Bab 29 :
Melamar

Iman dari New York memang adakalanya menilpunku. Cerita biasa, tanya keadaan keluarga dan tak pentinglah diceritakan. Tetapi sekali ini benar-benar menjadikan aku harus lama berpikir dan bukan persoalan sederhana.

"Oom ini ada soal penting, bagi saya atau bagi kami tentu. Siapa tahu juga penting buat keseluruhan keluarga kita. Saya minta bantuan Oom", katanya dalam tilpun itu. Dan aku menunggu apa yang mau dikatakannya penting itu. Orang menunggu selalu dalam tidak mudah menenangkan diri. "Jadi, apa itu, katakanlah. Saya siap", kataku menguatkan diri dalam perasaan. "Begini, saya minta bantuan Oom, melamar! Oom kan tahu tentang saya dan Ningsih, kan Ningsih juga cerita ketika di Paris dulu itu, kan? Nah, saya minta bantuan Oom buat melamar Ningsih kepada orangtuanya di Jakarta", katanya lagi. "Man, apa saya tidak salah dengar nih? Saya kau minta agar melamar Irianingsih kepada orangtuanya di Jakarta?". "Ya, betul, betul, samasekali tak salah dengar. Dan kami berdua sudah bersetuju agar Oom membantu melamarkan Ningsih. Kami punya rencana matang buat menikah di bulan Agustus ini juga". Dan aku agak lama mendengarkannya, menyimak perkataannya kalimat per kalimat. Ini benar-benar serius buatku.

Melamar. Melamarkan buat ponakan, melamar anak orang kepada orangtuanya yang aku belum tahu dan belum pernah bertemu. Mereka merencanakan buat menikah bulan depan ini. Dan katanya tadi, ini serius, sudah matang rencana mereka. Maka kini, akulah yang paling banyak memikirkan bagaimana cara melamar dengan sistim tilpun begini. Dan lagi begitu kutanyakan kepada Iman, " Man, bagaimana Man caranya, kan beliau di Jakarta, saya di Paris, kalian di Amerika?". "Kalau mengenai soal tempat dan negera serta kota, Oom tenang saja, tidak soal. Yang penting Oom bicara, melamar Ningsih, atas nama kami berdua, bahkan seluruh keluarga kita. Semua saya sudah kontak dengan mbak Bai dan Mbak Leni, bahkan Felix ada di tempat kami, liburan musimpanasnya. Jadi Oom kami beri kuasa buat melamar itu". "Tapi bagaimana caranya, Man?" "Lha saya kan tidak pengalaman, dan belum pernah melamar, tentunya Oom lebih tahulah bagaimana semestinya", katanya ringan saja. Pertanyaan ini, memang pertanyaan rada bego dan sedikit sinting. Tidak semestinya aku bertanya begini, tetapi karena kebingunganku sendiri. Ya, dong, dia kan tidak pernah pengalaman melamar secara agama kami.

Dan karena mau melamar ini, semua persoalan harus sedapat mungkin kukuasai, kupelajari. Dan karenanya, aku banyak bertanya ini itu, banyak mau tahu, siapa orangtuanya, siapa keluarga lainnya, dan siapa pula keluarga kami yang masih ada dan hidup. Aku harus banyak "membongkar" ingatan dan kenangan. Dari pihak Iman dan Ningsih, dua-duanya sudah cerita kepadaku dan kepada keluarga kami seluruhnya yang ada di Paris. Mereka berkenalan di Bandung. Iman pelatih wanadri, pecinta-alam, penaik-gunung, penyeberang jeram dan sungai. Ningsih ketika itu masih kecil, boleh dikatakan ikut-ikutan latihan dan selalu turut kegiatan wanadri, baru saja SMP. Sedangkan anggota lainnya pada umumnya sudah mahasiswa. Ningsih sebenarnya sudah lama "mengagumi" dan "bersimpati" kepada Kak Imannya ini. Tetapi dari pihak Iman tentu saja masih menganggapnya adik kelasnya yang sangat jauh jaraknya, bahkan dipandangnya akh, anak kecil ini!

Iman sebenarnya juga tahu dan merasakan rasa simpati yang tampaknya ada apa-apanya. Tetapi Iman ketika itu cuek saja, kata orang Jakarta. Dan oleh keadaan dan sejarah kehidupan orang per orang, maka merekapun terpaksa berpisah. Iman ke AS sejak tahun 1983. Tahun 1995 ayah Ningsih meninggal. Karena Ningsih anak tertua dari bertiga saudara, dua adiknya laki-laki, maka Ningsih menjadi tiang penyangga keluarga berempat itu. Ningsih dapat kedudukan yang cukup lumayan, karena dia bekerja di suatu bank yang bonafid. Ketika Iman mendengar bahwa ayah Ningsih meninggal, dia merasa sangat tidak pantas kalau tidak menyatakan rasa belasungkawa. Dan lagi Iman sudah mengenal secara baik seluruh keluarga ini. Tentu saja, Iman sebagai penanggungjawab pelatih wanadri, harus mengetahui dan mengenal para anggota barisannya.

