Bab 150 :
17 Agustus 2000,-

Sudah lama ada dalam pikiran saya, bahwa tanggal 17 Agustus nanti saya mau datang ke KBRI di Paris. Diundang maupun tidak diundang, saya mau datang, saya mau hadir. Saya mau bersama-sama melihat, menyaksikan berada di tengah masarakat Indonesia di Paris bersama-sama merayakan dan memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Saya merasa diri saya adalah bangsa Indonesia dan ingin merasakan berada di tengah masarakat Indonesia yang sebelumnya saya merasa asing atau saya merasa mereka asingkan selama lebih dari 34 tahun! Tak tahu-tahunya diluar dugaan, tepat nanti pada 17 Agutus, ternyata saya tidak di Paris, malah di Holland. Namun demikian kehendak dan niat saya untuk datang ke KBRI Ambassade Indonesia, tidak berubah. Seandainya di Holland-pun saya tetap ingin hadir, ingin tahu, ingin merasakan berada di tengah masarakat bangsa saya, yang selama ini saya merasa diasingkan selama puluhan tahun itu.

Tidak penting bahwa saya tak punya surat undangan! Gila kan! Agak nekad juga kan! Dan saya sudah pesan pada Mas Mung agar saya ikut dengan tanggungjawab saya sendiri. Dan Mas Mung samasekali tak keberatan, dan malah dia merasa punya teman seiring dalam mobilnya nanti. Maka "kegilaan dan kenekadan" saya itu terlaksana hari ini, siang tadi itu. Dan Mas Mung bersama isterinya dan teman lainnya beserta saya, datang ke KBRI di Wassenaar di Den Haag. Padahal sebelum itu saya tak pernah hadir atau apalagi diundang oleh pihak KBRI. Pembaca kan tahu, bahwa kami atau orang sejenis saya ini, sudah dimusuhi sejak tahun 1965. Bagaimana mungkin mereka mau dan rela mengundang saya, tidak mungkin! Tetapi hal itu tidak penting. Saya mau datang, saya mau hadir, saya mau berada di tengah masarakat bangsa saya di KBRI Den Haag pada hari ini. Soal saya tidak akan diterima atau akan ditolak atau siapa tahu akan diusir, itu soal belakangan. Dan saya siap buat semua itu.

Jadi saya akan datang dengan senjata dan perbekalan : mau bersahabat, mau bergaul, mau berkenalan dan mau segalanya di atas dasar keterbukaan, kejujuran dan demokrasi! Itu saja modal saya hari ini.-

Dan ketika kami masuk pertama pada jam 08.30 di wilayah KBRI Den Haag Wassenaar itu tampaklah banyak orang-orang berbadan tegap, berambut agak cepak, tetapi berpakaian lengkap, berdasi, seragam resepsi, memeriksa kami.
Kami membawa seperangkat buku-buku dan alat presentasi buku-buku yang mau dijual oleh Mas Mung. Dan dengan ketat serta teliti

memeriksa semua bawaan kami. Semua ini urusan Mas Mung. Saya hanya tahu dari dia, bahwa dia sudah minta izin akan menjualkan beberapa buku, termasuk buku tulisannya sendiri. Pada hari pertama minta izin, pihak KBRI mengizinkan dan tak keberatan samasekali. Tetapi pada hari keesokan harinya 17 Agustus, mereka menilpun Mas Mung, bahwa beberapa daftar buku-buku yang akan dijual itu dilarang dibawa ke KBRI! Hanya diizinkan
tulisan dan kumpulan puisi Mas Mung sendiri bersama seorang teman. Yang dilarang buat dibawa masuk antaranya buku tulisan karya Prof DR Wertheim, DR Saskia, dan tentu saja tulisan dan buku saya, SA.

Katanya alasannya, karena ada juga orang yang minta menjualkan buku, tapi ditolak oleh pihak KBRI. Jadi katanya, yang dibawa Mas Mung itu juga seharusnya dilarang, dong! Saya tidak mengurus soal itu, walaupun di dalam pelarangan buku itu ada buku karangan saya. Semua itu urusan Mas Mung dengan pihak KBRI, ada bagian-bagian yang mengurusnya. Saya hanya berpikir bagaimana dan kenapa kok saya nekad dan gila benar kok mau datang ke KBRI, sebuah kekuasaan dan kekuatan yang dulu pernah memusuhi kami selama 34 tahun!

