Bab 37 :
Tentang Beberapa Nama

Tentang beberapa nama di kampungku, Belitung, ada yang masih kuingat, yang nama itu sangat aneh bila orang lain mendengarnya. Tetapi tidak bagi kami orang kampungku, karena memang begitulah namanya. Untuk apa harus malu kalau memang namanya begitu sejak dulu-dulu. Sebuah kue yang disarungi atau dibalut dengan daun pisang, yang juga berisi pisang dicampur dengan tepung beras dan santan, lalu dinamakan nagasari. Tetapi kalau kue itu tidak dibalut, tergelar saja di sebuah talam, yang kalau mau diambil haruslah dipotong lebih dulu, maka namanya bukan lagi nagasari tetapi bugistelanjang! Jadi kalau kami sedang menjajakannya ke mana-mana, kami akan berteriak dengan kata-kata : bugistelanjang..............bugistelanjang................dengan suara yang lantang dan sedikit berlagu atau sedikit mendayu agar terdengarnya bagus dan indah. Agar orang tertarik lalu membeli kue yang kami jajakan itu.

Pekerjaan berjaja keliling kampung ini kulakukan pada jam 15.°° sampai menjelang sore sekitar jam 17.°°. Biasanya kami anak-anak kelas 4 dan 5 SD. Pekerjaan ini kami lakukan untuk membantu keungan rumahtangga keluarga kami. Apalagi ketika ayahku ke tanah Jawa selama beberapa tahun karena menggabungkan diri dengan kekuatan RI di Yogyakarta tahun-tahun 1946 dulu itu. Yang jadi soal ketika sedang berjaja itu yalah, kalau kebetulan ada orang Bugis, nelayan maupun pelayar-pelayar dari tanah Makassar, Bugis, maka suaraku akan kukecilkan atau kuganti saja menjadi : kue bugis.......kue bugis, tanpa kata telanjangnya. Sebenarnya belum tentu orang Bugis akan marah, atau juga siapa tahu pasti marah, lha kok namanya bugistelanjang! Tapi yang pasti kami merasa takut kalau mengucapkan itu di depan orang Bugis benaran.

Lalu ada sebuah kue yang digoreng yang bentuknya berputar-putar, memelintir, yang kalau di Jawa atau mungkin di tempat lain namanya untir-untir, maka di kampung kami namanya butobibik, artinya kontol-bebek! Dan kami akan meneriakkan jualan itu dengan : butobibik...........butobibik ( artinya kontol-bebek, kontol-bebek ). Nah ucapan ini tak kami takutkan karena tak ada yang kami kata-katai, bebas berteriak sekuatnya. Lama sesudah itu, ketika aku sudah ke mana-mana terutama ke tanah Jawa buat bersekolah, barulah aku ingat, memang kue itu, untir-untir itu sangat menyerupai kemaluan-bebek. Lah, kok, orang kampungku tega-teganya menamai untir-untir itu dengan butobibik, kontol-bebek. Tak tahulah aku, tapi begitulah adanya dan sebutannya.

Lalu ada ikan bulat panjang, namanya Alu-alu. Nama ini aku tahu setelah aku di luar kampungku Belitung. Ternyata yang dinamai Alu-alu itu kalau dikampungku namanya butocine, artinya kontol-cina! Sorry para pembaca, tak secuilpun aku mau ber-kurangajar atau porno. Memang begitulah nama itu di kampung kami, dan anehnya di kampung kami yang dulunya aman-damai-tenteram itu tak pernah terjadi kerusuhan anti-cina, tak pernah! Antara kami penduduk kampung yang di kotanya mayoritas adalah orang cina, tak pernah merasa risi akan nama itu. Dan tokh di pasar ikan yang dikitari penduduk cina itu, tak ada kejadian yang terasa menyakitkan hati atau menghina, ya, tentu saja memang namanya begitu, lalu mau apa. Tetapi hal-hal ini dulu sekali, pada tahun 40-an sampai 50-an. Sesudah itu aku tak tahu lagi, mungkin sudah ada perubahan. Memang secara kesopanan agaknya kurang baik, dan akupun sangat setuju kalau nama-nama yang kusebutkan itu mbok ya digantilah!

Tapi dua nama yang kusebutkan semula, kualami sendiri, karena kalau sore hari sepulangnya dari bersekolah, aku selalu menjajakan kue butobibik dan bugistelanjang itu.

