Bab 69 :
Bagian Dua - Habis ( Musim-Semi - Musim-Kawin-Cerai )

Lama kurenungkan kasus Pak Parto-Mbak July ini. Dua-dua orang ini punya keistimewaan, baik kekurangannya maupun keunggulannya. Dari beberapa segi, aku jadi angkat-tangan, dalam pengertian betapa hebatnya orang-orang ini. Pak Parto begitu ngebet dan kebelet mau kawin. Sejak limabelas tahun yang lalu, dia sudah mengajukan kepadaku, mbok tolonglah carikan jodohnya, mbok dengar-dengarlah, kalau-kalau ada kemungkinan punya isteri lagi walaupun umurnya sudah tidak muda lagi. Isteri Pak Parto sudah lama meninggal, jadi dia merasa perlu lagi beristeri yang baru. Dan ini sangat wajar, kan. Karena itu kami mulai mencari hubungan-hubungan, menanyakan sana-sini.

Beberapa penemuan kami kabarkan kepada Pak Parto. Dan dia menghubunginya dengan tilpun, surat-menyurat maupun pesan-titip. Lalu ada hubungan. Tak lama ada keputusan bahwa tak jadi diteruskan, karena tak sesuai dengan pikiran dan perilaku masing-masing. Dan kejadian begini juga tetap wajar-wajar saja. Sebab beristeri itu bukanlah bagaikan membeli barang buat seketika, tapi buat selamanya kalau bisa. Harus dilihat, ditinjau, ditimbang baik-baik, lihat dan amati kiri-kanan, muka-belakang atas-bawah, dibalik-balik. Bukannya orangnya dengan badan-raga, tapi tabiat, perilaku, watak kepribadian dan sebagainya. Menurut yang kutahu, barangkali ada tujuh kali gagal, tak jadi, urung. Dan ada beberapa bangsa, dari Jepang, Tionghoa, dan Indonesia, berbagai suku. Tak apa, kami mengerti kenapa gagal dan belum-belum jadi juga.

Tetapi yang sekali ini, malah kami heran, bukankah dia tahu bahwa Mbak July itu bukan hanya janda biasa saja, tapi sudah punya empat anak, ada yang sudah dewasa, ada yang masih cukup kecil. Lalu dirinya sendiri sudah pensiun, pendapatan berkurang dari dulunya. Lalu bagaimana nanti kasi makan anak orang, yang ekornya juga berjumlah empat itu?!

Dan geleng kepala serta garuk kepala tak gatallah kami, karena kami dengar tahu-tahu saja, mereka berdua sudah beli rumah seharga 150 juta rupiah, itu artinya paling sedikit 150.000 francs. Untuk kami betapa banyaknya jumlah uang sebegitu. Kami samasekali tak menyangka diam-diam punya harta sebanyak itu. Ini salah satu kehebatan Pak Parto. Diam-diam "meledak" dengan "hentakan" membeli rumah! Sungguh tidak gampang! Aku teringat akan diriku. Uang habis tak bisa terkumpul karena terlalu banyak bepergian, ke Indonesia saja bisa dua kali dalam satu tahun, lalu ke daratan Eropa lainnya, ke Holland saja setiap bulan!

Lalu setelah ada peristiwa larinya Mbak July ke cowok Perancis itu, dan mengajukan perceraian, kami yang agak panik dan rikuh. Bagaimana cara meringankan beban jiwa, kesedihan, kebingungan Pak Parto. Kami cari akal dan caranya. Tetapi malah Pak Parto tenang-tenang saja. Yang dia urus malah bagaimana memindah-alihkan rumah yang baru dibelinya itu agar menjadi hak-milik dia sepenuhnya. Dan, nah, ini yang lagi-lagi hebatnya, dia mau segera cari lagi wanita yang bisa dijadikannya isteri. Tahun depan umurnya 70 tahun, dan tahun depan itu tinggal beberapa bulan lagi. Menurut pengakuannya, dia masih hebat dalam soal yang satu itu. Itu sih bisa-bisa saja terjadi, hanya apa betul, apa betul hebatnya itu sampai bisa membikin kelabakan seperti halnya Mbak July menurut pengakuannya. Dan kalau sampai kelabakan dan hebat, kok, Mbak July masih juga mau pacaran dan jatuhnya ke tangan cowok Perancis yang masih muda dan penuh semangat. Dan lalu yang sampai hamil itu, tokh Mbak July "main" dengan dua pria dalam satu periode, sebab ketika itu dia masih satu rumah dengan suami sahnya. Tapi hal itu sih bukan buat diperdebatkan, hanya membeberkan fakta yang adanya saja.

