Bab 146 :
Untung Aku Jadi Orang Kampung, Bagian Tiga

Di kampung kami penduduk rata-rata memburuh di pertambangan timah di PPTB, Perusahaan Pertambangan Timah Belitung, atau bertani secara tradisional atau menjadi nelayan tradisional. Mana yang banyak, sulit menghitungnya, sebab angkanya sangat seimbang, tak ada yang berdominasi satu atas yang lain. Seakan-akan sama banyaknya. Ketiga matapencaharian itu tampaknya saling mendukung dan saling isi mengisi. Ada kalanya seorang buruh juga merangkap menjadi nelayan tradisional.

Nelayan di kampung kami menggunakan berbagai jenis alat penangkapan ikan dan hasil laut lainnya. Seperti pukat, jala, sungkor dan sero atau jermal. Sero ini pada masa tertentu sangat populer. Sero atau jermal itu alat penangkap ikan yang berupa pagar dari pancang yang dipasang di tepi laut. Diberi berpintu seperti bubu dan dibelakangnya dipasang jaring besar yang dapat diangkat satu waktu bila ikan telah berkumpul disitu. Panjang pemasangan sero biasanya paling pendek sampai 50 meter jaraknya, dan paling panjang 100 meter. Bahannya dari batang sejenis rotan, yang di dalamnya ada isi beserta kulit kerasnya. Namanya resaman. Resaman ini adalah tetumbuhan yang merambat, bukan yang berakar tunggal tumbuh meninggi seperti layaknya pohon manggis, durian atau po hon bercabang lainnya. Besar tumbuhannya tidak lebih dari seperti besarnya sebatang rokok. Tetapi panjang, dan bila direntang buat keperluan sebuah sero itu bisa sehingga dua sampai dua setengah meter. Pancang-pancang ini dipasang di laut yang tidak dala m, atau pertemuan muara dan laut. Bila dilihat dari pesawatterbang, tampak bagus sekali bagaikan pagar yang dibentuk di tengah laut. Nama bahasa Belitungnya ada bunun-masuk, tempat kelewatan ikan yang lalu lalang agar mengikuti pagar yang memanjang lurus itu. Lalu masuk ke bunun-tengah, lalu terus masuk ke bunun-mati, di mana ikan tak mungkin bisa ke luar lagi.

Biasanya pemilik sero, atau juragan sero akan selalu memeriksanya setiap hari, atau dua tiga hari sekali. Tergantung musim apa ketika itu. Sebab ada musim-ikan, ada musim-barat. Musim-barat yalah antara bulan Desember sampai bulan Februari, selalu hujan d an angin dan topan. Musim-barat ini biasanya juga disebut musim paceklik, sangat susah mendapatkan hasil laut yang memadai, karena cuacanya sangat buruk. Musim-ikan biasanya antara bulan Mei sampai September. Itupun tergantung musim ikan apa, sebab banyak jenis ikannya. Misalnya musim ikan-tenggiri akan lain dengan musim ikan-tamban atau ikan sarden. Akan lain dengan musim ikan bingkis atau libam. Ikan bingkis dan libam hanya diperlukan telurnya yang besar dan enak rasanya. Tak sebanding besar antara telu r dan badannya, sebab telurnya begitu besar dibandingkan dengan badannya. Tapi daging ikan bingkis tidak enak, karena itu penduduk hanya mengambil telurnya.

Pemilik sero juga selalu menugaskan kepada nelayan upahannya, tidak mesti langsung turun ke laut. Nanti diperhitungkan dengan bagi hasil. Hasil laut dengan penangkapan sero atau jermal ini, tidak tentu, adakalanya banyak, dan banyak sekali. Tetapi adakala nya sedikit bahkan sedikit sekali. Tergantung letak pemasangan seronya itu di mana. Letaknya apakah menguntungkan bagi ikan-ikan yang lewat, atau istilah kampungnya "tempat kelewatan ikan". Jadi strategis tidaknya letak atau lokasi pemasangan sero itu, tergantung atas arus laut, arah angin, dan jalur tempat lewatnya ikan. Kata orang kalau tempatnya itu mengandung rezeki atau zaman sekarangnya letak secara feng shui-nya baik dan menguntungkan maka pendapatan pemilik seronya akan sangat menggiurkan.

