Bab 40 :
Masa Depan!?

Hari Minggu begini ada deringan tilpun agak aneh juga. Sebab biasanya pada hari libur, Sabtu dan Minggu, antara penduduk Paris, bahkan Perancis, deringan tilpun hanyalah akan kita dengar sesudah jam 09.°°. Atau jangan-jangan ada hal-hal darurat, urgensi, dan kabar menyedihkan. Deg-degaan juga ketika mengangkat tilpun pagi ini. Tahu-tahu saja Aty sudah nyerocos : "Kakek, katanya saya dengar dari Oom Djoen mau ke Jakarta ya". "Oh, kamu tokh Ty, tumben nilpun pagi-pagi. Sudah selesai dari gereja"? "Di sini tidak pagi kek, sudah jam 14.°°. Memang pagi di tempat kakek, tapi di tempat kami siang banget". Biasanya kalau terjadi hal-hal begini, Aty duluan nilpun, tentulah pihakku harus ngalah, mendengarkan baik-baik. Jangan aku yang aktive bicara, dengarkan baik-baik. Barangkali juga aku ini sudah menjadi poubell kata kami di Paris, sebuah tong sampah atau keranjang sampah buat membuang kotoran, ampas segala macam. Ini kusebutkan bukan karena penghinaan, bisa juga suatu kemuliaan karena orang percaya kepada kita. Dan kepercayaan itu sungguh mahal tak dapat dinilai dengan uang,- begitu kan katanya.

"Kek, mbak Yud kemaren malam kemari. Apa yang dibicarakan? Paling penting bagi masa depan! Bagaimana dunia anak-anak yang masih begitu muda, begitu besarnya punya hari depan yang gemilang, tetapi kalau generasi muda ini pada berhancuran, kita mau apa! Negara dan bangsa ini mau dijadikan apa? Kakek ngerti nggak maksud Aty?" "Ya, kau teruskanlah!" "Kakek tahu nggak bahwa sekarang ini anak-anak SD-pun sudah pada kecanduan barang-barang haram, drog, ekstasi, dan segala macam racun? Pastilah kakek kurang percaya. Begini, mereka memang bukan mengisap seperti rokok atau nyuntik badannya sendiri. Tapi mereka suka beli permen. Dalam permen sudah ada bahan yang mengandung drog, candu, ekstasi, dalam dosis kecil, tapi sudah membahayakan yang mengisapnya. Kakek tahu nggak bahwa Indonesia itu sudah dikenal dan ditulis sebagai penghasil candu terbesar kedua di dunia. Dalam kandungan dan kemasan produksi kecil-kecilannya, tetapi sangat merata pasarannya. Dan hal inipun di ketahui setelah ada beberapa anak-anak yang kedapatan sakit dengan badan gemetar, lemas, ngantuk dan tak bersemangat. Setelah para orangtuanya mengadu kepada sekolahan, dan dokter, dan setelah diperiksa dengan teliti, ternyata anak-anak itu sudah lama dan sudah jauh kecanduannya.

Dan setelah diperiksa secara merata dan menyeluruh, ketahuanlah, anak-anak itu suka sekali mengisap permen, dan ada yang membeli permen dua tiga bungkus. Harga permen itu tentulah agak lebih mahal dari yang biasanya. Tetapi keuntungan yang diraih si penjual, bukan soal mahalnya, melainkan produksi barangnya itu akan laku keras dan frekwensi peredarannya sangat cepat. Ini pasaran yang berhari-depan menurut pengelola candu itu.

Dan, kek", kata Aty sambil menarik nafas, mungkin agak lelah dan tegang ketika bicara itu, dan juga mau cepat mengucapkan kalimat demi kalimatnya, maklumlah ini tilpun jarak Jakarta - Paris, mahal sekali. "Mungkin kakek, nggak percaya deh! Anak-anak SD yang kecanduan ini bukan hanya di Jakarta saja, bukan di sekolah umum negeri dan swasta. Juga sudah menjalar ke pesantren-pesantren!". Nah, kini akulah yang bengong dan terhenyak kaget, sangat mengherankan, dan gila!

"Akh, betul kamu Ty? Darimana kamu tahu?" "Kek, Aty sudah tanyakan dan selidiki pada banyak teman dan orang-orang yang berkecimpung di pendidikan dan juga sampai beberapa pesantren di Jabar dan Jateng. Dan betul. Cara modus-operandi-nya sama, juga lewat makanan, permen, bonbon, dan sakitnya juga sama, badan gemetar, lemas, tak punya semangat, ngantuk. Dan ketika diperiksa dokter sudah pada tingkat kecanduan-lanjutan tahap sekian, darahnya positive mengandung racun. Aty pernah duduk-duduk dengan teman dan ngobrol-ngobrol, tahu-yahu saja dia menjadi lemas dan sangat sulit bicara, sehingga Aty tudak tahu maunya apa. Ternyata diapun terkena kecanduan obatbius dan drog ini. Jadi, kita sulit membedakan atau menandai mana teman kita yang sudah terkena kecanduan dan mana yang belum. Dapat diketahui dengan jelas hanya ketika dia kumat saja.

