Bab 56 :
SEPUTAR JAKARTA - Enam

Yang membawaku keliling sekitar Jabotabek dengan BMW-nya Pongky, selalu bergantian. Bila Pongky bekerja, ngantor, maka ibunyalah yang membawa mobil. Jadi mereka berdua bergantian mengelilingi Jabotabek ini membantuku memenuhi berbagai macam acara. Betapa baiknya dan hangatnya keluarga ini. Tak cukup empat lima kali aku menyatakan rasa terimakasihku kepada keluarga ini, harus terus menerus rasa terimakasihku itu kunyatakan, jangan sampai lupa.

Acara di Jakarta cukup padat. Terutama memenuhi undangan, baik rapat-rapat biasa, maupun wawancara - interview beberapa majalah dan suratkabar, tabloid, baik yang dalam negeri maupun luarnegeri, termasuk FEER, Far East Economic Review. Semua acara ini "kuserahkan pada sekretarisku", Firola atau Yola nama panggilan sehari-harinya, anak bungsu Asmaralda. Yola seorang mahasiswa Ekonomi Keuangan tingkat akhir, umurnya 22 tahun. Sering kukatakan, dia punya body seperti Sophia Loren, bintang Italia itu. Anaknya lincah, gesit dan segar. Olahraganya main ski di Mall Taman Anggrek yang kata orang kepunyaan Jenderal Prabowo itu. Yola yang mengatur jadwal harian dan tempatnya sekaligus, jamnya. Jadi kesibukan Yola termasuk menerima dan mengirim tilpun, fax dan e-mail.

Ketika ada wawancara dengan majalah Indikator, Yola dan ibunya mengusulkan agar tempatnya sesuai dengan " orang yang datangnya dari mana", yaitu di Cafe de Paris, kalau tak salah daerah Kemang, daerah pertokoan - resto dan banyak turis asingnya. Mereka semua yang menentukan. Dan kami berangkat satu mobil yang dikendarai Pongky, yang juga ada ibunya serta adiknya Yola. Begitu tiga wartawan itu melihat "rombongan" kami itu, mereka agak terheran-heran. Kami duduk memisah dengan keluarga itu. Agak jauh, di kursi lain, karenanya ada wartawan bertanya sambil agak bergurau: "Lho pak, banyak betul para pengawalnya", katanya padaku. "Ya, mereka sangat kuatir kalau kalian akan menculik saya, karenanya mereka ikuti dengan seksama", kataku mengimbangi guraunya. Dan kami tertawa semua, tiga wartawan itu dan aku.

Pada undangan lain, yang selalu jamnya tanggung, misalnya rapat dimulai jam 15.°° sampai "berbuka-puasa bersama", dan itulah sebabnya jam yang tanggung itu, sehingga bisa pas dengan bedug berbunyi, lalu buka puasa dan makan bersama. Rapat begini pada bulan puasa ketika itu sepertinya jadi mode. Rapat yang kuhadiri ini bertemakan, apa bentuk negara yang kita kehendaki nantinya. Apakah negara kesatuan ataukah negara federal. Yang hadir, banyak orangtua yang rata-rata dari tapol bahkan "lepasan Pulau Buru". Di situ aku ketemu banyak teman lama yang sudah tak saling kenal lagi. Aku masih kenal dengan Pak Wimanjaya Liutohe, lalu Pak Surya, Bung Bintang Pamungkas, Yopi Lasut, dan banyak lagi. Sudah tentu perdebatan dan diskusi yang begitu takkan selesai dalam jangka waktu lama. Masing-masing dengan bermacam argumentasi. Sama seimbang antara yang menghendaki negara kesatuan dan negera federal, atau otonomi yang luas, belum ada yang berangka mutlak, paling tidak ya tidak ada angka mayoritas, bedanya sangat tipis. Jadi rapat itu belum mendapatkan hasil apa-apa, baru saling jajagi.