Ketika kami sedang bermain-main di sebuah lapangan bola tak jauh dari rumahku, tiba-tiba saja Pak Maksum berteriak keras-keras kepada beberapa nelayan yang punya perahu, agar ikut dengannya memanen ikan ekor kuning di sero-nya Haji Madura, yang bernama Ha ji Aziz. Dinamai Haji Madura, karena Haji Aziz ini adalah orang dari Madura. Atas seruan dan ajakan ini, beberapa nelayan membawa perahunya buat panen ikan ekor kuning itu. Dan kami melihatnya datang ke pantai, ada tiga perahu yang sarat dengan ikan, sek ira belasan ton penuh dengan ikan ekor kuning. Dan itupun katanya, masih cukup banyak yang tertinggal, tak ada tempat lagi buat membawanya. Sayangnya ikan itu terlalu banyak sehingga harganya juga jatuh merosot, dan yang menjadi pembelinya juga sangat ter batas. Kalau kebanyakan orang, kebanyakan nelayan pada berjualan ikan ekor kuning, lalu siapa lagi yang akan membelinya?

Katanya Haji Madura yang punya tiga gugusan sero ini, berkat pendapatan penjualan ikannyalah maka bisa dan mampu naik haji ke Mekkah! Tapi yang kami lihat pada suatu waktu ada gugusan seronya hancur tinggal puing-puingnya karena terlalu banyak ikan tamban ketika musim ikan tamban. Ikan tamban yalah ikan sarden. Katanya begitu para nelayan itu memeriksa sero Pak Haji Madura, hampir isi seluruh bunun-tengah dan bunun-mati seperti bubur hitam, bergumpal karena penuh dengan ikan sarden. Tak tertampung lagi, l alu sero itu hancur akibat keganasan karena terlalu banyaknya ikan sarden itu. Rupanya kalau rezeki sudah keterlaluan banyaknya, akhirnya bisa menghancurkan juga!

Begitu pula ketika musim ikan-tenggiri. Banyaknya bukan main. Belitung penduduknya tidak banyak, sangat jarang. Mereka memang pemakan ikan nomor satu. Artinya yang kukatakan mereka itu adalah termasuk diriku! Jadi bagaimanapun kekuatan pemakannya tetap s aja sangat terbatas. Sedangkan banyaknya ikan masuk perut sero itu tak mungkin tertampung oleh penduduk walaupun pemakan ikan nomor wahid sekalipun! Dan pada akhirnya banyak yang siasia dan mubazir. Semua ini karena sarana - wadahnya buat transportasi dan akomodasinya sangat kurang dan sangat tidak memadai. Ada diusahakan sejenis koperasi kampung buat menampung ikan itu, dijadikan ikan asin atau ikan peda. Tetapi tetap saja tidak mencukupi karena banyaknya hasil penangkapan. Ini kuceritakan ketika tahun-t ahun 40-an dulu itu. Katanya kini sudah sangat berlainan. Sangat sulit menangkap ikan, karena sudah banyak saingan pedagang-pedagang asing, kapitalis dalam dan luarnegeri. Tidak mungkin lagi para nelayan tradisional itu dapat mengatasi dan menyainginya. M alah banyak sekali para nelayan tradisional itu menjadi bangkrut karena kekurangan sarana pengangkutan dan juga karena hasilnya sudah sangat berkurang. Zaman kini para pedagang besar yang kapitalis itu menggunakan pukat-harimau, trawler, pukat raksasa. Be gitu diraup oleh kapal penyapu ikan, langsung masuk pabrik pengolahan dan ada yang langsung masuk pabrik kalengan ikan di tengah laut itu!

Sayangnya yang kuceritakan ini, dapat kulihat dan kami rasakan ketika lebih 50 tahun yang lalu dulu itu, di mana kami menyaksikan sendiri, tetapi kini menjadi terhapus kikis menjadi kenangan yang sudah lama berdebu. Dan semua itu kurasakan, kulihat, kuala mi sendiri karena aku adalah salah seorang penduduk kampung Pulau Belitung.

Almere - HOLLAND 14 Agustus 2000

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.