Bab 57 :
Seputar Jakarta
Yang Ringan-Ringan dan Agak-Agak Miring

Ponakanku As punya anak empat. Yang pertama Nita, Amanita dan kedua Pongky, lalu Riva dan Yola. Yang sulung adalah wanita dan yang bungsu juga wanita. Nita berumur tingkat kepala tiga. Dia ini pramugari Garuda. Sudah lama di Garuda, sehingga dia sudah senior. Ketika Garuda belum begitu bangkrut, mereka sering terbang ke Paris. Tetapi setelah bangkrut tidak lagi ke Paris, hanya ke Jerman dan Holland saja buat daerah Eropa. Dan ketika Nita bermalam di Paris dengan rombongannya semua crew Garuda, selalu saja Nita memilih bermalam di rumah kami di Fontenay. Padahal hotel mereka berbintang lima, tetap saja dia memilih hotel tanpa bintang di rumah kami. Dia lebih senang bermain dengan saudara-saudara dan adik-adiknya.

Nita memang sangat familiar, sangat tebal rasa kekeluargaannya, sampai kini. Tapi watak sebenarnya dia ini pembrontak. Begitu dia dapat gaji sendiri, dan sudah merasa bisa berdikari, dia pisah rumah dengan mamanya dan hebatnya, dia beli rumah sendiri walaupun dengan sistim kredit. Rumahnya itu jauh di ujung kampung di Ciledug. Aku tak mau ambil resiko kalau dengan taksi mencari rumahnya, sangat sulit! Tapi rumahnya ini sangat indah, kecil mungil, penuh hiasan tanaman di depan rumahnya dan bersih, apik kata orang Jawa.

Perbedaan besar dan selisih-paham besar dengan ibunya yalah, Nita berpacaran dengan orang Islam sedangkan dia adalah Protestan. Kukatakan pada ibunya : "Nah, As, jadi kan satu-satu standnya. Dulu kau dari Islam pindah ke Protestan karena mau kawin dengan Yopi, padahal betapa tantangan dari keluargamu sebagai orang Aceh. Bayangkan orang Aceh pindah agama hanya karena mau kawin dengan orang Kristen. Dan kini anakmu dari Protestan mau pindah ke Islam karena mau kawin dengan pemuda Islam, kan standnya satu-satu. Kata orang itulah hukum karma".

As merengut dan agak marah padaku. "Saya tidak menghalangi dia kawin dengan pemuda yang tidak seiman, tetapi cobalah pertimbangkan dengan baik-baik dulu. Pertimbangkan masak-masak dulu, jangan begitu mudah mengambil keputusan", katanya membela diri. "Yang kau katakan itu persis puluhan tahun yan lalu juga dikatakan ibu-bapakmu kepadamu. Ingat nggak?", kataku mengingatkan. "Akh sudahlah, jangan omong tentang itu lagilah", katanya. Dan kami berdiaman.

Sampai kini Nita belum menikah dengan pacarnya yang Islam itu. Dia masih ingat akan "ketidaksetujuan" mamanya, padahal umurnya sudah cukup lanjut sebagai wanita. Ada beberapa hal yang sangat tipikal dengan Nita ini. Anaknya cerdas agak tomboy, praktis dan lugas. Tapi sangat sulit menahan nafsu makan, selalu lahap dan banyak. Karenanya dia menjadi gemuk. Sebagai pramugari Garuda, ada ketentuan berat badan, kalau terlalu berat, maka tidak boleh terbang. Dan tahulah kami, kaum keluarganya baik yang di Jakarta maupun yang di Paris, bila Nita tidak terbang, itu artinya berat badannya sudah kelebihan. Dan kalau dinas terbangnya tidak diperkenankan karena terlalu berat, maka dia bekerja di ground saja, dan biasanya mengajar Bahasa Inggris. Begitu lama jam-kerjanya di ground atau sebagai guru Bahasa Inggris, itu artinya badannya masih gemuk, kelebihan berat badan! Tetapi pada suatu waktu, karena dia sangat keras dieetnya, tahu-tahu saja dia terbang. Terkadang dalam negeri, antara Jakarta - Medan - Ujungpandang - Biak - Denpasar, terkadang luar negeri, Perth, Jepang dan Eropa. Sayangnya buat kami, ketika dia ke Eropa-pun takkan mungkin lagi ke Paris. Sebab lijn Paris sudah lama dihapus, karena bukan lijn gemuk katanya.

