Bab 63 :
Cerita Ringan : Berry

Nama yang tercatat di kotapraja Fontenay Sous Bois, Paris — lengkapnya : Berry Batis Aditya Jaya,— dan dia lahirnya di Paris. Sejak umur tiga bulan sudah punya paspor sendiri, dengan foto dipegangi dari samping, sehingga kelihatan foto bayi itu tidak dalam posisi duduk. Tapi sekarang ini peraturannya sudah lain, harus ikut orangtua, ibunya. Sulitnya bila mau ke mana-mana tidak bisa sendirian, harus ikut paspor yang ada dua orang, ibu dan anak. Ketika itu peraturannya bebas, bisa bikin paspor sendiri, walaupun umurnya belul setahun. Ini termasuk peruntungan Berry, sekecil itu sudah punya paspor sendiri. Sehingga ketika dia pertama kali ke Indonesia dengan kami, ibunya, kakaknya dan kakeknya, orang douane, imigrasi, terheran-heran, anak umur dua tahun ketika itu, sudah punya paspor sendiri. Suatu hal yang sangat langka dan mengherankan, lalu menjadi perhatian orang.

Ketika kecilnya sampai umur satu tahun satu rumah denganku, dan sangat dekat dan begitu dekat denganku. Ke mana saja aku pergi selalu mau ikut. Kata ibu bapanya, Berry itu adalah ekornya kakek. Selalu menguntit, maunya selalu ikut. Dan ketika mereka pindah ke Holland, tentu saja aku sangat sedih, berpisah dengan Berry, dan Berry-pun minta agar aku ikut pindah ke Holland. Aku sudah menjelaskannya, tidak mungkin dalam waktu yang dekat ini. Kami biasanya akan berkata dan bercerita sebagaimana orang-orang yang seharusnya mengerti dan dewasa, tidak dianggap atau jangan sampai menganggap anak-kecil takkan mengerti apa-apa.

Dulu ketika kakaknya masih kecil, dan dia belum lahir, kesayanganku tertumpu pada kakaknya, Loulou - Laura. Tetapi kini Laura menjelang umur 14, lucu kekanak-kanakannya sudah hilang. Dan kepada Berry-lah tumpuan kesayangan itu. Ini bukan samasekali tidak sayang lagi, tetapi sudah ada perubahan, sudah lain bentuk kasih-sayangnya, bukannya faktor lucu dan menggemaskan lagi, tapi sebagaimana menyayangi cucu yang menjelang dewasa.

Ketika umur Berry sekitar menjelang tiga tahun, banyak sekali kenangan yang sangat sulit dilupakan, bahkan selalu teringat. Setiap kali aku ke Indonesia bila tanpa dia, seperti tahun 1999 dan 2000,— Januari barusan,— aku bisa begitu cengeng, begitu sedih terlalu lama berpisah dengannya. Dan kontan aku menilpun ke Holland, dan setiap menilpun di wartel, habis puluhan ribu rupiah. Tapi tak apa, hati sudah terpuaskan.

Menjelang aku berangkat ke Jakarta, aku ke Holland buat menemui para cucu. Di satu jalan yang sama, berdiamlah dua anakku, masing-masing punya sepasang anak, laki dan wanita,- sangat ideal. Jadi aku punya empat cucu, dua laki, dua wanita. Yang satu rumahnya nomor 115, yang satunya lagi nomor 15,— beda 100,— Karenanya di rumah dua-duanya aku harus menginap, agar setiap cucu merasa adil dan juga memang mereka selalu minta agar aku menginap di rumahnya. Rumah yang satunya adalah rumah Wita, anakku yang tertua. Dia punya anak Angel, laki-laki umur 10 tahun, lalu Celine umur 8 tahun. Kalau orang Jawa, seharusnya Laura dan Berry harus memanggil abang dan kakak kepada Angel dan Celina, karena ibunya adalah anakku yang tertua. Sedangkan ibu Laura dan Berry, Nita, adalah anakku yang kedua. Tapi adat kami tidak begitu, yang benar-benar tua umurnya ya seharusnya dipanggil kakak atau abang. Jadi bagaimanapun, Angel harus panggil kakak kepada Laura, dan Angel dan Celine adalah adik-adik Laura. Di sini kedudukan Berry tetap tak berubah, sebab dia anak paling muda, paling kecil umurnya, jadi dia tetap saja adik terkecil.

Ketika aku mau menginap di rumah Wita, Angel dan Celine, Berry protes. Mengapa harus menginap di sana. Gilanya, Berry langsung tilpun tantenya, Wita, bahwa dia tidak setuju kakeknya menginap di rumah tante Wita. Untuk meyakinkannya ini, tidak begitu gampang. Dulu pernah Berry mengatakan, bahwa si simon itu adalah kakeknya Berry sama Laura, bukan kakeknya Angel sama Celine.

Aku menjelaskannya, juga ibu dan tantenya. Kakek adalah kakek dari empat cucu. Kakek adalah kakeknya Laura, kakeknya Angel, kakeknya Celine dan juga kakeknya Berry. Lalu Berry protes lagi mengapa dia nomor vier, vierde, yang keempat tidak yang pertama. Dijelaskan lagi karena Berry memang urutan umurnya yang keempat. Dan lalu dia mengerti. Kalau dia mengerti akan selalu mengatakan : "Oh ya", atau "oh so".

