambatannya". Apa itu, ya, garis politik itu tadi.

Dulu pada periode tertentu tahun 50-an, saya pernah merasa, bahwa seorang Mochtar Lubis itu bagaimanapun pernah "mengasuh" saya, dengan banyak karya sastra saya yang diterbitkannya, dan diolahnya di majalah MUTIARA yang berkantor di Jalan Pecenongan itu. Tetapi setelah ada bau politik, dan dia tahu bahwa nama saya itu mungkin ada sangkutan dengan garis politik yang dia paling benci, maka tentu saja Mochtar Lubis mengambil jarak. Mana dia mau kenal lagi, mana dia mau menegur-sapa lagi!

Sebelum itu kami bisa kumpul di MSDR, Masarakat Seniman Jakarta Raya, sering ngumpul di Suropati di rumah Pak Sudiro, walikota Jakarta-Raya, dan juga di sekitar Senen. Sampai ada kata Seniman Senen, oleh banyak kalangan, nama sayapun disebut sebagai pencetus ide Seniman Senen, karena sering ngumpul, bergabung sesama sastrawan-seniman di sekitar Senen. Ketika itu Pak Jassin-pun juga sering datang sekedar omong-omong dan bertemu dengan banyak kalangan seniman. Dan secara kebetulan pula beberapa rumah kami ketika itu sudah agak berdekatan. Misalnya rumah Pak Jassin di Siwalan, rumah saya di Kwitang ketika itu, lalu Ardan juga di Kwitang, dan juga Ajip lebih dekat ke rumah Pak Jassin, dan semua daerah ini sekitar Senen Tanah Tinggi.

Karena kami "merasa anak-asuh Pak Jassin" ketika itu, sudah tentu kamipun sering datang ke rumah Pak Jassin di Siwalan. Dan banyak menanyakan soal-soal sastra-budaya, dan tentu saja menanyakan tentang karangan kami sendiri. Sudah tentu pula banyak menanyakan mengapa sajak itu, cerpen itu, yang kami kirimkan baru-baru ini kok ditolak?! Dan Pak Jassin menjawabnya menurut alasan-alasannya, latarbelakang penolakannya, dan sebagainya. Pada waktu itulah kami tahu, kami mengerti bahwa Pak Jassin itu bukanlah akhli berdebat, bukanlah akhli bicara di depan umum. Pak Jassin menurut pengamatan saya, samasekali bukanlah orang podium, bukanlah orang mimbar, akhli pidato, lancar berapi-api. Tetapi dia adalah orang yang menulis, orang yang berpikir lalu menuliskannya, orang yang sangat tekun dan telaten, rajin, berhati-hati dan resik. Tetapi janganlah diajak berdebat di depan forum resmi, kasihan dia. Dia tidak akan meladeninya, karena memang bukan orangnya buat diajak berdebat berhadapan.

Karena itupula pada banyak kesempatan pada beberapa kali simposium sastra-budaya, ketika konggres, konperensi, seminar, dia selalu menolak untuk berbicara yang sifatnya akan ada perdebatan. Bahkan ketika kami minta dia bicara ketika kami dengan Ardan memperingati dua tahun wafatnya Chairil Anwar di Gedung Balai Prajurit Diponegero, Pak Jassin menolaknya. Kami tahu penolakan ini lebih-lebih dia sangat tidak mau menonjolkan diri, disamping menghindari pembicaraan di depan umum.

Ketika kami agak mengajak diskusi kenapa sebuah hasil sastra ditolaknya, dia lama sekali merenungkan apa yang mesti dia keluarkan, dengan kata-kata : "saya kira, ada apa ya............ya, buyar begitu, hambar begitu.........tak padu-lah, sulit mencernanya.........apalagi yah...........", kata-kata begini sangat sering kami terima darinya. Setiap pengarang sudah tentu lain-lain mendapatkan kesuksesannya, tetapi ada yang satu hal sama, Pak Jassin tak pernah ragu menolak sebuah hasil karya yang dianggapnya "belum masuk" "belum padu, belum bernas" dan banyak belum-belum lainnya. Dan kami pada akhirnya menerima argumentasinya. Juga menjadi catatan pokok dari keseluruhan aktivitas Pak Jassin, sampai kini belum ada yang menekuni bidang sastra dalam kritik dan analisis yang sebaik Pak Jassin. Kehebatan Jassin, adalah ketekunannya, juga ketelitiannya, rajin, rapi dan sangat telaten. Dia mengumpulkan begitu banyak buku sastra lama dan baru sejak sebelum zaman Jepang. Dan buku-buku itu sudah tidak mungkin lagi disimpan di rumahnya. Karenanya pemerintah memerlukan suatu perpustakaan untuk menampung begitu banyak buku-buku Jassin. Semua ini adalah warisannya selama puluhan tahun hasil kerjanya, dan perlu adanya sebuah Perpustakaan HB Jassin yang sekarang ini di TIM,-

Paris 14 Maret 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.