Sesekali antara kami saling nilpun dari Paris-Jakarta atau sebaliknya, karena kalau terlalu merasa lama tak saling berkabar, lalu ada-ada saja yang mendahului menilpun. Begitulah, ketika aku bermaksud bermillennium 2000 ke Jakarta, aku menilpunnya. Dan betapa gembiranya dia, juga aku. Dia akan menjemput dengan adiknya Pongky. Pongky penting karena punya mobil yang bisa antar-jemput. Dan katanya mereka sudah atur semua buatku menginap di rumah mamanya di Cibubur. Rumah Cibubur sejak pembangunan dasarnya aku sudah tahu, sudah lihat, jadi sudah dapat mengira-ngirakan di kamar mana aku akan ditempatkan.

Dasar si Nita, kepadaku, kakeknya dia sangat dekat dan agak manja. Ketika aku di rumah mamanya, setiap hari dia menilpun dari kantornya Cengkareng atau dari rumahnya Ciledug, dan setiap harinya dua tiga kali, dan yang dibicarakan sangat remehtemeh, tidak penting. Begitu aku tiba di Cengkareng lapanganudara, kami bertiga lalu setengah agak paksa diajaknya mampir dulu ke kantor para crew Garuda itu. " Sudahlah kek, dan Pong, mampir dululah. Di sana kan banyak pramugarinya, siapa tahu, ada yang ngena dan lengket", kata Nita kepada Pongky dan aku. Pongky melirikku, dan kuserahkan pada Pongky. "Untuk kamu Pong, siapa tahu kesempatan ini jadi sungguhan, saya doain deh", kataku mengajuk Pongky. "Yah, bukan hanya buat saya aja kek, siapa tahu kakek juga kena batunya juga", kata Pongky ngeledek.

Dan kami benar di bawa Nita ke kantor Garuda tak jauh dari lapangan. Dan memang gila ini Nita. Hampir semua pramugari dan kapten dia kenal, dan sangat ramah, dan begitu banyak yang dikenalnya dan pada ramahtamah. Dan aku malah tidak sangat gembira, sebab masih capek selama belasan jam dari Eropa dengan kaki melengkuk karena duduk terus. Dan gilanya lagi, selalu Nita memperkenalkanku kepada teman-teman pramugarinya itu juga kepada kapten-kapten itu.

"O ya, Dessy, ini kakek saya baru datang dari Paris, kenalkan", kata Nita. Dan kami bersalaman. Atau tiba-tiba saja dia datangi seseorang, "Ning, kenalkan ini kakek saya, barusan ini aja datangnya dengan KLM, dia dari Paris", kata Nita dan bersalaman lagi. Orang kalau sedang capek, ngantuk, lapar, mana bisa lihat secara teliti yang berwajah ayu, cantik-menarik atau memikat. Semuanya kayaknya sama aja! Jadi kukatakan pada Nita, mbok juga kenalkan dong adikmu itu, Pongky. Yang paling perlu diperkenalkan itu kan Pongky bukannya si tuabangka ini! Masa berjayanya buat si kakek kan sudah redup, dan Pongky sedang menyala-nyalanya, kataku kepada Nita. Dan Pongky-pun sibuk bersalaman dengan gadis-gadis ayu itu.

Nita setelah atau selama aku di rumah mamanya di Cibubur ini sering juga datang ke rumah mamanya. Dan seperti kutulis pada bagian belakang, acara harianku "dipegang" oleh Yola, yang mengatur. Dan ketika itu dimasukkan ada acara mendatangi atau menghadiri undangan, atau pertemuan dengan teman-temannya Nita. Dan semua ini adalah acara undangan dan perkenalan dengan pramugari Garuda teman-temannya Nita. Aku tak pernah minta, tak pernah membicarakan mau kenalan segala macam. Tetapi rupanya Nita selalu mempropagandakan si kakeknya, bahwa kakeknya inilah itulah, bisa beginilah begitulah. Sehingga teman-temannya yang pramugari itu menjadi mau juga ketemu dan berkenalan denganku. Dan ini termasuk acara lain lagi kisahnya!

Yang pertama pertemuan dengan Yvonne, pramugari gadis dari Sulawesi, dari Kendari. Kami ketemu di sebuah resto India tak jauh dari Kemang. Katanya Yvonne mau ketemu, lalu aku ya kan saja. Kenapa pasal? Yvonne itu ternyata suka baca buku yang sifatnya sastra, dan kalau ngomong banyak bahasa dan peribahasa nya, banyak kata-kata dan kalimat yang Nita tidak mengerti. Maka gayung bersambutlah, kata Nita, nah kalau begitu kamu akan saya perkenalkan dengan kakek saya yang pandai sastra itu. Nanti kamu puaslah berbicara dan berbahasa dengan dia. Begini dia, kata Nita sambil mengacungkan jempolnya kepada Yvonne.