"Tante Wita, Berry tidak mau kakek menginap di rumah tante Wita. Berry jalous lho", kata Berry menilpun tantenya. "Kan Angel dan Celine juga mau agar kakek menginap di rumahnya. Kakek di rumah Berry kan sudah sering, nah, sekarang, hari ini kakek menginap di rumah tante Wita, ya, sayang".- "Nee, Berry tidak mau, kakek harus di rumah Berry. Atau Angel, Celine menginap di rumah Berry sama-sama kakek di sini, jadi kita vier mensen", kata Berry dengan bahasa campuran. Kalau sudah begini cukup sulit solusinya. Berry tidak bisa dipaksa atau dikerasi tanpa alasan yang bisa diterimanya. Kami berpikir bersama mama dan papanya dan juga tantenya. Akhirnya kami menemukan jalan. Agar Berry ikut menginap bersama kakeknya di rumah tantenya, dan Berry sangat setuju. Maka berangkatlah kami berdua Berry ke rumah Wita yang hanya sekian puluh meter itu! Malam itu kami berempat dengan tiga cucu. Laura tidak ikut, sebab banyak PR-nya yang harus diselesaikan malam itu.

Berry setiap aku datang ke Holland, selalu mau ikut aku ke Paris. Kukatakan ini tidak mungkin, karena kakek bekerja, dan Berry sendirian bagaimana di rumah. Dia katakan ikut kakek saja ke mana-mana. "Tidak bisa Berry, kasihan mama dan Loulou dan papa, ditinggalkan Berry". "Lat maar, biar saja, aleen dua tiga hari saja tokh",- kata Berry berkilah.

Dan ketika aku mau ke Jakarta baru-baru ini, pulang dari Holland ke Paris, Berry juga mau ikut ke Paris dan mau ikut ke Jakarta. Dan dia ingat ketika baru beberapa bulan yang lalu, kami bertiga, Laura, Angel dan aku ke Bali. Dia lalu menagih, bahwa dia juga mau ke Bali dengan kakek, aleen twee, hanya berdua kakek saja, katanya. Pagi-pagi itu ketika aku mau menuju stasiun Almere Stad, dia menangis mau ikut, paling tidak mengantar saja ke stasiun. Terpaksalah tantenya, Wita, turut mengantarkan bersama Berry ke stasiun. Dari stasiun Almere, aku menuju Schipol, lalu barulah dengan kereta-cepat menuju Paris.

Dan ketika di stasiun itu, Berry digendong tantenya. Tidak banyak omong dia. Tetapi airmatanya mengalir sedih sekali. Aku berusaha membujuknya agar jangan menangis, jangan bersedih hati, kan kakek tidak lama, hanya satu bulan lebih saja. Tapi Berry tak mau tahu. Tak terdengar suara berkata, tetapi isakan halusnya terdengar. Dan begitu aku naik kereta, hanya tangannya melambai dan airmatanya terus menggenang. Sampai jauh sekali kuperhatikan, anak dan cucu itu sudah agak jauh, tetap saja tangannya dinaikkan ke atas. Terbayang matanya berkilat dan dari pelupuk mata kanak-kanaknya menetes butiran mutiara putih-bersih. Dan kini setelah jauh kereta, mungkin giliran airmataku-lah yang mengalir. Terasa memang, ada ikatan tertentu dengan Berry,— aku sangat menyayanginya.

Biasanya kalau begitu bertemu sesudah bulanan tak bertemu, dia akan lari sekencangnya dan menerkamku buat minta gendong, minta peluk dan cium. Padahal tidak semua orang dia suka diciumi. Ada orang-orang tertentu bila mau memeluk dan menciumnya, lalu dia berkata : "Oh nee, salaman saja", katanya sambil mengunjukkan tangan sambil sedia bersalaman. "Yang ciuman itu kan meisje", katanya. Ada-ada saja alasannya. "Berry kan jongen", katanya. Ketika badannya oleng-oleng, terutama pantatnya bergerak geol-geol, itu tandanya dia sudah mau kencing. "Ayo Berry, lekas sini, buka celananya, kamu kan mau pipis". "Nee, Berry kan dansa, nari-nari", katanya memberi alasan. Padahal dia itu sangat malas buka celana kalau mau kencing. Dan tak lama antaranya, dia memekik karena terkencing, lalu datang kepadaku. "Nah, rupanya dansa tadi itu, lalu terkencing ya Berry",— "Oh ya, so",— Dia tak mau ngaku bahwa gerak-gerik pantatnya tadi karena mau kencing.

Semua ini, apa saja yang menjadi gerak-geriknya ini menjadikan aku tertawa sendirian, sangat lucunya. Ada kalanya dia berdua bersepakat dengan kakaknya, Laura, agar aku mau bercerita kepada mereka berdua. Semua ceritaku yang pernah kutulis, Laura-lah yang paling banyak tahu, karena selalu saja dia minta agar aku ceritakan apa saja yang kutuliskan selama ini. Dan cerita-cerita ini, bila Berry tidak mengerti kata-kata dan kalimat tertentu ketika aku sedang cerita, maka Laura akan menterjemahkannya ke dalam bahasa Belanda. Dan Berry biasanya kalau dia memang mengerti, selalu akan berkata : "oh so",—

Sekarang ini mereka sekeluarga sedang di Chamonix,dekat Swiss pegunungan Alpen,salju, buat istirahat dan main ski. Berry menilpunku agar aku menyusul ke sana. Kukatakan kakek kan sekarang kerja, cari duit buat beli tiket ke Holland, buat lihat dan ketemu Berry. "Oh so, Berry tunggu ya kakek di Almere, Holland", katanya dalam tilpun.

Paris 26 febr 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.