Bab 44 :
Bacaan Ringan - Dua

Laura dan Berry adalah cucu saya yang pertama dan keempat, dari anak kedua, sedangkan cucu kedua dan ketiga adalah Angel ( Anzel ) dan Celine ( Selin ), yang kini berumur 10 tahun dan 8 tahun, dari anak pertama. Jadi saya punya 4 cucu, sepasang dari anak pertama dan sepasang dari anak kedua. Empat anak ini bila bertemu sangat ramai, gembira, dan hirau-degau. Tetapi mereka punya faksi sendiri. Bila keempatnya bertemu, maka kecocokan antara mereka dengan sendirinya akan menggabungkan diri dengan masing-masing "temannya atau saudaranya". Misalnya Laura hanya cocok dengan Angel, sedangkan Berry hanya cocok dengan Celine. Dan kalau mereka bertiga, kurang salah satu, maka akan selalu cekcok, berkelahi, bertengkar. Tapi kalau faksinya itu sudah terbagi dua-dua, maka keadaan akan tenteram dan damai.

Itulah sebabnya musimpanas yang lalu, ketika Laura mengusulkan untuk ke Bali, dia hanya setuju kalau mangajak Angel saja. Dia tidak setuju mengajak Berry ataupun Celine. Angel anak laki yang boleh dikatakan cukup alim, sangat baik, agak lemah lembut. Tetapi anak ini tampan, gagah, hanya kurang kelaki-lakian, kurang mannelijk. Tidak begitu sesuai dengan pelajaran yang diambilnya. Dia belajar Judo, dan dia judoka-kecil yang piala dan penghargaannya sudah belasan. Di kamarnya di Holland saya pernah menghitung piala dan diploma judonya, ada 18 buah. Kemaren kuterima tilpun dari tantenya ( ibunya Laura ), bahwa Angel menjadi juara pertama judo di perputaran-pertandingan buat kota Almere. Pada pertandingan itu dia sudah mengalahkan 7 orang lawannya, bahkan ada yang sudah berumur 14 tahun, sedangkan dia baru berumur 10 tahun. Padahal mereka baru saja dua bulan ini pindah ke Holland, menjadi penduduk Holland seperti saudaranya Laura dan Berry. Kemenangan kali ini menambah lagi piala yang diatur di kamarnya memenuhi sebagian lekuk-dinding.

Ketika di Paris, di sekolahnya, terjadi sedikit perkelahian antara adiknya Celine dengan teman sekelasnya. Celine dikerubuti beberapa anak-anak sebayanya. Melihat perkelahian ini, abangnya, Angel bukannya mau menolong tetapi malah lari terbirit-birit. Hal ini diketahui ibu-bapaknya. Dan ibu bapaknya marah kepada Angel, mengapa tidak melerai perkelahian itu, mengapa membiarkan adiknya dikeroyok orang, padahal malah dia adalah juara Judo seluruh sekolahnya. Angel dengan enteng menjawab : "Benar saya juara judo, itu kan dalam pertandingan. Tapi dalam perkelahian benaran, saya takut dong!" "Tapi kan kamu paling sedikit menengahi perkelahian itu, jangan sampai menjadi perkelahian seru dan menjadi gawat. Malah kamu membiarkan adikmu dikeroyok anak-anak lain, lalu lari pulang ke rumah. Nanti cobalah pikir, apakah tindakanmu sudah benar? Membiarkan adanya perkelahian, membiarkan adikmu dikeroyok, dan lalu lari ketakutan, apakah hal itu benar?",-kata ibu bapaknya. Tampaknya Angel mau berpikir lama tentang masalah ini. Sebagai judoka, semangat sportifnya diuji dalam kejadian ini.

Celine lebih cekatan dan lebih lincah daripada Angel, abangnya. Ketika tahun 1995, ketika 50 Tahun RI dulu itu, mereka sekeluarga datang ke Jakarta menemui banyak keluarga dan teman-teman. Antara berdua itu, Celine lebih banyak praktek bahasa Indonesianya, sedangkan Angel tampaknya malas belajar bahasa Indonesia. Ketika kami sedang bercakap-cakap dan tertawa gembira, selalu Angel menanyakan dalam bahasa Perancis, dia bilang apa, apa dia bilang,- selalu diajukan Angel kepada Celine, dan Celine menjadi penterjemah Angel. Lama-lama rupanya Celine dongkol juga, " kamu belajar, dong, bahasa Indonesia. Dulu aku kan juga nggak bisa apa-apa", kata Celine agak dongkol. Celine sedikitpun tak canggung makan nasi dengan tangan, tanpa sendok-garpu-pisau seperti orang-orang bule pada umumnya. Dan Celine jauh lebih banyak punya teman daripada Angel ketika di Soreang-Bandung dan Jakarta ketika itu.

