Bab 36 :
Sebuah Bis - Duka

Nama yang ada dan biasa adalah "rumah - duka". Tapi judul ini kupakai "bis - duka". Ada hubungan dengan duka. Setahun yang lalu bis ini, dengan sopir yang sama, mula-mula membawa puluhan teman-teman kami dari Holland ke Paris buat menghadiri upacara pemakaman Mas Bud, seorang teman yang sangat kami cintai, yang mana kami sangat merasa terpukul dan kehilangan. Lalu pada tahun itu juga beberapa bulan sesudah itu, kembali lagi bis yang sama dengan sopir yang sama membawa puluhan teman kami dari Holland buat ke Paris, buat menghadiri upacara pemakaman Mas Gon, seorang teman kami yang sudah punya banyak pengalaman dalam bidang-bidang internasional, terutama dalam soal-soal perburuhan. Kembali lagi kami terpukul dan merasa kehilangan.

Kenapa ada soal bis? Karena teman-teman dari Holland itu memang banyak, dan kebanyakan teman-teman kami memang tinggal di Holland. Kalau yang meninggal kebetulan ada di Holland, maka teman-teman dari Paris dan dari Jerman tak pernah menggunakan bis seperti teman-teman dari Holland, sebab yang datang menghadiri upacara itu tidak akan sebanyak teman-teman dari Holland. Dan lagipula dengan beberapa mobil pribadi sudah cukup tertampung bagi semua yang akan menghadiri upacara itu. Dan pada pihak lain, kenapa lalu bisa dengan bis yang sama dan sopir yang sama? Karena bis dan sopirnya itu kebetulan dekat dan bertetangga dengan taman kami yang "sudah biasa" mengurus "rombongan duka" buat upacara penguburan itu. Itulah alasan pokoknya.

Tetapi yang patut juga diceritakan, karena "kebiasaan" ini, lama-lama sopir itu mengenal banyak tentang kami. Mengenal kebiasaan kami, pergurauan kami, bahkan beberapa kata-kata Indonesia, dan lalu makanan nasi-bungkus yang kami bawa dalam bis itu. Kepada sopir kami berikan juga nasi-bungkus itu di samping uang jajan-makan-siangnya. Dan ternyata sopir itu sangat suka akan nasi-bungkus itu, dan katanya makanan nasi-bungkus itu bukan main enaknya, ada pedasnya lagi!

Kebiasaan dan pengenalan terhadap kami, dengan akhir bulan September ini, bis dan sopir itu sudah tiga kali membawa "rombongan duka", dua kali ke Paris dulu itu, dan kini ke Koeln, mengantarkan kami puluhan orang buat menghadiri pemakaman teman kami : AZIZ AKBAR, kelahiran Aceh pada tgg 15 April 1932. Terakhir Bung Aziz menjadi Sekretaris Umum Pimpinan Daerah Lekra Sumatra Utara. Dan memimpin rombongan pengarang-sastrawan Indonesia - Lekra buat menghadiri uapacara perayaan 1 Oktober 1965 ulangtahun RRT, dan lalu sangkutlah dan terdamparlah Bung Aziz seperti kebanyakan kami pada umumnya, dan bagi Bung Aziz, akhirnya sejak tahun 1965 itu takkan pernah pulang kampung lagi, dan meninggal di kampung orang, Jerman. Bung Aziz meninggal pada tgg 24 September 1999, dan dikebumikan dekat Koeln pada tgg 29 September 1999.

