Bab 22 :
Tentang Ayahku

Kami bertujuh saudara, hanya satu wanitanya. Kakakku itu meninggal di Mekkah ketika naik haji beberapa tahun yang lalu. Kebetulan bersama satu rombongan-terbang ( kloter = kelompok-terbang ) dengan Bung Tomo, yang juga meninggal pada tahun itu, di Mekkah. Hanya bedanya mungkin, yang kudengar makam Bung Tomo dipindahkan ke tanahair. Makam kakakku? Mana kami punya kemampuan buat memindahkannya, perlu banyak uang dan mana kami punya!

Semua anak-anak Ayah pada pokoknya berhasil dalam masalah sekolah dan pendidikannya, sampai ke batas dan sampai ke puncak. Ini dalam soal pendidikan. Tetapi apakah berhasil dalam masalah kehidupan dalam pengertian "secara kampungan, orang kampung kami"? Menurutku dari kami semua bertujuh ini, hanya Ayah yang dapat dikatakan berhasil, dan mungkin juga kakakku yang sudah lama meninggal di Mekkah itu. Apa ukurannya berhasil atau sukses tidaknya? Menurut orang kampungku yang dikatakan sukses berhasil dalam kehidupan itu yalah : bila punya rumah-gedung, batu dan beratap sirap, punya pekarangan-rumah atau sawah. Dan bila bisa naik-haji menunaikan rukun-Islam, dan ada emas sebungkal dua bungkal, di tangan, di kuping di leher atau di gigi! Dan bila tak punya hutang. Bila memang ini ukurannya, maka kami bertujuh atau berenam ( minus kakakku, karena dia punya ukuran itu ) tak seorangpun yang berhasil dalam kehidupan ini. Abangku yang tertua, dengan pangkat menteri ketika pemeritahan Soekarno, sampai akhir hidupnya tak punya rumah pribadi. Yang dia tempati itu walaupun sangat besar, yang katanya bekas kompleks Kedutaan Inggeris di daerah Pegangsaan dulu itu, tokh bukan hak-milik pribadinya. Dia benar-benar tak punya secuil hartapun, tidak seperti Ayah kami.

Sangat banyak syarat-syarat yang kami tak punya, dan takkan pernah punya, serta takkan mungkin punya. Adikku? Walaupun sekolahnya punya dua atau lebih ijazah dari dua negeri, manapula dia punya harta dan rumah. Aku? Sampai kini pensiun, tak punya apa-apa, rumah sewaan yang setiap mau bayar sewa apartemen, selalu dag-dig di hati, sebab apakah masih bisa dibayar penuh? Naik haji? Naik kereta buat ke Holland untuk rapat YSBI saja terkadang ngemis kepada teman-teman!

Dan gilanya pula, hanya Ayah yang sekolahnya paling rendah di antara kami semua. Dia hanya tamat SR,Sekolah Rakyat. Ketika itu hanya lima tahun. Tetapi dia pula yang pertama jadi anggota DPR dari anak tertuanya, sebab anak tertuanya sesudah jadi Ketua Partai barulah bisa jadi anggota DPR dan MPR. Tetapi Ayah jadi anggota DPR karena mewakili daerah Belitung dan MBA45, Musyuwarah Besar Angkatan 45, yang dulu pernah diketuai Chairul Saleh. Ayah salah seorang yang secara langsung memimpin rakyat dan pemuda dalam pemberontakan bersenjata serta mengibarkan bendera merah-putih di Belitung. Karena dikejar-kejar mau ditangkap dan dibunuh Belanda, maka Ayah melarikan diri ke daerah RI, Yogyakarta dengan melalui Cirebon dengan sebuah perahu Bugis. Lalu bergabung dengan BPRI pimpinan Bung Tomo, dan bertemu dengan anak tertuanya sesudah bertahun-tahun berpisah.

Ayah salah seorang pendiri Nurul Islam, organisasi Islam yang pertama di Belitung pada akhir tahun 1930-an. Nurul Islam lebih berorientasi kepada Muhammadyah, dan bukan kepada Masyumi yang lahirnya sesudah tauhun 1940-an. Banyak orang mengatakan bahwa Ayah adalah anggota Masyumi. Ini tidak benar. Pada Seri tulisan ini, sudah kutuliskan cerita yang sebenarnya. Anggota DPR ketika itu memang ada dua yang namanya Abdullah Aidit, yang satu pakai huruf d ujungnya, Abdullah Aidid, sedangkan Ayah saya pakai t ujungnya, Abdullah Aidit. Dan gilanya lagi, dua Pak Abdullah itu menghuni satu kamar, berdua, dengan nama yang sama hanya beda huruf d dan t. Dan yang huruf berujung d itulah dari fraksi Masyumi, seorang saudagar batik dan pengumpul perangko, philatelis kenamaan, dari Solo. Ayah saya bukan anggota PKI tetapi samasekali tidak anti-PKI, sedangkan anak tertuanya menjadi Ketua PKI.