Iman menilpun ke keluarga Ningsih, yang tadinya yang pokok mau menyatakan rasa belasungkawa kepada Ibu Mardjo, ibunya Ningsih. Tetapi kebetulan yang pertama menerima tilpun adalah Ningsih. Ningsih merasa heran dan agak terkejut, juga Iman merasa tak terduga. Sebab selama ini hubungan mereka tak nyambung selama duabelas tahun lebih. Keluarga Ningsih, Ibu Sumardjo, merasa terkenang lagi kepada Iman yang dulunya begitu dekat mereka, sebagai kakak Ningsih yang sangat bertanggungjawab. Dari titik terang ini, mulailah "jalur tilpun" jalan lagi. Dan pada tilpun selanjutnya terjadilah dialog-dialog seperti : "Hei, Ning, kamu sudah punya anak berapa?" "Nah, kak Iman sendiri ada berapa?" Pada jawaban berikutnya saling terbongkarlah, bahwa mereka samasekali belum pernah menikah. Walapun dalam pada itu, dalam perpisahan belasan tahun itu, masing-masing sudah punya pacar bahkan sudah pada berganti, tetap belum diikat. Kata pengarang lama, walaupun sudah ada pertalian, tetapi tali itu merentang saja adanya, tidak tersimpul dan tidak terikat, apalagi terikat mati!

Maka pada puncak perasaan cinta yang sudah nyambung dan mulai berakar kembali antara "pelatih dan yang anak-didik" itu, tampaknya sudah saling sedia berserah total antara masing-masing. Ningsih siap menyusul ke AS dan kalau sudah jodoh siap melayarkan bahtera kehidupan. Ada penghalang, soal agama. Ningsih Islam, dan Iman Katolik. Tapi Ningsih memberikan sarat, dia bersedia diperisteri dengan menikah di mesjid dan secara agama Islam. Ketika itu Iman menjawab, akh itu sih gampang. Gara-gara jawaban ini, hampir saja terjadi kegagalan. Sebab Ningsih berpegang teguh kepada ucapan Iman yang mengatakan soal gampang itu tadi. Dan Ningsih bersikeras tetap mau dengan cara Islam. Persoalan ini sampai kepada keluarga di Paris. Dan kami menyatakan, pegangan Ningsih adalah sepatutnya dihormati, dan ditaati. Apalagi Ningsih sudah begitu baiknya, meninggalkan pekerjaan yang begitu baik kedudukannya, dan juga meninggalkan ibunya dan dua adiknya. Adiknya yang satu sudah lama berkeluarga. Dan Ningsih ini sudah berumur di atas 30, tidak muda lagi, tapi masih belum tua, sedangkan Iman, berhati-hatilah sebab umurnya sudah lebih 40, keenakan tak menikah dan bujangan, lama-lama bisa keterusan membujang lapok. Dua kakak Iman di Paris mengingatkan dengan keras tetapi dengan penuh sayang dan cinta.

Dan oleh keadaan ini semua, sebenarnya kami sekeluarga sangat mendukung Iman buat memetik Ningsih menjadi isterinya. Dan lagi betapa Ningsih ini baiknya di mata kami. Sebenarnya Ningsihlah yang paling banyak peranannya yang mendekatkan antara Iman dan Oomnya dan keluarga lainnya di Paris. Sebab Ningsih pernah beberapa hari di Paris dan bahkan menginap di Holland di rumah saudara sepupu Iman, anakku sendiri, si Ina di Almere Holland. Jadi kami sebenarnya sudah cukup banyak tahu tentang Irianingsih. Tetapi kepada orangtuanya di Jakarta, Ibu Sumardjo, belum pernah kenal dan apalagi bertemu, tahu-tahu kini aku ditugaskan buat melamarkannya. Tentu saja ada rasa sedikit kikuk dan agak bingung. Tetapi karena dipercayai dan tugas itu demi membantu yang juga adalah keluarga, maka bingung dan gugup seperti apapun haruslah dipikul. Dulu akupun belum pernah melamar, semuanya kuserahkan kepada keluarga. Sebagai ayah dari dua orang gadis, memang pernah aku menerima lamaran, tetapi tak ada pengalaman melamar. Hanya masih ingat bagaimana cara melamar di kampung kami dulu, dan itupun melihat orang-orang lain, dalam "menonton" para orangtua calon pengantin.

