Bab 140 :
Sedikit Pengalaman Mengajar Bahasa Indonesia

Pengalaman mengajar bahasa Indonesia buat para pelajar berbagai tingkat sekolah akan berbeda dan kesulitannya juga berbeda, selukbeluknyapun berbeda. Termasuk mengajar bahasa Indonesia buat pelajar yang lahir dan hidupnya di Indonesia, juga berbeda dengan mengajar bahasa Indonesia buat pelajar Indonesia yang lahir dan hidupnya di luarnegeri. Juga berlainan dengan pengalaman mengajari orang-orang atau pelajar Indonesia sendiri dengan orang asing yang belajar bahasa Indonesia.

Saya pernah bertugas mengajar bahasa Indonesia buat pelajar asing yang mempelajari bahasa Indonesia. Tingkatnya adalah perguruan tinggi, universitas. Dan juga pernah mengajar bahasa Indonesia buat anak-anak Indonesia yang lahir dan hidup di luarnegeri. Tingkatnya Sekolah Dasar.

Karena anak-anak ini lahir dan hidupnya di luarnegeri ( di Tiongkok ) sedangkan pergaulan sekitarnya, terutama di rumahnya di mana orangtuanya berbahasa Indonesia, maka punya sedikit pengenalan tentang Indonesia dan sedikit bahasa Indonesia. Tetapi sekolah aslinya adalah berbahasa Tionghoa, sehingga mereka merasa mempelajari bahasa Indonesia itu adalah belajar bahasa asing. Di antara mereka saling bertanya, apakah sore ini ada pelajaran bahasa asing? Maksudnya bahasa Indonesia.

Dan ketika anak-anak itu pada pindah ke Eropa, dan suatu waktu mereka bertemu dengan teman-teman sebayanya di Belanda misalnya atau di Jerman, mereka berusaha untuk bisa berbahasa Indonesia. Tetapi sudah banyak lupa atau sangat sulit mengingatnya.

Suatu ketika ada dua orang anak remaja bertemu di Belanda, dan saling mengucapkan kata selamat, tetapi lupa selamat apa, dan istilahnya apa, tetapi tahu apa maksudnya. Sambil bersalaman yang satu mengucapkan "Selamat Hari Raya....... Ibu Kartini ya",- Yang lainnya tertawa, tapi juga tahu bahwa ucapan temannya ini salah, tapi dia juga tidak ingat. "Oya, selamat Hari Raya Abdul Fitri",-

"Ahk, salah, juga saya lupa, apa ya, betul-betul lupa saya", kata temannya.

Dan untunglah ada seorang Oomnya yang sedari tadi memperhatikan kedua sahabat itu yang baru bertemu kali ini sesudah bertahun-tahun tidak bertemu.

"Yang kalian maksudkan tentulah Selamat Hari Raya Idulfitri, betul tidak?",-"O ya Oom, saya betul-betul sudah lupa", katanya. Dan mereka saling tertawa merasa lucu. Sungguh sangat sulit mengucapkan kata dan kalimat itu.

Satu hal sebagai kekurangan umum dan kekeliruan umum, selalu saja terbalik menggunakan kata-kata. Lalu menggunakan persamaan bunyi, merasa atau mendengarnya ada kesamaan bunyinya, ada kemiripannya, tetapi tidak tepat seperti yang diucapkan.

Anak saya ketika berumur 5 dan 6 tahun, selalu mengatakan hari itu dia tidak masuk sekolah, karena sakit kelapa ( padahal maksudnya kepala ). Lalu suatu waktu suaranya sangat serak, sulit bicara. Seorang Oomnya menanyakan mengapa dia sangat sulit bersuara dan berkata.

"Saya sakit anggoro, Oom".

Di tempat kami ada seorang Oom yang namanya Anggoro, dia mantan wartawan Olahraga yang sangat trampil dalam menulis. Oom ini sering datang ke rumah kami dan rupanya nama ini yanga ada dalam kepalanya. Padahal maksudnya sakit tenggorokan, persamaan bunyi nggoro, tenggorokan dan anggoro, bukankah berdekatan?

Lalu anak saya yang lain, sangat sulit makan, selalu saja menutupi mulutnya dengan tangan. Seorang Oom lainnya menanyakan.

"Kenapa kau Nita? Sakit apa?".

"Saya sakit ambeien Oom".

Mendengar kata ini Oom itu tertawa, dia tahu maksudnya kira-kira apa.

"Bukannya sakit seriawan, Nit?"

"O betul. Ambeien dong di pantat ya, seriawan di mulut", katayanya sambil memperbaiki kesalahannya. Nita inilah yang sering ditertawakan banyak Oomnya, karena banyak terbalik menggunakan istilah bahasa Indonesia.

"Kenapa berjalan agak pincang Nit?".

"Sepatu saya borek Oom", katanya. Oom itu lalu membenarkan apa maksudnya, bahwa sepatunya robek.

