Bab 23 :
Ayah "dipecat" anaknya

Bang Amat sekeluarga semula tinggal di daerah Galur, Tanah Tinggi Senen. Rumah ini aku tahu karena agak sering juga datang ke sana. Tetapi setelah mereka pindah ke Pegangsaan, rumah yang agak besaran, aku sudah di luar Indonesia, jadi tidak tahu dan tak pernah melihatnya. Ini menjelang tahun 1964, tak lama menjelang peristiwa-besar nasional itu. Sedangkan kami sejak tahun 1963 sudah tak berada di Indonesia lagi.

Ketika rumah masih di Galur, keadaan perekonomian rumah-tangga memang sangat sulit. Penghuni rumahnya sendiri turut merasakan kesulitan itu. Telor satu dibagi buat dua orang. Dan makanan tahu-tempe sudah "membudaya" hampir tiap hari. Makanan murah sering dibeli, makanan yang rasanya enak dan digemari sangat jarang, sebab mahalnya. Rasa bosan karena itu-itu saja diterima karena apaboleh buat. Bang Amat tentu saja sangat jarang makan di rumah, sebab dia ngantor di Kramat. Di Kantor Kramat makannya jauh lebih enak. Jadi soal makan di keluarga rumah ini, Bang Amat tidak banyak tahu, dan tokh pengurus rumah-tangga sudah ada. Ada yang bertanggungjawab atas masalah itu.

Karena rumah itu rumah Ketua Partai, maka tentu saja banyak orang-orang, teman-teman, kenalan dan sahabat yang makan di sana. Terkadang kalau memang sudah tahu akan ada tamu, tahu bahwa nanti siang akan ada beberapa orang makan di sana, tentu saja mbah(penanggungjawab dapur rumahtangga) akan membeli dan memasakkan lauk-pauk yang agak enak dan mendingan. Tetapi lebih sering, datangnya tamu dan orang-orang, terutama para pemuda dan anak-anak muda dari berbagai organisasi dengan berbagai keperluan, sulit diramalkan kapan datangnya dan akan makan di sana atau tidak. Hal ini menyebabkan memang selalu menemui kesulitan mengatur konsumsi makanan rumah-tangga.

Ada beberapa anak-anak muda yang bekerja atau dengan keperluan yang sudah diatur oleh Kantor Kramat, membenahi perpustakaan, mengatur dan menata pembukuan, bibliografi. Ada yang bertanggungjawab atas sekitar rumah, misalnya kebun, pekarangan, peralatan, dan lain sebagainya. Bahkan ada bagian staf pengawal. Ini pekerjaan besar, dan Partai ketika itu sudah besar dan bertambah besar. Karena sudah tambah besar, maka musuhnya juga tambah membesar, kesulitannyapun juga meningkat. Banyak musuh-musuh mengincar pekerjaan apapun yang dilakukan Partai. Orang-orang muda dan para pemuda itu tentulah semua sudah diatur oleh Kramat, jadi semuanya memang terorganisasi, rapi dan semu ada aturannya. Dan kebanyakan mereka karena waktu selalu saja tak cukup, sempit, maka tak sempat pulang. Dan tidak bisa lain harus makan di rumah itu. Dan ini artinya biaya dan ongkos rumahtangga selalu sering tidak cocok dengan perhitungan sehari-hari. Harus ada tambahan, dan makananpun harus baik atau cukup baiklah. Nah, ini menambah kontradiksi lagi.

Ketika itu Ayah berada di rumah itu. Melihat keadaan begini, Ayah sendiri mengusulkan kepada Bang Amat, bagaimana seandainya biaya rumah-tangga, dapur, makanan buat banyak orang dan teman-teman itu, ditambah atau dicarikan, diusahakan. Menambah biaya, ongkos rumah-tangga, tentulah tidak mudah dan tidak begitu saja. Harus ada pendiskusian yang benar-benar demokratis dan masuk akal serta adil. Bang Amat menanyakan kepada Ayah, apa akal Ayah buat mengatasi hal ini. Dan Ayah mengatakan kalau beliau diperkenankan dan diizinkan, tentulah Ayah akan berusaha mencari ongkos dan dana buat itu. Bagaimana caranya? Ayah menyatakan pendapatnya, beliau akan berusaha buat jual-beli barang, singkatnya dagang-dagang kecillah. Ongkos dan modalnya hanya satu yang penting : tilpun! Bang Amat tampaknya tidak begitu keberatan, tetapi juga tidak lalu setuju sepenuhnya. Dengan sikap, cobalah dulu.

