Bab 141 :
Sepasang Tamu Kami,- bagian Satu,-

Mendengar dan mengetahui Laura tidak jadi berlibur ke Indonesia, ke Malaysia dan Hawai, dan akhirnya ke Paris, Papie dan Mamie segera menilpun Nita dan kami semua, bahwa mereka ingin membawa Laura ke Chamonix. Kalau sudah Papie dan Mamie minta Laura atau kirimkan Laura kepada mereka, maka kami tidak bisa apa-apa lagi. Papie dan Mamie sangat menyayangi Laura, juga memanjakannya. Siapa mereka? Bukan sanak bukannya kadang, tetapi kenalan biasa. Karena sudah begitu lama berkenalan dan bersahabat, maka lama kelamaan menjadi keluarga sendiri. Begitulah hidup di rantau ini, kalau sama-sama berbaik hati, terbuka dan punya kejujuran, maka kenalanpun menjadi keluarga dekat.

Papie namanya Alberto Moraes, keturunan Spanyol, dan beberapa tahun sekali tetap pulang ke Spanyol berkunjung ke sanak-keluarganya. Mamie namanya Violetta, keturunan Uruguay, juga beberapa tahun sekali pulang ke Uruguay berkunjung ke sanak-keluarganya. Papie adalah seorang arsitek, insinyur bangunan perumahan, dan kini sudah 10 tahun yang lalu pensiunnya. Dan Mamie, dulunya adalah seorang jururawat ketika di negerinya. Lalu begitu di Paris bekerja di sebuah kiosk sovenir di tengah kota Paris. Juga Nita bekerja di kiosk itu. Dan disitulah mereka berkenalan sejak tahun 1982, dan sampai kini kami semua menjadi keluarga dekat.

Papie mempunyai beberapa apartemen di Paris. Salah satu apartemennya kami menjadi penyewanya, yang satu gedung dengannya. Hanya mereka tingkat 3, kami tingkat 8. Sebenarnya aku tidak punya hak buat menyewanya. Karena gajiku tidak cukup syaratnya. Sebab semua perumahan dan peraturan di Paris, si penyewa harus punya gaji-salaire paling sedikit 3 kalilipat sewa rumah ( apartemen ). Sedangkan sewa apartemen yang kami sewa itu 2500 Ff satu bulan, mana ada dan mana mungkin gaji saya harus lebih dari 7500 Ff! Karena dia percaya, maka dapat jugalah kami menyewanya, tambahan lagi ketika itu sudah lahir Laura, pada tahun 1986.

Mereka menganggap Laura adalah sebagai cucunya, dan menganggap benar-benar cucunya, sebab mereka kemana-mana dan dimana-mana terutama di kalangan keluarga mereka masing-masing selalu mengatakan dan menceritakan bahwa Laura adalah cucu mereka. Mereka tidak punya anak, tidak punya turunan. Hidupnya hanya berdua saja. Ketika itulah dan lama aku merenung dan berpikir, ada-ada saja kekurangan manusia ini. Mereka berdua itu kulihat sangat bahagia, banyak uang, setiap tahun voyage, ke mana-mana, dan belanja dan...........Pada pokoknya kalau persoalan uang, sudahlah. Pensiun mereka berdua saja, lebih banyak dan lebih tinggi daripada gaji kami empat orang di resto Indonesia. Ini baru pensiunnya saja! Ketika mereka dua-duanya masih aktive bekerja sebagai salarier, jumlah gajinya hampir 40.000 Ff. Mana ada orang Indonesia yang berjenis kami, punya gaji begitu tinggi!

Maka yang kuceritakan tadi, soal ada-ada saja kekurangan dan kelebihannya bagi diri orang per orang manusia, kita ini. Mereka begitu lapang hidupnya dalam soal uang. Tetapi tidak punya anak, tidak punya turunan, dan tampak juga kesepian mereka. Mereka selalu tilpun kepada cucunya, Laura ini. Tahun lalu mereka minta benar kepada orangtua Laura dan aku, kakeknya, bahwa mereka ingin liburan musimpanas bersama Laura. Mereka ingin bertiga saja sepanjang liburan itu.

Seperti kukatakan tadi, kalau sudah Mamie-Papie minta Laura, tak pernah sekalipun kami tolak, dan tak mampu kami menolaknya. Karena mereka benar-benar dan sungguh-sungguh mencintai dan menyayangi "cucu satu-satunya" ini. Dan Laura sendiri tahu benar, merasakan sungguh, kedua Papie-Mamie-nya itu sangat mencintai dan menyayanginya. Mereka sudah 4 tahun ini tinggal di Chamonix, sebelah selatan-tenggara Perancis, di bagian pegunungan Mount Blanc, tempat peristirahatan musimdingin, bersalju abadi di sepanjang pegunungannya. Chamonix boleh dikatakan berbatasan dengan Italia dan dekat dengan Swiss.

Bagaimana lalu persoalan ini? Mereka di Chamonix, begitu jauh dari Paris, apalagi dari Holland. Keluarga Nita-Bregas, Laura-Berry sudah tiga tahun ini tinggal di Holland. Dari Chamonix ke Paris, lebih jauh daripada Paris - Amsterdam. Papie-Mamie tak kurang akal. "Kirimkan Laura dengan pesawatterbang ke Jenewa, nanti kami jemput. Bermobil dari tempat kami ke Jenewa hanya 50 menit. Pesankan kepada pramugarinya agar tolong sertai Laura, dan kami sudah kontak dengan KLM", kata Papie dan Mamie dalam tilpunnya ke Almere - Holland. Dan pesannya agar Laura siap-siap diajak ke Italia barangkan satu minggu.