Menghadapi pintu masuk, betapa banyak orang-orang yang berpakaian dan berdasi tetapi bergaya militer, memeriksa dan mengawasi begitu teliti orang-orang banyak itu. Tetapi begitu sudah masuk ke dalam, barulah tahu saya bahwa dunia yang saya masuki itu tidaklah sangat seram dan menakutkan. Apa yang saya lihat? Dalam hati saya, apakah ini KBRI itu? Lapangan hijau buat upacara nanti itu, dan semua sayap menuju ke sana, sudah penuh dengan tenda-kecil yang berisi dan menjual makanan. Saya hitung lebih dari 25 tenda. Berisi jualan makanan, kue-kue, makanan, ada yang namanya warung Banyumas, Empek-empek Palembang, Soto Betawi, Siao Moi Jakarta, Asinan dan Gado-gado Jakarta, dan goreng pisang, kelepon, cucur, segala macam makanan kudapan, makanan santapan siang. Lalu terpikir pada saya, kok kayak pasar-malam Tongtong aja ya! Itupun saya tidak perduli.

Orang-orang sudah ramai. Padahal mulainya pada jam 09.45. Saya memperhatikan semua orang yang bisa saya capai dengan mata. Ada juga yang saya kenal, tetapi sebagian besar tidak saya kenal, dan dengan wajah-wajah baru. Dalam hati saya : sekarang saya berada di tengah masarakat bangsa saya. Kenalilah mereka, ajaklah mereka bercakap-cakap, jangan sekali-kali pasive, menunggu sampai mereka menegurmu! Kamulah duluan yang aktive, dekatilah mereka, senyumlah, bukankah kau sudah terlatih ramah selama belasan tahun menghadapi tamu-tamu di restomu? Inilah senjataku, inilah modalku. Dan aku mulai mengenali mereka, beramahan dengan mereka, dan pelan-pelan mengajak bergurau. Ternyata persangkaanku yang dulu atau semula ada padaku, berangsur hilang setelah aku menjalankan ofensif ramah dan bersahabat ini. Dan kami bisa berkelakar dengan orang-orang yang tadinya samasekali tak kukenal.

Dari percakapan dengan orang-orang itu tahulah saya, tadinya atau dulunya, semua makanan yang disediakan KBRI adalah gratis, ini tiga tahun yang lalu. Tetapi sejak dua tahun yang lalu dan yang ini adalah yang ketiga, barulah beberapa grup mereka yang disekitar KBRI diperkenankan membuka stand, tenda, dan menjual makanan. Tetapi ternyata sebenarnya cara sekarang inilah yang tepat, dan hal-hal yang gratis begituan sebenarnya tidaklah tepat. Dan banyak yang membenarkan bahwa cara yang sudah tiga tahun ini, adalah penemuan yang ternyata benar dan wajar.
Apakah ada akibat dan dampak negatif lainnya? Mungkin ada. Katanya dulu itu yang datang sampai mencapai 2000 sampai 3000 orang, maka penuh padat dan sesaklah lapangan sekitar KBRI itu. Tetapi setelah harus bayar sendiri itu, paling banyak yang datang hanyalah 600 orang. Sudahlah, itu bukan urusan penting!

Pada jam yang sudah ditentukan, upacara dibuka dengan waktu yang tepat. Dari jam pembukaan mulai jam 09.45 sampai jam terakhir jam 10.15, yang padahal di dalamnya ada pidato Duta Besar, Pengheningan Cipta, penaikan bendera dan pembacaan proklamasi, dan beberapa acara lagi,- sangat tepat waktu! Kaget dan kagum juga saya dibuatnya. Dan dari percakapan orang-orang, katanya Duta Besar yang satu ini Pak Irsan, sangat lain dari yang lain. Beliau tidak suka yang sangat berbau militer, dan beliau menolak dikawal ke mana-mana padahal hanya dalam kompleks KBRI itu saja. Dan beliau menolak duduk di kursi kehormatan yang disediakan oleh panitya yang letaknya terpisah dengan keberadaan massa yang hadir. Semua ini saya lihat, betul memang begitu. Tampaknya Pak Duta ini, yang telah saya ikuti gerak-geriknya sejak adanya instruksi presiden mengenai orang-orang terhalang pulang dengan mendatangkan menteri Yusril dulu itu, cukup terbuka dan bisa berdialog tampaknya.