Kami mendapat pendidikan sekolah secara sama. Kata Ayah : Aku tidak membedakan kalian dalam mendapatkan pendidikan, sampai setinggi apapun dan sampai manapun. Aku akan berusaha sekeras mungkin buat mengongkosi kalian bersekolah. Tetapi yang sudah pasti, aku tidak akan meninggalkan harta kekayaan buat berbagi, dan kalian samasekali tidak boleh bercerai-berai karena harta orang tua!
Jadi tugasku, kata Ayah, menyekolahkan kalian secara sama. Sama mendapatkan pendidikan baik secara sekolah maupun budi-pekerti di rumah. Tetapi sampai mana yang kalian dapatkan, itu tergantung pada diri kalian masing-masing. Pembentukan watak-luhur, tergantung pada dalam-diri kalian masing-masing. Hanya dalam masyarakat kongkrit, kerja-praktek-nyata, barulah arti pembentukan watak-luhur itu akan menjadi kenyataan.

Demikianlah nasehat dan anjuran Ayah kepada kami semua. Dan memang demikianlah kenyataannya, kami mendapatkan pendidikan sekolah dan budi-pekerti secara sama, tetapi soal hasilnya bisa berbeda-beda. Ayah sangat demokratis, sejak kecil kami sudah ditanamkan rasa-demokratis ini, tidak ada pemaksaan secara ideologis. Tetapi perkara karena kami nakal, rata-rata kami pernah kena pukul. Pantatku sering kena sapu-lidi atau penepak-kasur, atau membiru sekitar kulit-perut karena dicubit. Tetapi memang benar, beliau tak pernah melengketkan tangannya di kepala kami. Selalu di pantat atau di perut, atau di kuping. Dan sedikitpun aku tak pernah merasa menyesali Ayah karena memukulku, karena aku merasa sudah seharusnya aku mendapatkan hukuman itu, - karena memang sudah keterlaluan nakalnya.

Dalam bahasa Belitung, Ayah kami itu sangat pandai "berijo". Berijo yalah banyak pengertiannya, bisa dalam pengertian "memperhitungan" dan "mengusahakan" bisa "mencari akal" dan kepandaian bagaimana memperlakukan hidup ini. Aku menganggap Ayah sangat banyak akalnya, selalu tahu saja bagaimana seharusnya. Otaknya selalu jalan dan bekerja, dan dapat dikatakan "menguasai ilmu-strategi dan taktik dalam kehidupan". Dalam hatiku, seandainya Ayah kami mendapatkan pendidikan sekolahnya seperti kami anak-anaknya, maka "martabat dan prestasi" Ayah pasti melampaui semua anak-anaknya, termasuk siapa tahu anaknya yang tertua itu, Bang Amat.

Ingin aku menuliskan hal-hal yang sangat berkesan dalam hatiku, dan mungkin "agak monumental" bagi kehidupan kami. Karena Ayah dianggap pandai "berijo" tadi itu, maka Pemerintah Jepang menugaskan Ayah buat "mencuri orang Jawa" ke dan di Pulau Jawa. Maksudnya yalah, orang-orang Jawa ini akan ditugaskan dan mengajarkan agar orang-orang dan penduduk Belitung mau dan bersedia membuka tanah buat bersawah! Sebab di Belitung tidak ada sawah, semuanya huma, padi-kering seperti di Kalimantan. Dan orang-orang penduduk Belitung tidak mengerti bersawah, perlu belajar bagaimana bersawah itu. Maka missi Ayah yang "berjuang sendirian" "mencuri orang Jawa" dari Pulau Jawa itu pada akhirnya berhasil. Ada 25 keluarga orang Jawa dengan perahu-besar, sebagai pembidas, dapat "dibujuk" dan sedia hidup di Belitung. Waktu itu samasekali tak ada masalah transmigrasi di Belitung, dan samasekali bukan dalam pengertian transmigrasi. Sebab yang menugaskan itu adalah Pemerintah Daerah Belitung, Gunzeikanbu Jepang, dengan melalui Jawatan Kehutanan. Ayah selama puluhan tahun adalah pegawai Boschweizen, mantri Kehutahan Kabupaten Belitung. Dan sejak itulah penduduk Belitung baru mengenal persawahan berkat Ayah berhasil "mencuri" orang Jawa itu.