Bung Aziz adalah seorang pengarang, penyair dan budayawan. Dia aktive turut berpartisipasi dalam menunjang, menopang beberapa majalah yang kami terbitkan di Eropa, seperti Kreasi, Arah, Arena, Mimbar dan beberapa buku tulisannya. Sajak-sajaknya sungguh manis, bernas. Artikel dan kritiknya pedas, pedas-pedas sedap. Dalam bis kami saling mengenangkan kebaikannya disamping juga dengan gembira membicarakan teman lain yang rada-rada gosip. Kalau sudah ngumpul begini mana bisa menghilangkan gosip. Kelakar kalau tak ada gosipnya terasa kurang garam kalau mau diibaratkan makanan, dan seperti biasalah, kalau rada-rada miring dan sedikit agak porno, nah, barulah lengkap-sempurna. Barangkali, nah, inilah sedapnya masakan-padang atau masakan-cina itu. Lalu bergurau, tertawa, saling mengejek, dan mencari sasaran-teman yang bisa disasar. Lalu cerita tentang yang aneh-aneh dan lucu, lalu lagi-lagi sedikit porno. Tapi ketika akan menceritakan bagian suspennya, tegangnya, atau inti-fokusnya, suara agak dipelankan, karena di depan bangku kami duduklah beberapa teman wanita. Sudah itu barulah meledak tertawa hirau-degau dan ramai sekali dalam bis itu. Dan teman wanita kami itu sudah pada tahu, apa kira-kira yang kami ceritakan itu, dan kami sudah sama menyadari diri, kami ini sudah pada punya cucu, paling sedikit sudah punya mantulah. Tapi soal kegembiraan sungguh tak boleh kurang.

Ketika agak sedikit reda suara tertawa gembira itu, ada seorang teman mengingatkan bahwa kita ini sedang pergi menghadiri uapaca penguburan bukan mau pesta gembira. Lalu banyak suara menentang dan menyatakan, di Jawa bahkan juga di Sumatra, ada keramaian main judi, nyanyi-nyanyi ketika malam sesudah atau sebelum penguburan itu. Bahkan ada sukubangsa yang bermusik dan bernyanyi gembira ketika upaca penguburan itu. Dan kamipun sebenarnya tak tahu pasti, apakah kami yang ramai-ramai gembira itu terkena dosa apa tidak. Tapi dalam hati kami samasekali prihatin kepada keluarga Bung Aziz dan kepadanya sendiri, dan mendoakan dengan cara masing-masing agar Bung Aziz diterima Tuhan dengan baik, dan kaum keluarganya tabah menghadapi semua ini. Sangat sulit menghendaki para melayu ini agar tampak diam-bersedih, bermuka muram-durja kalau sudah ngumpul begini.

Dan lagi kami ini berkumpul lengkap dan tersangka-sangka hanyalah pada kejadian yang tak enak begini. Karena itu ada teman kami menyindir dengan judul sajaknya, bahwa orang-orang kiri ini hanyalah berkumpul-lengkap dan banyak hanyalah ketika ada upacara kematian. Lalu judul sajaknya itu dinamai PKI yang artinya Partai Kematian Indonesia, karena partai itu orang-orangnya berkumpul banyak dan lengkap hanyalah kalau ada upacara kematian, demikianlah tanggapan seorang penyair yang membuat sajaknya dengan judul PKI itu.

Aku sendiri merasa memang sangat haus bertemu dengan banyak teman yang sudah belasan tahun tak pernah bertemu, bahkan ada yang sudah seperempat abad baru kali itulah bertemu. Karena perpisahan kami sejak tahun 1973 dulu itu, bukankah sudah 26 tahun? Dan dulu ketika kami masih sama-sama satu kandang di mana kami ini semuanya adalah "tamatan dan alumni" "Universitas Ideologi dari Fakultas Kontradiksi" yang kerjanya diskusi-debat-tengkar-ejek lalu siap kelahi, siap tarung, yang meskipun pada akhirnya tak seorangpun yang berani dan mau memulai! Ini benar-benar hebat! Ada pisau di kantong, pentungan, krakkeling, tepung-sabun buat menyirami mata lawan lalu mengganyangnya lumat-lumat, bahkan siap tombak dan golok di rumah. Tetapi ya Puji Tuhan, kami ke luar dari sarang dan kandang semuanya selamat dan tak cacat!! Dan kini setelah belasan tahun dan puluhan tahun, kami bisa tertawa bersama, dan termasuk mentertawakan diri sendiri, lucu akan kekerdilan jiwa kami ketika itu!