Berry punya kelemahan, penyakit yang sering engselnya lepas dari tangannya. Sehingga dia kesakitan. Dan kalau kena, kambuh, segera kami bawa ke dokter, dan dokter tinggal menyentak tangan itu, membenarkannya dan engsel itu akan terletak pada tempatnya yang tepat. Dulu ketika mula pertama kami belum tahu penyakitnya, kami agak sedikit panik juga. Sebab dia tampaknya sangat kesakitan. Ketika sedang sakit dan kambuh, terlepas itu, tangannya dipegangpun kesakitan. Hal ini karena orang lain mengangkat sebelah-tangan atau duabelah-tangan Berry, tetapi tidak samarata, tidak semitris, sehingga tangan yang lemah itu tergeser lalu engselnya terlepas dari sendi perputarannya. Dan tangan yang lemah itu menjadi lunglai. Hal ini sudah berkali-kali terjadi, sehingga Berry sendiri seakan-akan sudah tahu kalau sudah terasa engselnya itu lepas.

Suatu hari dia bermain dengan Celine. Dan Celine mengangkat Berry dengan sebelah tangannya yang lemah itu terlepas untuk kesekian kalinya dari engsel itu. Berry menangis kesakitan sambil berteriak keras. Ibu dan tantenya datang. Dan Celine juga menangis karena ketakutan dan menyesal, merasa kasihan kepada Berry. Ibu dan tantenya membawa ke Drie-Hoek, segitiga dekat rumahnya, sebuah puskemas yang siap-sedia 24 jam meladeni dan melayani pengobatan. Hanya beberapa menit saja, tangan Berry dapat dipulihkan ke perputaran-engselnya. Berry segera mencari Celine kembali, sedangkan Celine masih menangis karena ketakutan dan menyesal telah membuat adiknya sakit dan menderita. Begitu tahu bahwa Celine-pun menangis dan ketakutan, Berry segera membujuk Celine,- "Celine, lihat ini tangan Berry sudah baik. Kamu jangan nangis, Berry sudah tidak sakit lagi. Kita main lagi ya, mari ya..", kata Berry sambil menarik tangan Celine. Dan dua badung itu kembali lagi bermain, tapi sudah punya pengalaman, tangan mana yang tidak boleh tersentuh dan tersentak dengan keras.

Berry diakui banyak orang yang melihat dan bergaul dengannya, bahwa anak ini bakalan cerdas. Tetapi bagi kami, ibu-bapaknya, opa-oma dan kakeknya, cukup punya kesulitan dalam mendidik Berry. Berry punya tabiat yang keras tetapi sulit dikendalikan. Kalau dia sudah tidak suka, barang apapun dilemparkannya, dibantingya, dan rusak binasa, hancur. Ibu-bapaknya sebenarnya cukup keras kepadanya. Tidak jarang Berry distrap, dihukum di kamar mandi atau WC, atau dimasukkan ke kamar tidur, dengan menangis terisak-isak. Tetapi kakaknya Laura selalu saja membebaskannya secara diam-diam, dan keduanya saling berpelukan dan menyembunyikan diri di kamar Laura.

Dari rumah Wita ke rumah Nita, anak saya yang pertama dan kedua, tidak jauh. Mereka tinggal di satu jalan yang sama. Hanya nomor rumahnya yang berbeda 100,- Yang satu nomor 115 dan yang lainnya nomor 15, sedangkan saya di Paris juga bernomorkan 15.

Kalau ditanyakan kepada saya, atau saya sendiri menanyakan pada diri sendiri, sebenarnya apakah yang sekarang ini saya punya, apakah saya masih punya harta-benda dan kekayaan? Yang paling bisa saya jawab yalah, kekayaan saya itu adalah 4 cucu itu! Hanya itulah yang saya masih punya, dan untungnya, bahagianya, mereka selalu ingat dan sering-sering menilpun saya. Dan kalau salah seorang menilpun dengan menanyakan, "kapan lagi kakek datang ke rumah kami? Kami tunggu ya!",- maka berusaha-keraslah saya mencari dan membeli tiket dengan kereta-cepat Thalys yang menuju Schipol. Dari Shipol langsung naik train ke Almere, seluruhnya makan-waktu lima jam dari Paris. Dan akan bangkrutnya saya adalah gara-gara mondar-mandir Paris-Schipol ini. Walaupun takkan pernah saya rasakan kebangkrutan itu, karena sangat sayang dan cintanya kepada cucu.-

Paris 15 November 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.