Tentu saja Yvonne jadi tertarik mau tahu, siapa dan kayak apa itu si kakeknya Nita. Maka jadilah kami bertemu. Yvonne dengan pakaian ketatnya dan pendek rok spannya, dan dengan hiasan agak berlebihan. Dan kami ngobol juga, dan aku sudah memperhitungkan dalam hati, - bukan yang ini pilihanku, jauh dari selera! Apalagi Yvonne dengan begaikan anak kelinci lompat sana lompat sini tidak tenang dan selalu goyang dan bergerak. Lalu nah ini alasan yang sangat baik, katanya jam setengah sembilan nanti dia ada janji dengan kapten. Tak sampai jam segitu, sang kapten sudah datang menjemput. Maka bebaslah aku.

Belakangan Yvonne masih menilpunku mengatakan dua jilid buku yang sedang dibacanya akan dikembalikannya sebelum aku pulang ke Paris. Dan ternyata sampai kini dua buku itu tidak juga dikembalikan.

Pada pertemuan kedua, lagi-lagi si Nita yang centil, lincah dan sayang kakek ini "mengadu" buat bertemu dengan Yanti, seorang pramugari yang sedang patah hati dari bercinta. "Orangnya asik deh kek", kata Nita kepadaku. "Pasti deh kakek akan lain pandangannya dengan melihat Yvonne dulu itu. Ini lain, benar-benar deh telaga tenang, taman bunga, penuh warna-warni semarak menarik", katanya setengah berpropaganda. Dan aku mengangguk saja.

Dan kamipun bertemu di sebuah cafe di Pantai Mutiara. Memang Yanti tidak seperti Yvonne. Umurnya 27, lebih sedikit tua dari Yvonne yang 25. Belum pernah menikah, tapi tukar-tukar pacar sih sudah banyak daftarnya. Duduk dekatnya terasa bau wangi dan merangsang, dan bila berbicara wajah-mukanya agak didekatkan pada kita, padaku. Masih ada getaran listrik positif-negatif pada darah tua ini, dan tak boleh lama-lama dibiarkan. Artinya bukan lalu mau masuk ke wilayah itu, tapi segeralah tinggalkan, lupakan karena janganlah mengerjakan suatu pekerjaan yang tak mungkin. Lalu kan waktunya sangat sempit, dan ini kan hanya membuang waktu saja adanya.

Ulah Nita yang selalu mengundang dan mempertemukanku dengan beberapa temannya ini, menjadikan mamanya agak marah. Kukira kemarahan itu bisa dimengerti dan aku bisa memahaminya. "Nit, kenapa sih kamu selalu mengganggu acara kakek yang lebih penting dan lebih diperlukannya? Dan lagi acaramu itu kan hanya kenalan-kenalan saja". "Ya, ma, tapi bukannya Nita yang mengajak dan minta apalagi mendesak mereka, tapi mereka yang antusias mau ketemu kakek, mau lihat dan mau tahu kakek", kata Nita membela diri. "Itukan pastilah karena kamu perkenalkan dan propaganda kamu saja, sehingga lalu teman-temanmu itu jadi penasaran mau lihat dan ketemu kakek, ya kan?" "Akh tidak juga, mereka kan sudah dewasa, lagian yang Nita kenalkan ini, bukannya isteri orang atau tunangan orang. Ini yang semuanya masih bebas".

Aku sangat memahami pernyataan mamanya ini. Tetapi akupun merasakan dalam hati, Nita sangat dekat dan sayang padaku. Dia sebenarnya tidak rela kalau kakeknya hidup sendirian begitu lama. Tetapi dia sendiripun tak ada jalan buat berbuat yang lebih baik dari apa yang dikerjakannya. Dan akupun seperti kataku kemarin-kemarin, sudah terlalu lama membujang dan hidup kesendirian, rasa egoisnya sudah terlalu besar. Tak mau berbagi dan enggan bersama dalam hal-hal tertentu, tapi jeleknya watak manusia, ya watakku ini, kalau tidak terikat sih mau-mau saja, misalnya kencan, bercinta, pacaran, tapi jangan lebih dari itu, misalnya kawin-tetap atau kawin-kontrak apalagi berkeluarga secara sah dan resmi! Idih jelek amat watak beginian! Tapi nantilah ada ceritanya setelah aku datang ke Paris,-

Paris 22 februari 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.