Ketika pertemuan di pemakaman di Koeln itu, banyak yang kami lupa wajah masing-masing. Tetapi setelah kami saling menanyakan, lalu dengan erat dan hangat kami berpelukan, dengan mesra, dengan kerinduan, kekangenan. Tak secuilpun ada rasa dendam. Kami benar-benar lupa wajah dan rupa masing-masing. Ada seorang pemuda yang ganteng sekali, dan sangat aktive membantu kerja upacara itu. Di sampingku duduk Estono yang baru bertemu kali ini sesudah perpisahan tahun 1973 dulu itu. Kutanyakan pada Estono, siapa pemuda yang sangat ganteng dan sangat aktive membantu itu. "O, itu, Josso, anak saya yang sulung, sudah berumur 22 tahun" katanya. Aku terbengong, dan sekali lagi kupeluk Estono yang sudah hampir punya mantu itu.

Di pekarangan pemakaman, bukan main indahnya. Rumput halus - bagus dan bersih. Luas, dan bagaikan pemandangan Istana Bogor, dan memang luar biasa bagusnya pemakaman campuran Nasrani - Islam itu. Teman di sebelahku yang sama-sama jalan mengitari lapangan kompleks pemakaman itu, Mas Suraji, sangat mengagumi keindahan kompleks pemakaman ini. Dari mulutnya keluar pujian yang sungguh-sungguh dan kekaguman karena indahnya. "Bukan main bagusnya tempat ini, bersih, udaranya bebas-polusi, rumputnya lebih bagus dari lapangan golf orang Jakarta, barangkali", kata Mas Raji. Dan mulutnya berdecak kagum, ck, ck, ck..... Lalu kukatakan padanya "Sampeyan tertarik? Mau tinggal di sini?", kataku meningkahi. Segera dijawabnya " Nee.....Nee....bukan begitu maksud saya, bagusnya itu lho", katanya mungkin gentar juga mendengar tawaranku walaupun lokasinya indah-jelita.

Setelah upacara penguburan secara Islam, kami menuju ruangan istirahat, dan dapat minum-makan serta kopi-susu. Dan ngobrol, lagi-lagi ramai dan penuh tawa. Dan ternyata keluhan seorang teman yang di bis kami tadi itu, benar-benar tenggelam dalam suasana gembira karena sungguh lama tak bertemu. Nah, kataku dalam hati, inilah kalau kami para melayu ini sudah bertemu! Kuperhatikan sekeliling, ada bermacam suku, suku-sunda, jawa, minang, melayu, madura, dayak, batak, maluku dan banyak lagi. Jangan lupa di dunia ini paling banyak suku-bangsanya adalah kita Indonesia hampir 500 suku-bangsa termasuk yang kecil. Padahal kita hanya 200 juta, Tiongkok yang lebih satu milyard penduduknya, tak sampai 100 suku-bangsanya. Penghitungan tahun 1956 barulah 55 suku-bangsa, kebetulan aku pernah menjadi penyiar Radio Beijing, yang membacakan ulasannya.

Ketika sudah menjelang sore, rasanya sangat berat berpisah, dan kami semua menyalami dan memeluk keluarga Bang Azis, isteri dan anaknya. Kami besarkan hatinya, kami berikan kehangatan kekeluargaan kami. Dan kami dalam bis menuju Amsterdam - Amstel dan Utrecht, tak terasa lelah dan ngantuk. Yang paling terasa yalah, sudah begitu berkurang teman-teman kami itu. Hampir setiap tahun ada saja yang mendahului dan pulang ke Rumah Allah, bukannya pulang ke kampunghalamannya! Kami hanya berdoa dan mendoakan orang lain dan terutama diri masing-masing, agar bisa dan sampai pulang ke kampunghalaman sendiri sebelum dipanggil pulang oleh Tuhan kami. Dan kami saling melihat, tapi tak saling bercakap, mulut kelu dan bisu tapi mata nyalang dan bertanya-tanya, bisakah kiranya, semoga bisa, semoga diperkenankan Tuhan sampai bisa pulang ke kampunghalaman sendiri sebelum dipanggil Tuhan. Tetapi namun demikian, kami pasrah, Dia-lah yang paling berkuasa dan menentukan, sedangkan kami tunduk tak berdaya dan berserah diri bulat-bulat kepadaNYA,- Amien,-

Paris 8 Oktober 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.