Sesudah Jepang kalah, Ayah menjadi orang non, artinya non-koperasi, tidak mau bekerjasama dengan Belanda dan melawan Belanda. Bertentangan dengan orang ko, artinya koperasi, mau kerjasama dengan Belanda. Karena Belitung adalah daerah federal, daerah-jajahan-Belanda, sedangkan Ayah adalah orang non, dan orang Republikein, maka beliau sudah pasti sangat terasing dan terisolasi dalam kehidupan pemerintahan Belanda ketika itu. Apalagi beliau secara langsung memimpin para pemuda-pejuang buat membrontak terhadap Belanda. Tak bisa lain untuk menghindari penangkapan dan penjara serta mungkin pembunuhan, maka Ayah harus segera melarikan diri.

Ketika tahun-tahun 50-an, di mana Ayah sudah jadi anggota Parlemen, maka Ayah harus pindah ke Jakarta. Anaknya yang kedua, adiknya Bang Amat, yaitu Bang Seri ( Basri ) sudah berkali-kali berusaha mencari rumah. Tetapi tak pernah dapat, tak pernah berhasil. Begitu Ayah turut membantunya, langsung Bang Seri dapat rumah! Begini ceritanya. Kami ketika itu sedang jalan-jalan di Kebun Raya Bogor. Tahu-tahu sesuai dengan gelaran nama Bogor, kota-hujan itu, haripun hujan. Cukup lebat. Kami terpaksa berteduh di emper rumah orang. Dan tidak hanya kami, ada lagi orang lain. Di antara orang lain itu ada seorang penjual-bunga. Berbagai macam bunga dalam pot-kecil, indah sekali. Dan Ayah membuka percakapan dengan penjual-bunga itu. Ayah menanyakan apakah pernah mendengar atau apakah tahu, ada orang yang mau menyewakan rumah. Kata Ayah, saya sedang mencari rumah di dekat-dekat sini. Penjual-bunga itu dengan mengingat-ingat agak lama, mengatakan dia tahu, tapi rumah itu tidak di daerah dekat sini, melainkan dekat Kebon Pedes Bogor, dekat Kedung Halang. Pembicaraan semakin hangat dan meningkat-maju. Dan Ayah berjanji akan mendatangi rumah yang disebutkan penjual-bunga itu.

Tidak sampai satu bulan Bang Seri sudah pindah ke rumah-sewaan Kebon Pedes itu. Rumahnya besar, pekarangannya baik, bersih dan ada tanaman bunga-bunga. Bukan main Bang Seri sangat gembiranya. Dan akupun pernah menginap di rumah Bang Seri yang sangat sejuk dan berhalaman besar itu. Dua kali dengan ini Bang Seri dapat rumah dengan usaha Ayah mencarikannya. Bang Seri ke sana ke mari mendatangi kantor-kantor urusan perumahan, dengan resmi surat-menyurat, dengan Bahasa Belanda yang cas-cis-cus, tokh belum pernah berhasil. Dan Ayah yang tua serta "sekolahnya paling rendah" itu dengan cekatan dan sigap mendapatkan sebanyak dua kali yang Bang Seri tak pernah berhasil.

Kata Ayah "berpetuah" padaku. Kau tahu, kalau kita mau cari rumah, cari saja melalui orang-orang yang selalu banyak dan sering berkeliling kampung. Nah, penjual-bunga pastilah banyak dan sering keliling kampung dan daerah-daerah perumahan penduduk. Dan orang ini paling banyak mengerti keadaan orang-orang setempat. Mengapa tidak kepada mereka saja kita minta bantuan dan mendapatkan keterangan? Mengapa kita tidak menempuh jalan yang terang-benderang dan sudah pasti mereka lebih tahu dari kita? Jangan remehkan orang-orang kecil begini. Mereka bermata sangat tajam, mengetahui sangat luas. Sering-sering kita tak tahu apa-apa, tetapi mereka tahu banyak. Dan celakanya, kalau kita menganggap kita lebih tahu atau sok tahu, padahal mereka benar-benar tahu.

Selalu Ayah memberikan contoh kongkrit di depan mata kami, yang kami tidak melihatnya dengan terang. Ada lagi cerita Ayah yang lain, bagaimana Ayah "dipecat" dari anaknya yang tertua, karena seperti kata peribahasa Tiongkok, seperti Tuan Shi taku akan Naga! Dan Ayahku pulang kampung ke Belitung karena memang sudah "dipecat" anaknya yang tertua itu.

Paris 22 Juni 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.