Bab 58 :
Kisah Jakarta - Paris

Pernah kutuliskan pada tahun-tahun lalu, bahwa hidupku ini ada di antara dua negara, Holland dan Perancis. Sebab paling sedikit satu bulan satu kali selalu ke Holland dan ada di Holland antara satu-dua minggu. Ada dua hal, pertama buat menghadiri rapat YSBI — Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia —, yang rapatnya paling lambat satu bulan satu kali, kedua karena memang kangen anak-cucu. Sekarang ini semua anak-anakku dan cucu-cucuku hidup di Holland.

Beberapa bulan yang lalu, ketika aku baru saja pulang dari Holland, dan baru saja melepaskan pantat di kursi karena 4 jam duduk di kereta, tiba-tiba ada tilpun dari Mas Y temanku di Resto. Isinya benar-benar mengejutkan, dan kata pengarang dulu-dulu, bagaikana geledek di siang bolong. Bahwa isterinya Mas Untung tiba-tiba saja minta cerai dan kini sudah hidup dengan cowok Perancis! Ini benar-benar gila! Aku salah seorang merasa diriku tahu benar bahwa kehidupan Mas Untung dengan mbak Iming itu sangat bahagia. Setiap hari bagaikan penganten baru. Kalau jalan berduaan, mbak Iming selalu mendekatkan badannya ke Pak Untung sambil gelayutan bagaikan anak-anak muda di Paris. Padahal kalau mau omong soal umur, masya-Allah, ini sih cucu sama kakek! Yang satu berumur kepala tiga dan si kakek berumur menjelang kepala tujuh! Bahkan tidak jarang mbak Iming memanggil suaminya si Ngkong, artinya si kakek.

Cerita Pak Untung memang unik. Dia ini minta carikan isteri sudah sejak belasan tahun yang lalu. Karena dia ini benar-benar serius mau kawin, mau berumahtangga, maka aku sangat berusaha keras mencarikannya, walaupun kami sama-sama bujang-lapok. Bedanya dia sangat serius mau kawin, mau punya isteri lagi. Isteri yang dulu sudah lama meninggal di Jakarta. Dan aku berusaha kian kemari minta tolong carikan seorang yang mau diperisteri oleh seorang teman yang begini begini. Disertakan fakta umurnya, keadaan sosialnya, kesehatannya, rumahnya, dan harus lengkap, sehingga jangan sampai dikatakan menjual kucing dalam karung.

Calon sudah pada ramai. Tetapi belum ada yang cocok. Yang dari asal Tiongkok, asal Jepang dan dari Indonesia sendiri. Berkali-kali gagal, karena memang belum menemukan jodoh yang sebenarnya, belum ada kecocokan. Ada-ada saja soal. Soal lain agama, lain perwatakan, lain tabiat-adat-istiadat, dan macam-macam. Satu hal yang aku kagumi pada Pak Untung ini, dia tetap ngotot mau punya isteri, tak berubah kehendaknya ini sejak belasan tahun, hebat!

Dan yang ini cocok bangat, mbak Iming ini. Dan kami merayakan, memestakannya di Resto kami. Ini kasus pertama di antara kami, ada kawin sistim paket, kiriman, yang di Holland dan Jerman adalah soal biasa, sudah berjalan bertahun-tahun. Dan kehidupan mereka yang kulihat dari luar, sangat bahagia, rukun dan kami yang melihatnyapun juga turut merasa senang dan bahagia. Tapi ternyata penglihatan dari luar itu adalah belum benar-benar merupakan kenyataan yang sesungguhnya. Ketika Mas Y menceritakan bahwa mbak Iming memang sudah pindah dari rumah Pak Untung ke rumah laki-laki Perancis itu, aku menjadi terhenyak, serasa tiba-tiba dapat serangan mendadak, pukulan dari belakang yang tak tersangka.

Sejak kabar itu menyebar di antara kami di Resto, maka bagaikan seminar bisik-bisik, kami membicarakannya, memperbincangkannya, mendiskusikannya, kok mengapa bisa terjadi hal demikian. Memang ada di antara teman kami sudah mulai mencurigai mbak Iming. Karena kalau pulang kerja dari Resto, dia selalu terlambat sampai di rumahnya. Dan ketika liburan mingguan, adakalanya dia sering bepergian sendirian tanpa si Ngkongnya. Tapi soal "kebahagiaan" tadi itu tetap saja kami lihat dari luar, soal selalu menggayut, berpimpin, berpelukan, bagaikan anak-anak muda orang bule saja kelakuannya. Mana kami bisa membayangkan akan terjadinya peristiwa yang beginian.

Tak dapat kami mengerti, kenapa mbak Iming kok bisa meninggalkan Pak Untung begitu cepat, begitu tega. Padahal kecintaan Pak Untung kepada mbak Iming luar biasa. Anak-anak mbak Iming yang empat orang di Jakarta itu, selalu dikirimi uang, selalu tepat waktu dikirimi Pak Untung. Bahkan lebih dari itu, tahun lalu mbak Iming pulang ke Jakarta, dan sudah membeli rumah seharga 150 juta rupiah atas nama mbak Iming — karena Pak Untung orang asing, warganegara Perancis tidak punya hak undang-undang buat beli rumah. Dan tokh rumah itu buat mereka sekeluarga kalau Pak Untung nanti pulang buat hidup di Jakarta.