Ketika itu aku sudah di Beijing, bekerja atas kerjasama RI-RRT. Kami beberapa orang dikirim atas persetujuan kerjasama buat pekerjaan pendidikan, pengajaran, penerbitan dan penterjemahan. Kami semua mendapatkan gaji yang cukup besar, bahkan agak berlebihan bila dibandingkan dengan pendapatan di tanahair. Dengan "pangkat" sebagai expert, akhli, tentu saja punya keuangan yang bagus. Semua ini Bang Amat tahu, dan tentu saja tahu, ini tokh pekerjaan yang semua ada hubungannya dengan Kramat. Karena itu ketika Bang Amat mampir di Beijing dan bertemu dengan para pemimpin Tiongkok, dari PM Chou En-lai, Chen Yi, Liao Shao-chi sampai ke yang topnya Mao Tse-tung, sempat "mengumpulkan" kami buat bertemu dan bertatap-muka serta berbincang-bincang.

Karena keperluan Partai sudah semakin besar, dana perbelanjaan juga membesar, sedangkan yang didapat selalu tidak mencukupi, maka bagaimana kalau kami juga para expert yang bergaji besar ini mbok membantu keperluan dan kebutuhan banyak teman di tanahair. Maka kamipun siap buat itu. Ada teman yang diminta buat mencarikan beberapa mesintik, juga alat olahraga, alat pertukangan dan perlistrikan. Ketika itu semua kami sedikitpun tidak keberatan, rela dan siap membantu. Suasana jor-joran revolusi sangat meningkatkan semangat. Dan ketika Bang Amat datang kepadaku, buat menentukan sumbangan apa yang harus kuberikan berdasarkan kebutuhan di tanahair, semula agak terkejut aku mendengarnya. Kepadaku diharapkan agar membelikan 200 meter kain CP, kain drill. Ini bukan sedikit, 200 meter, tak dapat kubayangkan! Kata Bang Amat sambil senyum : "jangan kau bayangkan, tapi kau sediakan uangnya, itu yang penting!"
Kukatakan, bukankah di Tiongkok kini buat membeli kain satu meterpu harus ada kuponnya. Ketika itu di Tiongkok masih banyak kesulitan. Semua pembelian buat barang dan benda strategis harus ada kuponnya, dan setiap orang sangat terbatas buat mendapatkannya. Bang Amat menjawab : "pokoknya semua sudah diatur, yang penting kau keluarkan uang buat itu. Tidak usah dipikirkan tentang kuponnnya, tentang bagaimana cara membelinya, membawanya, mengangkutnya", katanya singkat. Dan sebenarnya soal keuangan, dia tahu betul, kami semua punya kemampuan buat itu.

Teman-teman di tanahair banyak yang kesulitan pakaian, mahal dan tak ada uang buat membeli. Yang berdatangan ke rumah Bang Amat, banyak sekali orang-orang muda, kaum buruh, kaum tani, para nelayan yang memang sangat miskin dan berketiadaan. Dan kami memang sedia dan rela menyumbangkan uang gaji kami yang cukup besar itu.

Akan halnya Ayah, sudah mulai "dagang" yang bermodalkan tilpun. Pada bagian lain sudah kuceritakan bahwa Ayah ini sangat pandai "berijo" kata kami orang Belitung. Pandai mengusahakan, mencari akal, mengadakan, mencari dan mendapatkan. Dalam hatiku : jangankan mencari uang, dagang, mencuri puluhan keluarga orang Jawa-pun dulu itu disanggupinya, dan berhasil. Apalagi hanya dagang yang begini sah dan jelas. Dan Ayah mulai sibuk tilpun sana-sini. Lalu bepergian mengurus perjanjian dagangnya, transaksi, ada bagian yang dikerjakannya dengan istilah "nyatut", tetapi yang paling sering dan banyak yalah menjadi perantara, mencarikan dan mendapatkan, menemukan. Dan ini hasilnya cukup banyak, sekian persen dari pembelian dan penjualan. Dan Ayah banyak mendapatkan keuntungan keuangannya, dan semua itu diserahkannya kepada penangungjawab rumah-tangga. Dan hasilnya, makanan buat banyak orang dan teman menjadi baik dan bermutu. Tidak lagi setiap hari hanya itu-itu saja dari tempe ke tahu dari tahu ke tempe, lalu berbelok ke ikan teri dan kangkung yang agak kering, tidak segar.