Di kampung kami ada seorang wanita, sampai tuanya tak pernah bersuami. Ini menjadi aneh dan tidak wajar kalau di kampung itu. Karena itu tak heran kalau anak-anak suka mengganggu nenek itu, termasuk aku suka ikut-ikutan mengganggunya. Nama nenek itu adalah Nek Dumbet. Sudah sangat tua dan bongkok. Kami anak-anak suka mengikutinya dan kalau sudah sangat menganggunya, kami mau dipukulnya dengan tongkotnya. Akh, kalau aku berpikir sekarang ini, alangkah kurangajarnya kami ketika itu. Ada cerita yang sedikit miring. Katanya ada yang menanyakan secara benar-benar, bukannya mau usil, mengapa Nek Dumbet tidak bersuami. Lalu Nek Dumbet berkata, " heh........bersuami........kamu tahu nggak, daging kita ini kalau ditusuk dengan jarum yang begitu kecilnya, bukan main sakitnya, perih, apalagi ditusuk dengan barang itu yang begitu gedenya",- begitu kata cerita dari mulut ke mulut! Entah benar entah tidak, tetapi merata di kampung kami, kalau ada perempuan yang tak bersuami atau yang sudah berumur agak lanjut tapi belum bersuami, maka orang kampung akan mengatakan : "sampai kini belum bersuami? Emangya mau jadi Nek Dumbet!"

Dan aku masih ingat pada Nek Dumbet itu. Kalau kini kupikir, betapa kami dulu itu kurangajar dan nakalnya, dan orang-orang yang mengata-ngatainya dan meremehkannya turut berdosa. Dosa yang begini, ternyata sejak kecil sudah mengumpul, dan tambah lama tambah besar, semoga setiap minta ampun pada Tuhan, Beliau akan memaafkannya.

Lalu ada lagi yang bernama Nek Mot,- Nek dari kata Nenek. Nek Mot lain lagi tipe orangnya. "Penyakitnya" suka menginap di rumah orang, pura-pura ngobrol berkepanjangan, lalu "meninggalkan diri" di rumah seseorang itu, dan lalu menginap. Dan kalau sudah menginap biasanya sampai dua-tiga hari. Pekerjaan tetapnya ya tidak ada, bercerita panjang lebar lalu menginap. Dan kalau kebetulan ada Cina mati, nama ini belum kuubah menjadi Tiongkok atau Tionghoa, persis aslinya, jadi tak ada hubungan dengan hina atau tidaknya. Nek Mot akan datang ke rumah Cina mati itu, dan bergabung, dan menginap. Pada acara puncaknya, mengarak ke penguburannya, Nek Mot akan menangis kesedihan turut terisak sambil berkata menurut apa saja yang mau dia sebuat. Misalnya " aduh.............baba Kim Lim ini, bukan main dulunya baiknya kepada orang. Tidak hanya kepada saya, tapi kepada semua orang. Rasa-rasanya tak adalah yang menandingi kebaikan babah Kim Lim ini, sangat baiknya, sangat baiknya", kata Nek Mot dengan sedih dan ratapannya.

Dan begitu pulang dari penguburan, Nek Mot akan mendapatkan uang yang sangat besar, upahnya karena turut bersedih dan turut upacara pemakaman. Dan pekerjaan yang begini, hanyalah dikerjakan Nek Mot saja, dan masarakat kami di kampung sekitar itu sudah pada tahu bahwa memang begitulah pekerjaan Nek Mot. Tak ada yang menghinanya, tetapi juga tak ada yang mau atau bercita-cita mengikutinya. Dan biarlah hanya Nek Mot saja yang berprofesi begitu, tetapi ya itulah salah satu pekerj aan di antara banyak mata-acara kerja.

Puluhan tahun sesudah itu memang tak kudengar lagi orang yang berjenis Nek Mot ini. Dia tak pernah menganggu orang, tak pernah menyakiti hati orang. Dia tukang cerita, menghibur, tapi juga dia akan menginap, akan menumpang makan di rumah siapa saja yang dia mau. Dan di antara kami tak pernah kudengar yang mengusirnya, atau menyakitinya atau mengganggunya sebagai mana Nek Dumbet dulu itu. Orang di kampung kami sudah pada tahu bahwa Nek Mot akan banyak cerita yang "di karang-karangnya" atau katakanlah kasarnya bohong. Tetapi bukankah bohong itu kalau tak menipu secara langsung atau merugikan orang lain, tokh tak ada kerugian bagi orang lain? Jadi itulah pekerjaan sebagaimana pekerjaan orang lain-lain itu. Pekerjaan Nek Mot adalah jenis suatu pekerjaan, dan berapalah dapatnya bagi penghidupannya. Paling banyak hanya buat makan ketika hari-hari itu saja.

Nama-nama yang kusebutkan tadi adalah cerita sekitar tahun-tahun 40-an sampai 50-an awal, ketika umur kami anak-anak sekitarku berumur antara 10 sampai 13 tahunan. Di mana kami ketika itu terkadang banyak di pengajian surau-surau kalau sudah magrib sampai paginya buat bersekolah lagi. Kampungku di Belitung, penghasil timah yang kini timahnya pada bangkrut, kering, tandus dan tak terpelihara pada tahun-tahun pemerintahan ORBA satu dan ORBA dua ini-, dan ini kulihat pada tahun 1996,-

Paris 12 Oktober 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.