"Jadi Oom", kata Iman, "teng pukul 15.°° di Paris, sedangkan kami baru saja selesai sarapan pagi di AS, dan di Jakarta pada jam 20.°°, ketika itulah saya bel Oom, dan Ibu Mardjo siap saling berbicara dengan Oom, dan kami mendengarkan, dengan kalau perlu saling sambung-menyambung. Jadi ada tiga pihak yang akan bicara, Paris - Jakarta dan New York. Siap kan Oom?", kata Iman. Dan lagi-lagi aku menjadi agak bingung, dan benar-benar dunia ini menjadi begitu mudah, praktis, yang bagi kami orang-orang kuno dulu itu, samasekali tak terbayangkan. Melamar kok dengan tilpunan!!

Hari Minggu 11 Juli, jam 15,°° tilpun berdering. Aku sudah tahu, siapa lagi kalau bukan Iman dan nanti akan ada suara Bu Mardjo. "Nah, Oom, kita bertiga kota, nah, ini Ibu Mardjo................" "Selamat siang Bu, apakabar?" "Bapak, apakabar, Pak? Ketemu-ketemu ya kok di tilpun ya Pak ya", kata Bu Mardjo. Mendengar suara yang ternyata ramah begini, aku jadi punya kepercayaan diri lagi, tidak sebingung sebelumnya. "Ya, Bu, saya betul-betul minta maaf kepada Ibu, belum sempat ketemu dan datang kepada Ibu. Tentulah Ibu tahu kan persoalannya". "Ya, ya, Pak, saya sudah dikasih tahu dari Ningsih. Banyak foto-foto keluarga Kak Imannya terutama di Paris dan Holland yang dikirimkan Ningsih. Juga Ningsih banyak cerita tentang keluarga Kak Imannya", kata Bu Mardjo. Dan mendengar ini, aku "bertambah senang dan tenang". "Yah Bu sukurlah kalau Ningsih juga sudah cerita tentang kami di Paris dan juga di Belanda. Jadi, Bu, saya ini minta izin kepada Ibu, ponakan saya, katakanlah anak saya, Iman melalui saya minta izin kepada Ibu, bahwa mereka ingin menikah. Dan Iman serta kami, minta izin kepada Ibu agar Ibu sudilah kiranya memperkenankan Iman buat memperistri Irianingsih. Ningsih pada pokoknya sudah kami kenal, dan kami sangat menyenangi Ningsih. Inilah sebenarnya maksud pokok ketemu Ibu walaupun hanya di tilpun hari ini". "Yah, Ibu sangat terimakasih atas lamaran yang sangat baik ini......." "Bu, kamilah yang seharusnya sangat merasa banyak terimakasih kepada Ibu. Kan kalau menuruti adat kampung kita, seharusnya kami datang kepada Ibu, tetapi lha kok ini hanya dengan tilpun saja", kataku. "Yah, itu sih tak apa, karena memang sarat-saratnya baru sebeginilah adanya. Kita sama-sama tahulah", kata Bu Mardjo. Dan karena ada tiga pihak yang akan bicara, maka maksud pokok sudah kulaksanakan.

"Oom, kalau merasa sudah cukup, boleh Oom letakkan tilpunnya, biar kami ngomong yang lain. Ningsih mau bicara dengan ibunya, juga saya". Dan Paris - Jakarta - New York terputus, tinggal antara New York - Jakarta. Dan sesudah itu aku mengusap dada, dan dengan rasa lepas-bebas merasa senang bahagia, sudah melamar anak orang buat ponakan sendiri. Dan ketika itulah aku sangat teringat Bang Amat, abangku yang tertua, ayahnya Iman. Entah di manalah kuburannya, entah bagaimanalah keadaannya ketika pembunuhan itu, kejam dan sadisnya, yang sehingga kini masih gelap belum terungkap!

Sedangkan Iman dengan calon isterinya ini, Irianingsih, akan melangsungkan pernikahannya pada tanggal 4 Agustus di kantor catatan-sipil dan juga di sebuah mesjid di suatu kota di AS, pada hari Rabu. Semoga Tuhan merestui mereka, semoga Ayah dan Ibunya yang meninggal akibat siksaan demi berdirinya Orba dulu itu, juga "menyaksikannnya dan memberikan restunya",- Amien!

Paris 16 Juli 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.