Maka ketika Ayah sibuk mengadakan hubungan dagangnya ini, keuangan rumahtangga sangat baik, perbaikan mutu makanan sangat meningkat. Bahkan sudah berani mengundang orang atau tamu yang dari jauh seperti dari Aceh, dari Irian, yang kebetulan ada urusan di Jakarta. Dan semua ini diketahui oleh Bang Amat. Ayah dalam soal keuangan rumah-tangga sudah bagaikan menteri keuangan rumah Bang Amat. Tampaknya Bang Amat sangat besar mendapatkan bantuan dari Ayah. Perbaikan rumah tidak hanya mutu makanan, tetapi juga sudah meningkat ke perbaikan peralatan rumahtangga, dan sekitar kebun, serta kamar belakang, perpustakaan yang sedang dibangun. Tampaknya keuangan Kramatpun sudah banyak terbantu oleh pekerjaan Ayah ini.

Aku merasa benar dengan pendapatku. Ayah sangat cekatan, daya-pikir, daya-usaha, inisiatifnya sangat cepat, berkembang dan menjalar. Tak ada atau sangat sedikit yang menurunnya kepada kami, jangan-jangan juga bahkan kepada Bang Amat. Atau mungkin hanya kepada Bang Amatlah yang diwariskannya. Tetapi dipihak lain, kini sudah mulai timbul rasa tidak enak kepada diri Bang Amat. Adalah benar dan nyata, bahwa pekerjaan Ayah sangat banyak membantu dana keuangan Kramat, meningkatkan mutu makanan rumah-tangga, dan sebenarnya juga menyenangkan banyak orang dan teman atas pekerjaannya ini. Tetapi dipihak lain, akupun mengerti kalau Bang Amat merasa sangat tidak enak. Masaksih orangtuanya Ketua Partai dagang? Memang tidak ada larangan, tidak ada peraturannya dalam AD dan ART, tetapi dari kaedah kebiasaan dan kewajaran masyarakat, akan melihatnya ada keanehan.

Sebaliknya Ayahpun sudah merasakan, mungkin pekerjaannya ini sudah agak melampaui keharusannya, sudah agak sedikit kelebihan. Karena itu ketika Bang Amat "selesai berperang" dengan pikiran dalam dirinya sendiri, dan menyatakan saran dan usul serta pendapatnya, bagaimana kalau Ayah kembali saja ke Belitung, istirahat yang banyak, menikmati hari-tua dengan pensiun yang didapatkan dari DPR itu.

Ketika pernyataan itu dikemukakan kepada Ayah oleh Bang Amat, dua beranak itu penuh dengan perasaan penyesalan, kesedihan, kepiluan, bahkan Ayah menitikkan air-mata tuanya. Beliau dinasehati oleh anaknya sendiri, anak tertuanya, agar menghentikan usahanya selama ini. Ayah samasekali tidak merasa sakithati, tetapi yang disayangkannya yalah : usaha keras dan kerjakerasnya itu, kini terpaksa harus dihancurkan demi kejayaan Partai. Sesudah berhasil baik, maka harus segara dibunuh! Dan kami semua mengerti, mengapa Bang Amat terpaksa mengambil sikap demikian. Dan kami semua memahami sifat dan watak Ayah kami, kalau sudah berusaha, bekerja, menyanggupi, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh dan mati-matian, niscaya kerja apapun dan bagaimanapun pasti akan berhasil.

Maka Ayah kami kembali ke kampung halamannya karena -, mungkin tidak tepat istilah ini, "dipecat oleh anaknya sendiri"-, sudah tidak dikehendaki lagi usaha-kerjanya, sesudah berhasil karena terlalu gemilang!!

Ayah lahir pada tahun 1901. Ketika meninggalnya tahun 1968, mayatnya hampir membusuk karena tak ada orang atau keluarganya yang berani menguburkannya. Mereka semua takut akan akibat sampingannya, takut kalau-kalau tersangkut tidakbersih lingkungan. Tidak berani menguburkannya, karena Ayah adalah ayahnya Ketua PKI! Untunglah masih ada Palang Merah Indonesia dan pihak Rumahsakit yang tidak boleh membiarkan mayat tak terurus. Tragis sungguh, anaknya yang tertua yang dulu "memecatnya" meninggal diteror, dibunuh-gelap oleh rezim Orba yang tak tahu di mana kuburannya, di mana jelasnya. Dua orang anak-ayah itu telah memenuhi syarat-syarat kehidupan dalam masyarakat, di mana orang seharusnya memperdulikan dan menghargai orang lain, menghormati orang per orang dan orang banyak. Semua ini karena mereka mau berbuat baik kepada sesamanya, terutama kepada orang miskin dan terhina-papa.-

Paris 23 Juni 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.