Menyaksikan hal-hal begini, kembali aku berpikir dan merenung lagi. Ada-ada saja kekurangan dan kelebihan manusia seperti kita semua ini. Laura itu tidak tahu dan samasekali tidak ingat bagaimana rupa bapaknya! Itulah sebabnya aku sangat menyayangi Laura. Karena dia itu tidak pernah mengenal bapaknya sendiri. Bapaknya itu adalah orang Portugis, namanya Umberto Marques. Itulah sebabnya Laura mengunakan nama Laura MARQUES. Tapi diam-diam dia selalu menulis Laura Marques SOBRON. Pernah kukatakan padanya, itu tidak boleh. Bagaimanapun kamu harus menyertakan nama asal keturunan bapakmu. Bahwa kamu tidak suka kepada bapakmu, itu soal lain.

Sejak Laura berumur dua tahun, bapak Laura sudah meninggalkan keluarganya, Nita dan Laura, pergi entah ke mana. Dan tak ada kabar beritanya, tidak pula menulis surat, apalagi memberi bantuan buat anaknya. Ketika anaknya sakit selama 3 minggu di rumahsakit, karena penyakit "kawasaki", sekalipun tak pernah Umberto melihat anaknya ini. Tetapi dia selalu dikelilingi kami bertiga, ibunya, tantenya dan kakeknya. Semua ini Laura mengetahuinya, dan tanpa diceritakan-pun dia tahu siapa bapaknya itu. Samasekali tidak ada tanggungjawabnya. Malah akulah yang selalu bertanya dan mengajukan pendapat, apakah dia ingin bertemu bapaknya? Dia menjawab angat tegas, tidak ingin. Katanya lagi, bukan saya yang mau bertemu, mestinya dia seharusnya mencari saya. Tidak pernah sekalipun dia mau membezoek saya ketika saya sakit, hanya mama, kakek dan tante Wita,- demikian kata Laura. Namun seperti renungan dan pikiranku tadi, Laura katakanlah tak punya bapak, tetapi begitu banyak orang lain yang menyayanginya. Yang sudah pasti dia punya mama yang sangat mencintai dan menyayanginya, lalu kekeknya, tantenya, Papie-Mamie-nya, bapaknya Bregas, dan Opa - Omanya, ibu-bapak Bregas, semua menyayanginya.

Dan ketika Papie-Mamie tahu Laura ada di Paris, mereka menilpun bahwa mereka akan segera menyusul ke Paris. Dan akan menjemputnya buat berlibur bertiga di rumahnya Chamonix. Dan juga mengatakan kepada kami, bahwa lagi-lagi Laura akan diajaknya ke Italia dan Swiss. Papie menyetir mobilya sendiri dari Chamonix. Padahal Papie ini sudah berumur 75 tahun. Dan Mamie berumur 72 tahun. Mereka memang sudah berumur tua, tetapi badannya sangat sehat, dan semangatnya sangat baik.

Papie artinya kakek, Mamie artinya nenek dalam bahasa Perancis. Tetapi dalam bahasa Belanda adalah papa dan mama biasa. Sebab dalam bahasa Belanda papie dan mamie menjadi Opa dan Oma. Papie Alberto dan Mamie Violetta, cukup memanjakan Laura. Kebutuhan Laura sejak dia berumur satu hari, selalu turut dipenuhinya, dan membantu memperlengkapi semua keperluan Laura. Dulu ketika kami belum tahu benar dan belum merasa dekat benar, pernah kami mau memberikan sejumlah uang buat mengimbangi pemberiannya kepada Laura yang begitu banyak telah mengeluarkan uang. Dan mereka marah dan merasa dikecilkan arti kecintaannya kepada Laura dan keluarga kami. Sejak itulah kami mendiamkan saja apa saja yang mau dikerjakannya bagi keperluan dan kebutuhan Laura.

Berobat juga hati Laura yang tadinya sangat kecewa tidak bisa berlibur di Indonesia, Malaysia dan Hawai,- kini dengan Papie dan Mamienya. Dan aku sedikit merasa ringan tanggungjawabnya buat mengajak liburan ke beberapa negara itu. Sekarang bagian Papie dan Mamie-lah yang memegang tanggungjawab liburan Laura. Ya, Papie dan Mamie yang sudah lanjut umur itu, ternyata demi "satu-satunya cucunya" itu mau-maunya begitu jauh bermobil berjam-jam berdua saja, bercapek-lelah-letih hanya mau menjemput cucunya. Bagaikan rentangan rantai dan pilinan tali, kurang yang satu ada penggantinya yang lain, agar rantai dan pilinan tali itu utuh dan bersambung tanpa tampak. Pertemuan antar manusia, kecintaan dan rasa manusiawi, kehangatan persaudaraan dan kekeluargaan, selalu saja ada. Walaupun kami dulu selalu saja tidak diterima di tanahair sendiri, di kampunghalaman sendiri, selalu saja mendapat tampikan, rasa ketidaksenangan, selalu menghindar karena takut, kuatir ataupun benci, namun tidak akan selalu selamanya begitu, bukan?

Paris 5 Agustus 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.