Pidato-nyapun bagus, dalam pengertian ingin bekerja dan menuju keterbukaan dan kelonggaran. Katanya peringatan sekali ini dihadiri oleh Duta Besar Belanda yang sedang berlibur di Holland. Ketika upacara penaikan bendera, ada banyak orang-orang yang kulihat pada tegap dan berambut agak cepak dan berpakaian lengkap buat resepsi dan berdasi itu dengan tegap memberi hormat saluir cara militer. Padahal mereka berpakaian sipil! Kalau begitu mereka itu adalah para militer, inteligen, informan dan reserse dan intel! Tapi sudahlah.

Di sana saya banyak berkenalan dengan orang-orang baru, orang-orang yang sangat asing tadinya. Tapi begitu bergaul dan saling mengenal dan cerita, ternyata mereka adalah sebagian besar sama saja dengan orang-orang yang kukenal selama ini. Bahkan banyak di antaranya yang menjadi pejabat di KBRI dan pegawai dinas luarnegeri yang dipekerjakan di KBRI. Artinya calon-calon diplomat muda. Dan mereka ini tampaknya ada yang benar-benar ingin juga berkenalan dengan orang-orang sejenis saya. Bahkan salah seorang di antaranya, sekretaris ke........ingin mengajak saya menemui Pak Duta agar berkenalan dengan Pak Duta. Ini benar-benar gila! Apalagi setelah mereka tahu siapa saya, malah pihak merekalah yang tampaknya menaruh perhatian besar kepada persoalan saya. Ini orang datang dari Paris, tanpa diundang mau datang ke KBRI Holland, dan dengan hati terbuka dan jujur,- ini setelah saya katakan apa dan bagaimana maksud saya yang sebenarnya datang ke tengah bangsa saya hari ini buat bersama merayakan dan memperingati hari proklamasi ini.

Oleh keterangan saya ini, mereka malah bertambah tertarik, dan pada akhirnya mereka memberitahukan kepada Pak Duta Besar. Dan pada akhirnya saya diminta buat menemui Pak Duta Besar, dan kami pada bercakap-cakap dengan ramah. Dan saya katakan, maaf dulu itu, saya tak dapat hadir ketika Menteri Yusril di Den Haag, sedangkan teman saya datang dari Paris buat keperluan itu. Ketika Januari 2000 itu malah saya sedang di Jakarta. Kata Pak Duta Besar memang ada didengarnya berita itu. Dan Pak Duta Besar mengajak saya buat berfoto bersama! Masyallah, pikir saya, apakah ini saya bermimpi? Apakah ini benar-benar terjadi sih? Dan memang benar dan bukannya bermimpi, kami dengan beberapa orang lagi, dengan Pak Duta Besar Irsan bersampingan dengan saya, berfoto bersama! Kalau dulu, semasih berkuasanya babe Cendana, pastilah saya akan menolak, dan saya akan berpikir, habislah saya, sebab foto itu akan disimpan di lemari kopassus atau seperangkat dinas militer siap buat menculik dan menggebuk dan menghabiskan saya kalau mereka anggap perlu.
Tetapi pikiran itu kini saya kira tak perlu sampai demikian benar. Bukankah saya datang dengan modal dan tekad bersahabat dan mau berkenalan, mau sama-sama menuju dan menegakkan demokrasi. Dan lagi saya sekarang ini mau menegakkan kepala saya yang selama ini dipaksa buat tunduk. Saya ingin mengepakkan sayap saya selebar dan seluas mungkin, buat terbang menuju angkasa kemerdekaan dan demokrasi yang sebenarnya. Untuk semua yang saya alami hari ini bersama begitu banyak orang-orang yang baru saya kenal, yang tadinya sangat asing, termasuk kepada Pak Duta Besar Irsan, terimalah salam saya yang sangat hangat dan bersahabat. Dunia masa depan ini, bukan main banyak dan rumitnya pekerjaan kita, dan saya harap pengertian kita itu adalah juga kalian yang tadi-siang bersama-sama saya,-

Den Haag - HOLLAND 17 Agustus 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.