Bab 27 :
Sejumput Kenangan

Tahun 50-an, dapatlah dikatakan masa boom berkembangnya berbagai majalah dan tabloid di Jakarta. Hampir tiap bulan ada saja terbitan majalah yang baru, sebaliknya yang tak bisa bertahan, lalu bangkrut, tetapi kejadian ini sangat sedikit. Rupanya begitu berkembangnya dan banyaknya majalah yang terbit, muncul pula barisan pengarang-penulis-dan penyair muda. Ketika itulah dapat dikatakan awal kebangkitan para pengarang-penulis dan penyair, dan kelahiran suatu angkatan dari sebuah generasi, yang akan lebih baik tidak usah dibagi menjadi angkatan apa, dan angkatan tahun berapa. Tetapi secara orang per orang, sampai kini mereka eksis, tercatat, dan menempati suatu catatan sejarah sastra, tanpa melihat siapa mereka dalam kategori suatu angkatan. Seperti halnya ada yang menamakan "Angkatan 45" lalu ada yang menyebut "Angkatan 66" dan bahkan ada yang menyebut "Angkatan 80". Kukira penamaan angkatan inilah yang justru mempersempit arena penciptaan.

Ketika itu terbit berbagai jenis majalah, seperti Sastra lalu berubah menjadi Kisah, ada lagi yang namanya Roman, Cerita Pendek - Prosa, Zenith, Gema, Gema Suasana, Indonesia, Gaya, Siasat, Spektra, Merdeka, Mimbar Indonesia, dll. Ada yang memang sudah sejak lama terbit, seperti Mimbar Indonesia,Merdeka, dan Siasat. Kami sendiri, "punya" juga majalah secara tersendiri, namanya Kencana yang dipimpin Junus Lubis, lalu lembaran Kebudayaan yang masih numpang di majalah Merdeka-nya BM. Diah dan lebih banyak dikelola istrinya, Herawati Diah. Nama Ruangan Kebudayaan ini adalah Genta, dengan redaksinya, orang majalah Merdeka sendiri : Asnawi Idris (alm) lalu Zulharman ( alm, Ketua PWI) SM.Ardan dan penulis sendiri.

Sang Boss yang Nyonya Herawati Diah itu bukan main seremnya. Kalau kita masuk kantor, kebetulan terpandang pada matanya, maka nyonya yang masih cantik ini, menjadi tidak cantik lagi karena seremnya dan galaknya. Seolah-olah dirikita ini dianggapnya hanya minta honorarium gaji saja menurut anggapannya.

Dan ketika itulah disamping adanya boom majalah dan lembaran budaya-sastra, bangkitnya suatu kelahiran pengarang-sastrawan-penyair yang umurnya masih belasan tahun, dan baru menjelang 20 sampai likuran tahun. Di sinilah dan ketika itulah, munculnya nama-nama seperti Ajip Rosidi, SM Ardan,Rijono Pratikto, Sukanto SA, WS Rendra, dan angkatan yang sedikit lebih tua seperti Ramadhan KH dan Nugroho Notosusanto, yang punya majalah namanya Kompas. Juga penyair seperti AS Dharta. Penulis AS Dharta sangat mengejutkan kami karena tulisannya di Spektra : Angkatan 45 Sudah Mampus,- Ditulisnya dengan nama samaran Yogaswara, disamping nama samaran lainnya Klara Akustia.

Semua ini mungkin cukup banyak nama-nama dan majalah-majalah yang terlupakan menyebutnya. Dan ini yang kutuliskan ini, hanya untuk Jakarta saja, belum yang di dan ada di daerah. Seperti di Yogyakarta, Surabaya dan Medan. Penyair seperti HR Bandaharo, Agam Wispi, Aziz Akabar, WS Kuncahyo, Sabar Anantaguna, dan banyak lagi yang aku lupa, adalah barisan pengarang-penyair yang mendapat tempat di lapangan Sastra dan Budaya Indonesia. Penulis yang lebih tua seperti Boejoeng Saleh, Rivai Apin, Nyoto, dan beberapa nama lainnya sering turut meramaikan suasana sastra dan budaya Indonesia di berbagai majalah dan lembaran kebudayaan seperti Zaman Baru, Republik, Star Weekly, Sunday Courier, Terang Bulan, Minggu Pagi, Berita Minggu dll.

