Bab 145 :
Untung Aku Jadi Orang Kampung,- Bagian Dua,-

Setiap ayah akan bepergian jauh, misalnya ke tanah Jawa buat berbulan-bulan, kami selalu ditinggalinya makanan yang cukup buat selama jangka waktu itu. Nah, yang ditinggalkan selama kepergiannya itu, kami sudah "dipesankan" kepada keluarga kami yang di kampung Mempiu, yang jauhnya 16 km dari rumah kami, buat bertanam padi huma seluas satu surik. Satu surik itu panjangnya kira-kira 80 meter, lebarnya kira-kira 25 meter. Surik adalah ukuran luasnya penanaman padi di huma.

Yang menanam padi itu, dengan istilah menugalinya, adalah keluarga Kik Marup, ( kakek Marup ). Tugal yalah sejenis kayu besar buat melobangi tanah padi huma, yang di dalamnya akan ditanami padi kering. Sejumput bibit padi dimasukkan ke dalam lobang yang dalamnya sekira 4 sampai 7 cm. Nanti tumbuh sendiri. Menanam padi dengan jenis menugalinya sendiri ini pernah juga kami kerjakan bersama, keluarga Kik Marup, ibu dan aku. Adikku ketika itu masih terlalu kecil belum lag berumur tiga tahun. Dan ketika menuainya, diserahkan kepada kami berdua saja, ibu dan aku. Karena mereka sendiri tidak punya tenaga kerja buat keperluan itu. Sebab masing-masing sibuk dengan pekerjaan ladang,- huma. Ketika itulah kami tinggal di rumah Kik Marup hampir satu bulan karena pekerjaan menuai padi huma itu.

Dan kami menuainya sendiri huma yang sudah menjadi hak kami itu. Artinya harus dikerjakan sendiri. Nah, pekerjaan ini barulah pertama kali kami kerjakan. Dan betapa sederhana dan primitivenya jenis pekerjaan yang kami lakukan itu. Dan ini bukan saja kami yang mengerjakannya begitu, tetapi sudah menjadi sekampung-kampung lainnya di Pulau Belitung ketika itu. Menuainya, atau mengetamnya, dengan tangan sendiri, tidak pakai alat lain! Jadi tangkai yang berisi penuh padi itu, dilorot melalui tangan secara langsung! Dan betapa sakitnya tangan. Semula ada yang berdarah-darah karena terkena taringpadi, tulang dan bulu-bulu padi yang tajam itu. Tetapi lama kelamaan akan menjadi biasa, tangan menjadi kapalan dan keras sekali, sebab setiap hari pekerjaannya melorotkan butiran padi dari tangkainya.

Tangan para petani itu sudah bagaikan batu, mengeras, kapalan, dan seakan-akan membengkak. Tentu saja sesudah lebih satu minggu kami mengerjakan pekerjaan ini, tangan kami berdua ibu-pun juga sudah agak-agak samalah dengan para petani itu. Tadinya, semula bisa berdarah, tergores luka, lama-kelamaan terbiasa juga akhirnya. Cara mengetam atau menuai padi begini memang sangat primitive, dan sudah lama tak ada di Tanah Jawa ataupun tanah Sumatra lainnya. Biasanya pakai alat yang namanya ani-ani, alat pemotong tangkai padi. Atau dengan cara lain, dengan sabit, dengan golok, dipotong lalu dikumpulkan, dijemur dan lalu disimpan di lumbung padi. Biasanya kami bekerja dari jam 08.30 sampai tengahhari menjelang makan siang. Lalu sorenya mulai jam 14.30 sampai menjelang magrib. Di bawah sinar mentari yang sangat terik, dengan keringat mengucur, badan dan kulit menjadi hitam legam. Selama itu makan semua kami sangat banyak, makan petani lebih banyak dari makan orang biasa, misalnya pegawai negeri, guru dan pekerja kantoran lainnya.