Pada rapat peluncuran buku Tan Malaka Madilog, tahu-tahu saja Budiman Sujatmiko mendatangiku dan menggandeng tanganku lalu memperkenalkanku kepada semua teman-temannya. Aku tak kenal pada Budiman, pada hari itulah perkenalanku pertama. Bukan main ramahnya pemuda itu, hangat, dan terbuka. Dalam perdebatan, penjelasan, pikirannya luarbiasa jernihnya, dan berdaya ajakan buat bersatu, berjuang, dan penuh semangat, berapi-api. Orangnya cerdas dan menyenangkan. "Ternyata pada hari dan tanggal yang sama kita masuk dan keluar", kata Budiman padaku. "Bung datang ke Jakarta tanggal 10 desember, sayapun persis keluar resmi dari penjara juga tanggal 10 desember itu", katanya. Dan aku heran juga, begitu teliti dan memperhatikan yang begitu sepele tampaknya. Ketua PRD ini mungkin tahu benar tentang info intel ABRI-Golkar dulu itu, di dalam suratkabar Merdeka dan majalah SINAR, yang menyatakan bahwa diriku menjadi pimpinan PRD seksi luarnegeri. Surat kabar Merdeka tanggal 31 Juli 1996, dan majalah SINAR tanggal 3 dan 10 Agustus 1996. Padahal kenalpun aku tidak kepada mereka dan PRD ketika itu! Lengkap dengan skema dan susunan pengurus PRD-nya, yang akupun terheran-heran, dimasukkan juga ke dalam skema itu, yang padahal tak tahu menahu!

Mengenag semua itu, kami pada tertawa. Lalu rapat yang di TIM, yang pembicaranya Nurcholis Madjid, Sarbini, dan Onghokham, yang dipandu oleh Mulyana Kusumah, dengan In-Demo-nya, pada pembukaan agak heran juga aku, karena ada kata-kata sekalian memperingati 24 tahunnya Malari. Lho apa hubungannya dengan Malari? Rapat ini akan menggagas apakah perlu dibentuk badan oposisi terhadap pemerintahan Gus Dur ini. Ada yang menyatakan perlu, misalnya Cak Nur sendiri malah. Sebab katanya oposisi bukanlah atau belumlah otomatis berarti penggulingan pemerintah. Tapi paling pokok yalah mengingatkan, memberi perhatian agar jangan nyeleweng. Rapat ini yang paling kacau selama aku menghadiri rapat di Jakarta. Setelah diteliti, maka ketahuanlah, katanya rapat ini didanai penuh oleh orang-orangnya Hariman Siregar. Lha ya, Prof DR Sarbini sendiri kan adalah mertuanya Hariman, jadi "penuh" orang-orang PSI!

Kata orang-orang dalam sekitar rapat itu " Apa nggak salah ini, apa nggak kepeleset ini, kok Cak Nur dan Mulyana ikut-ikut masuk rombongan rapat dan penggagasnya pula!", demikian kata orang-orang. Semua rapat yang kuhadiri, aku tak pernah menyatakan pendapatku di depan umum. Artinya aku tak pernah angkat bicara, aku hanya sebagai pendengar dan hadirin biasa saja. Karena diundang maka aku datang. Dan menghadiri rapat seperti ini baru pada tahun sekitar millennium 2000 ini. Dulu mana ada rapat begini, dan mana berani!!

Paling menarik menurutku yalah rapat atau pertemuan-tetap pada acara di rumahnya Ibu Dolorosa, dekan IKJ,- Setiap Bulan Purnama Lima Belas, selalu ada pertemuan, tanpa diundangpun bisa datang, dan ingat sendirilah, bila sudah waktunya Bulan Lima Belas, Purnama, datanglah ke sana. Dua kali Purnama aku selalu hadir. Banyak pesertanya, dan temanya macam-macam. Misalnyapada Purnama pertama yang kuhadiri,membicarakan Kasus Aceh. Puluhan anak muda, para sukarelawan yang benar-benar berpengalaman kerja di Aceh, yang datang dari "front depan" berbicara blak-blakan, menjelaskan apa yang mereka saksikan, lihat dan rasakan.