Belum lagi tuntas kami "membicarakan" dan "menyeminarkan" perihal Pak Parto ini, sudah ada lagi kasus Putu! Putu pekerja, pegawai resto kami. Orang Bali, anaknya dua, isterinya minta cerai. Kami punya pikiran tadinya bahwa Putu ini masih muda, tenaganya cukup baik, dan mau diajari dan ditunjuki, orangnya sabaran, tenang, pokoknya kami punya angka dalam kepala, bahwa dia ini bisa kami andalkan kelaknya. Sebab resto kami ini semakin lama semakin berkurang kader lamanya, sebab yang meninggal saja sudah dua orang, yang pensiun sudah enam orang plus yang meninggal itu. Jadi harus dari sekarang memikirkan peremajaan, menerima darah-segar, dan salah seorang yang kami pikirkan Putu ini.

Sekarang Putu punya soal lagi, dia "ingin dan akan dicerai oleh isterinya". Isterinya orang Perancis, peranakan Guadelope, jadi berkulit agak gelaplah. Jadi kalau dikutak-katik, dua kasus ini berbeda. Yang satu, ditinggalkan oleh orang Indonesia, yang satunya lagi orang Indonesia ditinggalkan oleh orang Perancis. Dan memang dua watak serta kasus ini sangat berbeda. Malam kejadian setelah Putu menerima kabar-berita bahwa isterinya sudah secara resmi mengajukan perceraian dengannya, Putu ketika itu bekerja di sal denganku. Hari itu semua serba salah, salah antar makanan yang mestinya ke meja lain. Salah yang lainnya orang minta kopi yang diberikan malah dessert tapai, salah memberikan notes tanda pembayaran yang mestinya pelanggan itu minta tambahan nasi.

Lalu kutanyakan mengapa dan ada apa ini. Berceritalah Putu keadaan sebenarnya. Aku mengurut dada, belum selesai yang satu sudah datang yang beginian! Dan kami ada dan punya paguyuban, sedangkan peristiwa tidak enak ini terjadi pada anggota paguyuban kami. Kami harus mengurus dan memperdulikannya, harus ambil-perhatian sebaik-baiknya. Paguyuban kami yang bernama PARIS bukanlah pengertian kotanya tok, tapi kepanjangan dari Paguyuban Rekan-rekan Indonesia di Paris, maka jadilah PARIS nama paguyuban kami itu. Nah, baru saja berdiri sudah ada dua kasus yang sama tapi wataknya berbeda yang harus diurus.

Setelah beberapa hari, sudah dua tiga minggu sesudah itu, kutanyakan kepada beberapa teman yang bekerjasama di resto dengan Putu. Banyak komentar, banyak pendapat, ada yang sama, ada yang dengan pendirian pribadi menanggapinya. Katanya kehidupan Putu dan Daniele, dengan dua anaknya itu tadinya biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan, masing-masing watak aslinya pada keluar. Yang Bali ini tetap saja membawa ke-Bali-annya, sehingga di rumah mereka yang berada di kota Paris ini, Putu selalu saja berbahasa Bali dengan isterinya! Jadi Putu sangat terbelakang dalam Bahasa Perancis, sedangkan Daniele maju pesat dalam bahasa Bali. Lalu apa gunanya terus menerus berbahasa Bali sedangkan bahasa Perancisnya keteteran dalam meladeni tamu di resto. Soal ini sudah pernah kami ajukan kepada Putu jauh sebelum peristiwa ini, agar Putu memperdalam bahasa Perancisnya, demi buat kemajuan pekerjaannya.

Lalu, ketika datangnya musim-panas buat liburan bersama, Daniele dengan anak-anaknya mengajak Putu, suaminya, buat liburan bersama. Tetapi Putu menolak, katanya dia lebih senang di Paris saja, bekerja terus sambil mencari penghasilan tambahan. Dan ini katanya sudah dua kali kejadian, dua kali liburan tanpa suami, karena menolak pergi bersama. Dan lagi benarlah begitu setelah kutanyakan sendiri kepada Putu, bahwa Putu tidak pernah mengatakan kata-kata cinta dan sayang kepada isterinya, tidak pernah mencium isterinya kalau masing-masing baru ketemu setelah sehari suntuk berpisah karena bekerja. Jadi Putu memperlakukan isterinya sebagaimana orang-orang di Bali sana mungkin. Apa sih kata-kata cinta dan kekasih, apa sih arti ciuman formil, begitu pikir Putu. Putu sudah 6 tahun beristerikan orang Perancis, tapi dia samasekali tidak mengerti bagaimana cara memperlakukan isteri yang orang Perancis. Kata-kata sayang, cinta, kekasih dan ciuman sehari-hari adalah sangat penting, sangat harus diperhatikan. Karena kebiasaan itu, perilaku demikian, sudah jadi air mandi kehidupan orang Perancis. Dan kalau Putu tidak melakukannya, maka artinya Putu tidak pernah mandi-mandi!