Kalau malam, kami mencari belalang yang merusak padi itu. Kami berdua Retim cucunya Kik Marup yang agak sebaya denganku, dia tua 3 tahun dariku. Dengan suluh, sumbu api di dalam tabung bambu dengan minyak tanah, kami meratai huma itu dengan masing-masing sebuah karung buat tempat belalang yang kami dapat. Ternyata sampai kini aku ingat yang kejadiannya pada tahun 1943 - 1944, belalang itu bila digoreng jauh lebih enak daripada udang! Sekiranya aku disuruh pilih mana antara udang dan belalang, tak sedikitpun ragu, aku pilih belalang! Belalang bila digoreng bukan main enaknya. Membersihkannya sangat sederhana, Patahkan kepalanya, tetapi jangan diputuskan samasekali, dan buang tahinya yang hitam memanjang itu. Lalu buang sayapnya, tinggal badannya dan kepalanya, termasuk buang kaki panjangnya yang berduri itu. Lalu bumbui dengan sedikit garam dan air jeruk, dan lalu goreng seperti menggoreng udang! Betapa enak dan sedapnya, sudah lebih 50 tahun yang lalu, sedapnya masih terasa dilidah sampai kini, gila nggak!!

Karena kami hidup dengan keluarga Kik Marup, dan aku berteman dengan cucunya Retim, jadi bila istirahat dari kerja ladang - huma, kami berdua Retim pergi memancing, berbubu, pasang tekalak, pasang jaring atau "berasu" artinya dengan ajing memburu pelanduk, atau kancil. Dan karena aku melihat dan sama-sama hidup dengan Retim, apa yang dilakukan Retim juga kulakukan dan kutiru. Misalnya Retim sering kulihat makan belalang mentah, langsung dipetiknya atau diambilnya dari tangkai padi, lalu disianginya, tahi dan sayup serta kakinya yang berduri itu, lalu hap -hap - hap masuk mulutnya. Terkadang masih menggelepar di ujung bibir! Dan ketika mula pertama aku melihatnya, agak jijk juga. Tetapi lama kelamaan akupun mencobanya. Tentu saja aku tetap memilih yang sudah digoreng daripada makan mentahnya. Dan ketika ibuku tahu, aku juga makan belalang mentah, ibu bukan main marahnya padaku. Dia ngomel dan melarang dengan keras makan belalang mentah seperti orang-orang kampung huma itu.

Tapi terkadang aku juga tetap saja ikut mereka melakukannya.

Ada juga sedikit kelebihan menuai atau mengetam padi cara dengan tangan secara langsung begini. Tidak lagi harus ditebah di lapangan tebah, atau memilah dan memilihnya dan memisahkannya antara butiran pepadian itu. Cara menuai dan mengetam cari primitive begini, hasilnya dapat secara langsung, sudah dalam keadaan terseleksi. Jadi tidak lagi melalui seleksi penebahan. Hanya tetap saja cara begitu bukan yang praktis dan efisien. Dan cara kuno dan usang ini "untungnya" kamipun sudah pula merasakannya! Dan pada akhir penuaian padi secara umum, akan diadakan pesta tahunan hasil panennya buat satu kampung, atau satu kelurahan. Namanya "Pesta Kampung, Makan Beras Baru, Hasil Panenan Musiman". Hidangannya adalah emping padi dengan saus kelapa dan gula jawa dengan santan, serta wewangian pandan. Lalu makan nasi dari beras baru, biasanya dengan daging kancil, pelanduk atau kijang atau rusa dan ayam. Pesta tahunan hasil panenan ini sangat meriah dan sangat gembira. Termasuk mempermudah mencari jodoh dan ketemu jodoh dalam pesta itu.

Emping dari padi baru itu, adalah beras atau padinya yang sudah dijemur, lalu digongseng di kuali, lalu ditumbuk. Lalu diayak dalam tampi, nyiru, buat membersihkan kulit padinya yang berbulu tajam itu. Emping padi yang sudah disausi, diberi kuah santan gula jawa dan wewangian pepandanan itu bukan main enaknya. Sambil menghirup makan emping padi, atau makan nasi baru yang masih mengepul wangi harum, dengan balado dendeng rusa, alah mak! Tak terlihat mertua lewat, karena anaknya memang sudah dalam dekapan!

Semua ini bukan gambaran, kutipan atau rekaan, tetapi inilah kehidupan kami pada tahun-tahun selama kekuasaan Jepang itu. Antara tahun 1943 sampai menjelang tahun 1945,- Dan sekali lagi ingin "kubanggakan" betapa beruntungnya aku menjadi anak kampung yang sangat dekat dengan alam sekitar yang bisa kuceritakan kepada anak-anak kota di mana tempat aku mengajar dulu itu,- antara tahun-ahun 1954 sampai dengan 1963,-

Almere - Holland,- 14 Agustus 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.