Banyak orang-orang tua pada mengeluh dan sangat merasa terpukul. Yang tadinya anak-anaknya itu akan menjadi tumpuan harapan dan kebanggaan orangtua, tahu-tahu sudah terkena drog yang tahapnya sudah berkelanjutan. Lalu siapa yang salah, kek?", kata Aty menanyakan seolah-olah aku sudah jadi pesakitan buat harus menjawabnya. "Kakek kan tahu ya, kalau si pengedar atau boss-nya tertangkap, dia akan segera bisa lepas, sebab amplop punya main, lalu yang paling penting, kekuasaanlah yang akan melidunginya! Kakek dengar dan tahu kan, boss besarnya malah cucunya si babe? Nggak bakalan kena hukum. Lihat itu anaknya yang jelas-jelas seharusnya kena hukum karena korupsi dan tukarguling tanah dan gedung, malah kini dinyatakan bebas-lepas tak punya bukti kesalahan!! Kakek dengar dan baca kan, bahwa si babe sudah bebas, dinyatakan tak ada bukti kesalahannya, sehingga penyelidikannya dihentikan, dan dia bebas lepas? Kek, mau jadi apa negara dan bangsa kita ini? Mau dikemanakan negara dan bangsa kita ini? Yang sedang ramai bersidang di Senayan, hanya pada rebutan kekuasaan, rebutan kursi! Itupun dengan sogokan dan suapan. Siapa yang berani lebih besar sogokan dan suapannya, dialah yang dapat diperkirakan akan menjadi pemegang tampuk kekuasaan yang terpusat. Kakek tahu kan berapa sogokannya? Mulai dari 1 sampai 3 milyar, lalu naik menjadi 5 milyar dan terus naik seperti bursa dagang, dan pasaran-efek Jakarta saja layaknya. Harga sogokan dan suapan itu turun-naik persis seperti mata-uang asing dan bursa-pasar. Dan kakek tahu, ini adalah soal negara, soal bangsa kita,kek! Mau ke mana bangsa dan negara kita ini, kek?!"

Aku diam saja mendengarkan, dan aku sangat iba mendengar suara Aty itu. Aku tak punya kekutan apa-apa, tetapi dia telah mengungkapkan perasaannya secara jujur dan ikhlas dan sangat mencintai negara dan bangsa ini. Tetapi diapun tak punya jalan ke arah itu. Dia tahu, dia paham, dia mengerti, tapi dia tak punya akses ke arah itu bagaimana caranya, bagaimana sebaiknya. Dan ini sangat mempengaruhi daya pikirnya. Memang paling sakit, kalau dirikita tahu, paham, mengerti, tetapi tidak punya kekuatan, tidak punya daya-tenaga buat mengubahnya. Dan pagi ini kubiarkan Aty bicara sepuasnya. Mengungkapkan perasaan dan curahan pikiran dan perasaannya. Aku sangat rela menjadi poubelle-nya. Terasa pada diriku, betapa mengharukannya cerita Aty ini.

Dia yang baru saja beberapa tahun ini menamatkan kuliah hukumnya di Universitas sekitar tak jauh dari Senayan itu, sudah tahunan mencari kerja, tetapi tak satupun kantor dan jawatan yang bersedia dan ada lowongan buat menerimanya. Begitu banyak para sarjana yang menganggur seperti dia itu. Untunglah sekedar ada uang kantong, dia bisa mengajar menari dan akting di sebuah sanggar. Itupun sementara ini ditutup karena sering-sering kendaraan tak bisa lewat, karena ada rombongan demonstran akan lewat atau ditutup oleh petugas negara karena untuk menghalangi para demonstran memasuki wilayah Senayan.

Yang diceritakan dan dikeluhkan Aty semuanya masalah hari depan generasi muda, dan yang akan banyak menentukan arah pendidikannya adalah yang kini sedang bersidang di Senayan. Tak jauh dari rumah Aty dan sanggar tempat dia mengajar, tetapi jarak perbedaan pikiran - ide dan tujuan masing-masing betapa jauhnya, betapa besarnya perbedaan. Untuk berkuasa saja, sudah betapa banyak mengeluarkan dan menghamburkan uang dan menghamburkan peluru! Padahal masa depan generasi muda ini sampai kini tidak berketentuan dan semakin kacau serta tak punya hari depannya kalau masih terus begini-begini saja.

"Sudahlah Ty, terlalu banyak ongkos tilpunmu. Besok giliranku menilpunmu", kataku menghentikan suaranya. Aku tahu dia menangis, agak terisak dan sangat sedih. Dia adalah orang kecil, golongan tak punya, seperti aku dan kami-kami ini, karenanya antara kami sudah seharusnya saling berpegangan, bergandengan tangan dan bersatuperasaan peduli dan menaruh perhatian dengan masa depan generasi muda ini.

Paris 17 Oktober 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.