Dan mereka yang tinggal sekitar Jakarta akan lebih mudah menemuinya di sekitar Senen dan Kramat. Sebab di situlah sering berkumpulnya banyak seniman-sastrawan. Dan kalau sudah bicara soal seniman, dan sastrawan, artinya mencakup banyak bidang seperti lukisan, filem, drama dll. Dan itulah pula sebabnya ketika itu ada penamaan Kaum Seniman Senen. Di Senen memang banyak sekali berkumpul seniman dan sastrawan dari berbagai kalangan. Kalangan perfileman seperti Wim Umboh, Syumanjaya, S.Sumanto, Wahid Chan, dan beberapa pemain dan bintang filem seperti Farida Ariyani, Lies Noor, Mieke Wijaya, dll. "Zaman" itu tak mengenal golongan per aliran, semuanya bisa satu dan bersatu, saling membantu dalam masalah pekerjaan per bidang. Misalnya dari pekerja filem minta bantuan tenaga kepada seniman lain, sastrawan, maka mereka dengan ringantangan akan sama-sama mengerjakannya, dan juga sebaliknya ada penulis yang membutuhkan cerita-bergambar, yang ada gambar dan lukisannya, langsung saja minta kepada pelukis, atau teman yang bisa menggambar dan ketika itu juga.

Pada "zaman" itu karena banyak arena dan lapangan buat memasukkan dan memuat karangan, dan lukisan, sketsa, vignet, karena banyaknya majalah dan lembaran kebudayaan, maka penulis, pengarang dan pelukisnya selalu tidak kekeringan, selalu ada di "daerah basah", punya uang biarpun tidak banyak dan tidak kaya. Ketika kami masih asik-asiknya ngobrol dengan Ajip, Trisnoyuwono, Syumanjaya, tiba-tiba saja Riyono Pratikto mau pulang. Kami heran ada apa dan mau apa. Langsung saja Riyono bilang : "besok dead-line terusan cerpen saya yang bersambung itu. Saya harus meneruskannya, sekarang sudah begini sore, dan saya harus antarkan ke kantor Roman. Padahal saya juga lupa sudah nomor berapa, mungkin sudah yang 11 atau 12, pokoknya saya harus pulang dulu, terus bikin dan terus antarkan ke percetakan", katanya.

"Bagini saja", kataku,- "kau tulis saja di belakang kamar Ajip ini, kan Ajip ada mesintulis, kenapa harus pulang dulu?" "Ya, tapi aku lupa nomor berapanya sudah". "Bikin sajalah asal sedikit saja teringat jalan ceritanya, kan nanti dipercetakan kau bisa sesuaikan". "Ya cara begitu juga bisa, tapi sekiranya nggak nyambung bagaimana?" "Makanya bikin dulu, nanti kau lihat di kantor, lalu kau sesuaikan, sedikit perubahan kan nggak apa-apa, masih bisa kau edit di sana nanti", kataku yang tidak mau kehilangan Riyono dalam obrolan ini. Dan Riyono bisa setuju dan memahaminya. Maka Riyono dengan mesintik-tua kepunyaan Ajip itu meneruskan cersam, cerita-bersambungnya, dan sekira satu jam jadilah sambungan cerita itu. Betul-betul Riyono ini "pabrik-industri cerpen" pada masa itu. Banyak sekali cerpennya yang dimuat di berbagai majalah, dengan cersamnya. Dan sedapnya, dia sering lupa sudah nomor berapa yang harus disambungnya pada majalah Roman atau Prosa, atau yang lainnya.

Ketika di Taman Siswa Jalan Garuda 25, aku ketemu seniman yang lebih tua dari angkatan generasi kami, bukan lagi "teman" kami, tapi "abang" kami. Maka tertawalah aku setelah Trisno Sumardjo berkata kepada S. Sudjojono : "bagaimana kita teruskan polemik kita, atau kita akhiri pada nomor depan saja?". "Akh, jangan, aku masih perlu duit nih, lukisan sudah hampir satu bulan ini belum ada yang laku. Teruskan dulu, deh. Sampeyan jawab yang soal dadaisme itu dulu, lalu kubisme dan seterusnya nanti kita lihat sajalah", kata Pak Jon. Dan Trisno dengan senyum menyetujuinya.

Dua orang itu "terlibat" dalam polemik tentang lukisan di majalah Mimbar Indonesia. Yang kuikuti saja sudah empat nomor ini selalu bergantian mereka saling "menyerang". Dan mereka saling tertawa dan senyum setelah "perundingan" bilateral berduanya. Mereka kebetulan sama-sama perlu uang, dan kebetulan ada bahan buat "diperdebatkan" di Mimbar Indonesia, dan masuklah honorariumnya yang lumayan ketika itu. Dan pimpinan MI, Pak Sukardjowiryapranoto dan HB Yassin tak kan ambilperduli masalah "rahasia mereka berdua" itu. Pokokonya dunia seni-lukis memang sedang ramai-ramainya, dan polemik ini ada segi baiknya, membukakan mata banyak orang, disamping mengisi dompet dan kocek uang honorarium mereka berdua buat masuk tersimpan ke dalamnya.

Paris 13 Juli 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.