Bab 31 :
Wisata

Dulu pada awal tahun 90-an, kami pernah berlibur musimpanas ke Pattaya, Thailand. Walaupun hanya tiga orang, tapi dari segi umur mewakili tiga generasi, cucuku, Lulu, dan anakku, dan aku, lengkaplah sudah, dari kakek hingga cucu. Lulu ini sangat suka berenang, baginya apa arti libur musimpanas, tak lain hanyalah berenang. Dia sangat puas dengan alam Thailand tepi pantai yang sangat bagus. Sebelum itu dia juga sudah melihat berbagai pemandangan yang bagus-bagus di Perancis, seperti di sepanjang pantai Riviera Perancis, Croisette, di Cannes, Nice, Antibes sampai Monaco-Montecarlo. Sepanjang pantai Cote d'azur ini sangat indah, terindah di Eropa.

Kami beberapa kali dengan bis menyusuri jalan pemandangan sepanjang pantai dari Cannes sampai Monaco. Karena bis hampir setiap jam mondar-mandir Cannes - Monaco. Ketika itu Lulu belum pernah ke Thailand, Pattaya. Dan begitu mengunjungi Pattaya, dia sudah berani mengemukakan pendapatnya. Katanya pemandangan alam, laut - pantai yang paling indah di dunia ini adalah Pattaya! Tetapi pada tahun berikutnya kami berlibur musimpanas di Bali. Dan Lulu sangat mengagumi keindahan Bali dengan pantai di Kuta, Sanur dan tempat lainnya. Lalu berubah pendapatnya yang dulu itu. Katanya pemandangan alam, laut dan pantai serta pegunungan, yang paling indah adalah Bali! Inilah yang dirasakan seorang anak yang berumur antara lima sampai tujuh tahun.

Ketika kami berlibur musimpanas tahun 1996 di Lombok, komentar Lulu tidak banyak lagi. Komentarnya sudah bukan pemandangan alam yang indah lagi, tetapi soal tempat berenangnya saja. Di Lombok lebih enak buat berenangnya karena ada peluncuran yang di tempat lain tidak ditemuinya. Komentarnya sudah minor. Dan tahun ini, kembali kami berlibur musimpanas di Bali lagi, di Nusa Dua dan Sanur. Rombongan kali ini, aku membawa dua cucu, Lulu dan plus saudara sepupunya, Angel, yang walaupun namanya Angel, dia laki-laki.

Apa sebenarnya yang menarik dan yang dapat diceritakan secara khusus tentang Bali ini? Aku pertama ke Bali pada tahun 1956 ketika membawa Robongan Akrobatik Peking dulu itu, bersama Henk Ngantung yang akhirnya jadi gubernur DKI. Sudah itu tahun 1963 ketika kami mengadakan Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Sanur, yang cukup sukses. Dan sudah itu entah sudah berapa kali, mungkin sejak yang pertama sampai kini sudah belasan kali. Setiap ke Bali memang ada dan terasa bahwa Bali "memang lain" dari yang lain. Dapat kusimpulkan buatku sendiri, bahwa hampir setiap orang Bali adalah seniman!

Orang Bali lebih dari 90 persennya adalah tahu dan mengenal seni, bahkan banyak yang menguasainya. Kalau tidak sebagai pengukir, atau penari, tentulah pemahat, pematung atau penabuh gending, atau pemain musik, alat musik Bali. Atau penghasil kerajinan tangan yang mengandung dan berisikan seni yang amat bagusnya. Agama orang Bali, Hindu, banyak sekali meritualkan wajah seni, seperti berbagai perwujudan tarian. Dari segi agamanya saja, banyak menuntut orang Bali agar mendalami beberapa mata acara yang bersifat seni. Kebiasaan dari kecil begini, menjadikan suatu kehidupan yang rapat dan bersenyawa dengan kesenian. Pantaslah ada nyanyian yang sudah hidup puluhan tahun, yang sampai kini masih dinyanyikan, Pulau Bali Pulau Kesenian. Dalam perjalanan kehidupan, atau selama hidupnya, orang Bali akan banyak menemui berbagai upacara ritual agama yang mengandung kesenian. Misalnya seseorang anak-gadis atau pemuda seharusnya bisa menari, bisa mengukir, bisa memainkan alat musik, dan membacakan sajak-sajak mantra, doa yang penuh puitik. Seluruh jelujur kehidupan agama begini, menjadikan orang Bali banyak mengetahui, bisa dan menguasai banyak mata acara kesenian.