Lalu pada Purnama selanjutnya, tema dengan Kasus Ambon. Juga sangat menarik, karena teman-teman yang bicara itu langsung pernah beberapa lama di Ambon dan sekitarnya, yang juga datang dari "front depan". Mereka anak-anak muda, yang militan, segar, gesit dan lincah, penuh pengorbanan.

Semua rapat dan pertemuan ini selalu aku "diikuti" keluargaku. Maksud utamanya ada dua. Pertama mereka tidak rela melepasku sendirian, selalu mau mengawani dan menemaniku. Kedua, aku sendiri merasa adalah sangat baik kalau mereka ikut, agar mereka juga tahu akan dunia-luar, dunia yang mereka tidak kenal sebelumnya, yang bukan dunia mereka tadinya. Agar mereka bergaul dengan banyak orang, banyak teman dan banyak pengenalan.

Banyak sekali nama-nama yang kukenal hanya melalui suratkabar dan majalah, dan karena keterkenalan akibat aktivitas mereka. Jadi baru kenal nama, tapi belum kenal orangnya. Dan ketika itulah baru berkenalan secara berhadapan, dan saling berbicara satu sama lain. Misalnya dengan Budiman Sujatmiko itu tadi. Lalu aku berkenalan dengan orang yang sangat kukagumi : Romo Sandiyawan. Lalu dengan salah seorang dari astronom Indonesia yang kukenal, seperti Bambang Hidayat, Ninok Leksono, Karlina Leksono, Solomon S. Empat orang pakar astronom Indonesia ini, sarjana ilmu-falak ini, sangat pandai menulis, apa saja melalui tangan mereka jadi bagus. Sayangnya aku hanya bertemu dengan mbak Karlina Leksono saja, sarjana yang "lembut hati" itu, yang selalu Peduli Ibu, yang selalu halus, bagus, sabar dan tawakkal.

Sayang mbak Karlina hanya satu kali saja, padahal sudah ada perjanjian akan bertemu dalam rangka tanya-jawab ilmiah atau sejenis kuliah ilmu-falak. Dari banyak penemuan, perteleponan dalam rangka mengadakan hubungan, jangan kira tak ada halangan! Beberapa orang tampaknya segan dan menghindar buat bertemu denganku. Salah seorang adalah Sarjana yang banyak bergerak di Sastra dan Budaya yang tinggal di Jalan Cemara itu, beberapa kali dan beberapa tahun kuhubungi, tetapi tampaknya menolak bertemu denganku. Agaknya memang segan dan memang masih kuatir, sebab aku dan mungkin kebanyakan kami "jenis ini" yang "tak bersih lingkungan", belum berani mereka hadapi.

Bayangkan bagaimana dan betapa hasil yang dicapai Menteri Yusril ke Den Haag baru-baru ini?! Dikatakannya paling lama pada tanggal 15 februari 2000, semua persiapan surat dan perundang-undangan sudah mulai dibahas atau diturunkan. Tetapi rombongan itu baru sampai Hongkong saja, sudah ada yang nyeletuk, paling cepat pada bulan April 2000,- Dan begitu ramai suara dari Eropa dan Tanahair mengomentari hasil-kerja Pak Yusril itu, sudah banyak sekali yang berpakaian putih-putih, yang tampaknya siap berjihad membasmi "kalau ada yang mau macam-macam", sudah diizinkan pulang saja sudah untung, jangan macam-macamlah, begitu gerutu orang-orang yang masih membenci kami itu.

Yah, tampaknya memang sungguh masih lamalah buat menjadi perantau dan musafir-abadi itu, tak secepat seperti apa yang banyak disuarakan di Den Haag dan Eropa dan Jakarta.-

Paris 22 februari 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.