Dan lagi kenapa sudah hidup di Perancis, di Paris-nya pula, tapi masih terus membawa kebiasaan hidup di Bali, dan di kampung yang jauh dari Kuta, Sanur, dan Ubud-nya lagi! Sudah tentu semua ini menjadi perseteruan, menjadi minyak-bakar dalam kehidupan yang sedikit saja tersandung, akan segera terbakar. Dan ketika kukatakan hal-hal begini sangat penting dalam kehidupan orang Perancis, Putu setuju dan akhirnya meng ya kan, tetapi sudah jauh terlambat.

Sekarang yang soal ada banyak hal. Putu sangat mencintai isterinya, tapi sangat sakit hati kepada isterinya, sebab sampai hati dan tega-teganya minta cerai dan seakan-akan mau mengusir Putu dari rumah itu. Padahal Putu sangat menyayangi dua anaknya. Putu seakan tak mampu akan berpisah dengan dua anaknya itu. Dan dua anaknya itupun sangat mencintai ayahnya. Lalu kalau Putu harus pergi dari rumah itu, mau ke mana, kepada siapa? Tak ada keluarganya di sini. Lagipula kalau mau cari rumah sendiri, mana gajinya, takkan cukup hanya mengharapkan dari gaji resto kami saja! Lalu bagaikan putus harapan, Putu mengajukan kepada kami, bahwa dia mau pulang ke Bali saja! Mendengar hal begini, kontan aku menentangnya. Kalau dia tiba-tiba marah dan merajuk tahu-tahu mau pulang ke Bali, dia akan banyak kehilangan. Kehilangan dua anaknya, kehilangan hak-haknya, kehilangan pekerjaan dan teman-teman-baiknya di Perancis dan ada beberapa kehilangan lainnya. Di Paris, tokh, ada "banjar" atau semacam "subak" buat orang-orang Bali dengan organisasi tradisionalnya, dan lagi kami kan ada pagyuban PARIS ini. Kita usahakan, kita bantu, kita carikan jalan yang sebaik-baiknya.

Dalam perbincangan bagaimana menangani dua kasus ini, beberapa teman tentu ada-ada saja mengeluarkan uneg-uneg, dan rasa agak kesalnya, ditambah gossip sedikit. "Kenapa sih kok cinta amat pada wanita tua begitu"!, kata seorang teman. "Lho, kok, kamu tahu, apa isterinya tua, apa?!", kataku agar teman ini memperbaiki kata-katanya. "Ya, dong, beda 16 tahun, apa nggak tua itu! Lagian isterinya itu tampaknya rada-rada tomboy, nggak ada sedikitpun femininnya. Saya sih heran bangat kalau Putu begitu tergila-gilanya sama itu wanita"!,- kata teman sekerja saya itu. Aku diam saja. Dan setelah kutanyakan kepada beberapa teman yang kebetulan sudah pernah ketemu dengan isterinya Putu, meng ya kan semua pendapat itu. Katanya memang isterinya lebih tua 16 tahun dari Putu, lalu orangnya itu gagah-perkasa, besar-tinggi, agak kelaki-lakian, mungkin maksudnya tidak begitu feminin-lah tokh mereka sudah punya dua anak, betapapun tidak femininnya!

Ketika aku pulang kerja dari resto, ada sebuah e-mail yang datang dari Indonesia, entah siapa orangnya, tak kukenal, tapi ditujukan kepadaku. "Tolonglah pak, saya memang benar hanya kenal bapak dari e-mail saja, bacaan dari tulisan bapak, saya tahu bahwa bapak di Paris. Adik saya wanita juga di Paris, dia ini akan segera dicerai oleh suaminya orang Perancis. Padahal mereka sudah hidup bersama selama 22 tahun. Tahukah bapak, bagaimana cara mendapatkan seorang lawyer yang mungkin bisa gratis atau agak murah? Tolonglah hubungkan adik saya itu agar dia bisa mempertahankan hak-haknya, tidak dibiarkan begitu saja dicerai semaunya oleh orang Perancis itu", katanya dalam milis itu.

Wanita yang disebutkannya itu aku tidak tahu dan lagi tak pernah datang ke resto kami. Seandainyapun dia datang dan minta bantuan kepada kami, lalu apa lagi daya kami dan kekuatan kami buat mengurus semua ini? Kataku dalam hati : "bisa-bisa resto ini jadi badan konsultan perceraian, dan mungkin perkawinan". Dengan demikian kini ada tiga kasus perceraian yang sedang kami amati, urusi, perdulikan, ambil-perhatian. Dan ketiganya dengan watak serta perilaku yang berbeda. Akh, baru saja mau mengurus perceraian, " begitu aja repot-repot"! Dan dalam bulan April sedang musimsemi sejadi-jadinya, biasanya puncak orang-orang pada kawin dan cerai, berjagalah!

Paris 13 Maret 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.