Lalu alam Bali memang sangat indah. Perpaduan pantai, laut dan pemandangan pegunungan, padang rumput yang memang banyak "dihidupkan" sebagai penghias, bukannya lapangan golf, menambah plus nilai keindahan Bali. Lalu keramahtamahan penduduk Bali betul-betul bisa dijadikan ladang yang paling subur buat pasar wisata, tanpa pengertian negative. Walaupun pemandangan alam yang luarbiasa bagusnya, tetapi kalau penduduk sekitarnya atau para pekerja-wisatanya tidak ramah, pemarah, dan selalu curang dan sangat tidak jujur, termasuk suka ngutil dan maling, maka kaum turis takkan lagi punya minat kembali ke tempat itu! Dan di sinilah kemenangan Bali. Ambillah contoh dunia wisata Lombok dan Bali. Lombok, alam wisatanya sangat bagus, masih asli, belum banyak terpengaruh luar. Tetapi menurutku, pekerja-wisatanya belumlah se-profesional orang-orang di Bali. Bali dalam soal pekerja-wisatanya, mengingatkan kita pada profesionalnya orang Thailand di Pattaya, Phuket atau Chiangmai. Setiap orang yang ada hubungannya dengan pekerjaan wisata, selalu tahu benar dan menguasai apa yang harus dikerjakannya. Apa yang harus didulukan, mendapat prioritas utama buat menyenangkan para tamu, membikin rasa senang dan puas para wisatawan dalam dan luarnegeri. Dan ini benar-benar dijalankan di Thailand, termasuk juga di Bali. Itulah sebabnya yang membedakan antara Bali dengan daerah atau tempat lainnya, dalam persoalan pekerjaan profesional ini. Mungkin Bali karena punya pengalaman sejak puluhantahun yang lalu.

Orang yang sudah terbiasa menjalani pengalaman wisata, tentulah akan merasakan bahwa Bali memang lain dari daerah lainnya. Ada nilai plusnya yang tersendiri. Baik secara alamnya, maupun manusianya dengan ritual agamanya yang di tempat lain tidak terdapat. Lalu apakah yang kutemukan yang agaknya baru dengan perbandingan yang tahun-tahun lalu? Tentu saja cukup banyak. Tetapi yang paling menonjol, kalau dulu Bali dengan enak dilalui jalan lalu-lintas mobil yang cukup lancar, maka kini kemacetan bertambah "menggumul" perkotaan. Motor, mobil sudah amat padatnya, dan barisan antri kendaraan roda dua dan empat sudah semakin dipikirkan buat mencari jalan agar kemacetan jangan sampai seperti Jakarta!

Dan pengaruh asing sudah semakin menonjol. Di Hotel kami, Ml itu, samasekali sudah tak ada lagi keterangan yang berbahasa Indonesia. Dan televisi hanya menyiarkan satu pemancar saja yang dari Jakarta, yang lainnya semua televisi asing, Barat, Hongkong dan Jepang. Dan yang gilanya lagi, di Hotel kami itu uang rupiah tidak laku! Semua harga dengan dollar AS, lalu nantinya nilainya dikurs dengan rupiah, tapi rupiahnya tak pernah muncul! Dan makanannya sangat mahal, ada yang lebih mahal daripada di Perancis maupun di Holland. Kami pernah makan bertiga, yang menurut kami samasekali tidak mewah biasa-biasa saja, tetapi karena dengan tarif dollar dan lagi pajaknya 21 persen, lalu sangat terkejut melihat harganya dalam rupiah! Harga makanan kami bertiga sekali makan itu jauh lebih mahal daripada gaji satu bulan pelayan yang melayani kami! Dan sejak itulah kami pindah mencari makanan ke warung-warung pinggir jalan yang kami rasakan masih ada rasa manusiawinya. Dan ternyata orang-orang yang seperti kami cukup banyak, mencari makanan murah, sekalipun tempatnya sangat sederhana. Harga makanan yang sangat mahal, walaupun sebenarnya rasanya enak, begitu melihat dan tahu harganya, makanan itu akan tersendat di kerongkongan, di perut, di otak di pikiran, lalu yang ada hanyalah bentuk frustrasi yang bagaimanapun kecilnya, tetap saja nggak enak! Lebih baiklah cari yang lain, yang tidak mengganggu kantong, tidak mengganggu pikiran, yang akibatnya akan menganggu perut dan kelezatan.

Paris 26 Agustus 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.