Hal-hal tebalik begini, bukan saja orang Indonesia dan anak Indonesia yang lahir dan besar di luarnegeri. Murid saya di sebuah universitas di Beijing saja, masih sering terbalik dalam menggunakan istilah bahasa. Suatu waktu dia bercerita, bagaimana kaum tani yang sedang bekerja di sawah, tetapi tak sempat pulang makan siang ke rumahnya. "Lalu merekapun bersiap untuk makan kabel yang memang sudah disiapkan sejak dari rumah". Saya mau tertawa, tapi karena saya gurunya, artinya saya menterwakan diri sendiri.

"Feng-huang, ingat kabel itu adalah jenis kawat. Sedangkan yang kamu maksudkan bukankah bekal? Ingat Feng-huang, yang satu bekal, yang satu itu kabel, sangat lain artinya.

"O ya Pak, saya lupa",-

Seorang siswa angkatan terakhir masih terbalik menggunakan kata-kata bahwa

"Ketika di pasar, ibu itu banyak membeli berjenis ikan dan daging, di antaranya adalah daging cacing",-

"Apa ada jualan daging cacing di Pasar Sitan itu, dan dijual pula di sana?", kata saya.

"Itu Pak, daging yang sudah dijadikan halus-halus itu". "O, maksudmu tentulah daging cincang kan?"

"Betul Pak, saya lupa kata-katanya",-

Tetapi penyakit terbalik menggunakan kata-kata ini bukan hanya mereka orang asing ataupun anak-anak kita yang lahir dan besarnya di luarnegeri. Kita-pun dan kami-pun demikian. Saya sendiri ketika di toko serba-ada berbahasa Tionghoa mau membeli sesuatu dengan mengatakan "wo yao mau ganbing", ternyata artinya saya mau beli orangsakit, ganbing artinya melihat orang sakit. Sedangkan yang saya maksudkan adalah mau beli binggan, binggan artinya biskuit! Petugas tokonya hanya senyum-senyum saja, dia tahu ini orang asing tidak bisa berbahasa Tionghoa, baru datang barangkali! Isteri saya, ketika kami baru datang di Tiongkok pada awal 1964, sudah berani berbahasa Tionghoa meskipun banyak salahnya. Suatu waktu dia sakit karena persoalan menyusui bayi ( Nita ). Lalu datang dokter, mau memeriksa, dia katakan "Wo de niuney hen deng", maksudnya susu ( buah dada ) saya sakit sekali. Padahal arti niuney itu adalah susu-sapi, niu=sapi ney=susu. Tetapi dokter tahu maksudnya. Karena perbendaharaan, istilah bahasa Tionghoanya belum banyak yang dia tahu.

Sampai baru-baru ini, artinya tahun 2000 ini, anak saya yang pertama Wita menanyakan kepada adiknya Nita. Ketika mereka di kleine tuin di rumahnya, sebuah kebun kecil.

"Nit, mana yang kaubilang kau punya tanaman jangkrik dulu itu. Bunga jangkrik itu bagus lho, dan katanya sangat mahal",-

Nita keheranan, dan lama terdiam. Barulah dia ingat bahwa dia memang pernah cerita menanam,

"Oo, begok kamu akh, sampai bingung saya. Kamu maksudkan bunga anggrek kan? Jauh amat antara jangkrik dan anggrek!",-

Dan mereka saling tertawa.

Teringatlah saya pada teman saya sama-sama guru bahasa Indonesia di Beijing. Teman saya ini membawa anaknya yang berumur 5 tahun ke sebuah puskemas di kompleks kediaman kami. Disertai seorang muridnya yang baru belajar menjadi penterjemah. Anaknya sakit agak parah, badannya panas sampai 40 C,-

Dokter memeriksanya dengan teliti. Mereka menunggu hasilnya. Sang Bapak tentu saja sangat gelisah, anak begitu panas badannya, nafasnya sudah terengah-engah. Setelah selesai, dengan kurang sabar sang Bapak bertanya.

"Apa rupanya sakitnya? Apa kata dokter?"

"Anu Pak, dia sakit pura-pura".

"Apa? Sakit pura-pura sudah panas 40C dan sudah begitu parah masih juga pura-pura?!".

"Itu Pak, yang ada di dada itu, yang buat bernafas itu!"

"Akh, kamu, jadi sakit paru-paru. Mengapa paru-parunya?"

"Ada sedikit radang paru-paru, Pak".

Ya, tentu saja sang Bapak hampir saja marah besar, anaknya sakit parah dikatakan sakit pura-pura, padahal radang paru-paru! Berbagai pengalaman kami mengajar, lucu, asyik dan bagaimanapun menyenangkan karena banyak pengalaman yang tak terduga, tetapi terkenangkan sungguh lama,-

Paris 4 Agustus 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.