Dan tambah bingung kami dibuatnya, bahwa mbak Iming merasa sudah berisi, sudah hamil dengan laki-laki Perancis itu. Ketika itu kembali seminar bisik-bisik itu menghantui kami di Resto, ayo, kira-kira siapa yang "mengisi perut" mbak Iming itu, Pak Untung atau cowok Perancis itu? Lebih-lebih lagi herannya kami ketika secara blak-blakan Pak Untung "terpaksa" cerita bagaimana dia merasa hebatnya main di ranjang, sehingga katanya mbak Iming sampai kewalahan! Kata kami dalam hati, "kok bisa ya, kok bisa begitu, apa betul begitu" ; tapi sudahlah, mungkin saja perilaku seks itu belum mutlak menentukan segala sesuatunya buat kelanggengan hidup di sesuatu keluarga. Dan mungkin pula hanya menutupi keadaan sebenarnya, sehingga kami menggosip, kalau betul-betul puas dan kelabakan, masaksih masih cari yang lain, pakai bunting lagi!

Peristiwa ini sudah berbulan yang lalu. Dan kami bersimpati pada Pak Untung, kami merasakan susah-sedih-kesalnya Pak Untung, dan kami selalu mendekatinya, menasehatinya baik-baik, menjaganya agar dia tegar dan kukuh. Dan betul-betul sangat hebat Pak Untung ini. Dia menyatakan kepada kami, bahwa dia tetap masih mau kawin lagi, masih mau punya isteri lagi. Lalu kehidupan berjalan seperti biasa lagi, sudah tak ada seminar, diskusi seperti dulu itu lagi.

Begitu aku kembali dari Holland, aku dapat tilpun lagi, bahwa aku diminta masuk kerja karena tak ada orang, tak ada tenaga. Katanya teman sekerjanya si Putu. Aku kenal Putu, punya anak dua, dan isterinya orang Perancis, yang kalau di rumahnya mereka sering bukannya berbahasa Perancis atau Indonesia, malah berbahasa Bali!

Malam itu tampak Putu sangat sedih, tampaknya kurus setelah beberapa minggu ini aku baru saja bertemu dengannya hari itu. Bekerjanya pun ogah-ogahan, selalu salah tingkah, dan tak ada semangat, lemas dan tak berdaya. Ketika kutanyakan keadaan sebenarnya, malah dia menangis sedih dan lalu dengan terbata-bata bercerita padaku. Bahwa hari itu siang tadinya, isterinya sudah mengatakan minta cerai! Sudah tidak cocok lagi berkehidupan dengannya, dan akan lebih baik kalau cerai saja. Mendengar ini kembali aku terhenyak, agak bingung dan merasa sangat kasihan kepada Putu yang sangat baik, sangat ramah dan juga cukup ganteng ini.

Dan gilanya lagi malam itu dia harus meladeni pesta perkawinan orang Perancis dengan orang Indonesia di sal bawah, memang tidak banyak, sejumah 17 orang. Tetapi rasa sedih dan kontrasnya itu? Yang satu sedang bahagia, penuh suka dan gembira, yang meladeninya ini sedang dalam duka nestapa karena akan segera dicerai isterinya. Maka kembali peristiwa beberapa bulan yang lalu kini muncul di tengah kami. Dua-dua ini adalah keluarga Resto. Dua-dua ini kami sayangi, seorang tua yang sudah hampir 70 dan seorang muda, tampan, baik-ramah-menyenangkan.

Peristiwanya sama, isteri minta cerai, bahkan diam-diam ada yang sudah bunting dan melarikan diri secara terang-terangan. Apa ini semua? Drama kehidupan yang berjalan di antara kami, keluarga Resto di tempat kami. Dan setiap aku kembali dari Holland dan Jakarta, dengan ini sudah dua kali ; ada yang minta cerai, padahal dua-dua keluarga itu kulihat sangat bahagia tadinya, walaupun penglihatan itu hanyalah dari luar.

Masih sempat aku berpikir, ketika di Jakarta, betapa baiknya cucuku Nita, selalu saja memperkenalkanku dengan teman-teman juniornya, pramugari yang cantik-ayu yang kenes-kegenitan. Ada yang diam-diam termasuk dalam daftar catatan hati, ada yang bahkan menggemaskan, selalu bikin geregetan, ada yang berdekatan saja sudah nyetrum karena wangi-harum merangsang. Apakah itu Yvonne, Yanti, Dessy, Ning, Sum dan lainnya itu? Berpikir sampai di sini, tiba-tiba saja menyentak pada diri : memangnya kamu mau di Pak Untung-kan atau mau di Putu-kan! Sedangkan Pak Untung yang katanya bisa bikin kelabakan wanita muda itu saja bisa ditinggalkan, nah, apalagi yang hanya normal-normal biasa saja. Lagi pula becerminlah, kamu kan tidak muda lagi, sudah berkepala enam, dan sudah empat cucu, mau apalagi!

Ketika seorang teman, mbak Didin, menanyakan bagaimana pendapatku setelah ada dua peristiwa beruntun yang menimpa komunitas Resto kami ini. "Ya, mbak, tadinya masih ada sepuluh persen semangat mau berbini secara baik-baik. Tetapi kini yang sepuluh persen itu sudah habislah sudah. Daripada dicerai orang, lebih baiklah tidak maju ke gelanggang!", kataku tegas. "Lho, jangan dengan cara begitu berpikir, mungkin keadaannya lain-lain. Sampeyan dengan cara sampeyan dengan pribadi sampeyan, ya mungkin lain lagi peruntungannya", kata mbak Didin.

Tapi betul-betul sudah ngeri memikirkannya, drama sedih kehidupan sudah menimpa dua keluarga kami di Resto. Lebih baiklah aku mengundurkan diri dari semangat mau maju ke gelanggang secara teman-temanku itu. Tampaknya gelanggangku yang biasa-biasa sajalah, tidak tetap, tidak ambil resiko, bisa bebas lepas agar tak dicerai orang, agar tak dicerai oleh Yvonne, Dessy, Ning, Yanti yang selalu bikin aku gemas itu.

Paris 23 februari 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.