Bab 139 :
Pengalaman Pertama Magang

Liburan musimpanas ini agak kacau kami mengaturnya, karena ada hal-hal yang salah rencana, dan secara tiba-tiba berubah. Sehingga yang tadinya sudah direncanakan akan ke tempat A, lalu tak jadi. Laura sudah mulai libur sejak akhir Juni sampai dengan awal September. Sebagaimana kami, juga kebiasaan umum di mana-mana, kami menggunakan dan merencanakan liburan musimpanas jauh sebelumnya. Tetapi karena rencana itu salah dan meleset, maka beginilah jadinya.

Dan karena itu harus disusun-ulang, tentu saja ke tempat lain. Laura punya pendapat yang mungkin agak aneh dan tersendiri. Dia hanya mau ke Asia, kalaupun tak dapat ke sana, dia mau ke Hawai. Lalu kami mendatangi beberapa agence de voyage di Almere. Kami merencanakan berlibur ikut grup, bersama-sama, ke Sumatra, sampai Lombok. Atau yang jurusan ada Kalimantannya. Saya belum pernah ke Tanah Minang, Minangkabau dan Kalimantan. Dan kami mencari jurusan yang menempuh dua tempat itu.

Agence de voyage D-Reizend yang besar di Holland, saya tidak suka. Sebab mereka tidak mau menerima kartu-kredit internasional, hanya mau lokal Belanda saja. Jadi kita harus bayar dengan uang likid, dan itu artinya harus tukar uang dulu, dengan gulden-florin. Ini harus potong pajak dan emisi. Mula pertama saja kita sudah rugi! Jadi agence de voyage itu, saya tinggalkan. Lalu ke Globe. Tak ada tempat, semua penuh dan habis. Lalu ke The Start. Juga seluruh perjalanan yang ke Indonesia dan Malaysia, tak ada tempat buat seluruh bulan Juli dan Agustus. Sedangkan kami ketika itu mulai mencarinya pada awal Juli. Orang dan petugas agence de voyage itu mengatakan bahwa biasanya orang-orang booking dua tiga bulan sebelumnya. Sangat kecil kemungkinannya akan dapat tempat. Semua tempat habis.

Lalu Laura putar haluan, bagaimana kalau ke Hawai saja. Dan lagi-lagi kami mencari tempat atau tiket yang ke Hawai. Juga habis buat seluruh bulan musimliburan ini. Dan Laura akhirnya,- "Sudahlah, kalau begitu saya mau ke Paris saja dengan kakek. Dan saya mau bekerja di resto Indonesia, sambil belajar kerja, stage, menjadi stagieur", ucapannya ini dihadapkan kepada kedua orangtuanya. Itu terjadi pada Kemis malam. Dan pada Jumat pagi-pagi, Bregas-Nita setuju akan mengantarkan Laura, dengan seisi keluarga buat ke Paris. Maka sesudah kedua orangtuanya pulang kerja, sore itu, menjelang malam kami berangkat ke Paris dengan mobil, lengkap lima orang. Bregas - Nita, Laura, Berry dan saya. Dan saya segera menghubungi teman-teman yang mengatur pekerjaan di resto.

Dulu sebelum keluarga Nita-Bregas pindah ke Holland, mereka berdua juga pernah bekerja di resto kami. Laura sebenarnya tidak asing dengan pekejaan resto, sebab sering melihat orangtuanya dan kakeknya bekerja di sana. Dan dia sering juga menolong mengangkat piring-mangkuk-gelas-cangkir dari meja pelanggan membawanya ke dapur. Semua ini dilakukannya dengan sukarela dan dengan semangat mau kerja. Ketika itu umurnya antara 5 - 6 tahun. Jadi kira-kira sekarang ini sesudah umur 14 tahun tentu saja seharusnya bertambah baik. Tetapi memang ada kendala lain. Kami mau mempekerjakannya, tetapi justru karena umurnya masih jauh di bawah batasan usia-kerja yang seharusnya, 17 tahun, maka tidak bisa kami pasang begitu saja sebagai pegawai. Sebab hal ini menyalahi peraturan kerja dan undang-undang. Karenanya dia kami pasang sebagai sukarelawan, bantu-bantu saja.

Dan begitulah dia bekerja kalau jam-kerja saya ada dipasang. Jadi dia bekerja tanpa dipasang susunan kepegawaiannya. Tetapi pekerjaannya ya sama saja, hanya sebagai pegawai magang, stage, tentu saja banyak hal-hal yang dia belum tahu, dan belum trampil. Ini normal, dan sangat wajar. Apalagi selama tiga tahun ini dia hidup di Holland dengan tatacara sana, dan tidak berada dalam masarakat Indonesia sebagaimana kami hidup berkomunite di resto. Tadinya saya meragukan, jangan-jangan nanti Luara akan banyak diomeli, dimarahi Oom-Oom dan tante-tante lainnya, bahkan bisa-bisa dibentak karena banyak salah kerja. Apalagi suasana dapur yang sangat sibuk, dan berhawa panas api-dapur itu, adalah suatu tempat yang paling sensetif. Yang mudah marah, mudah dan gampang naik-darah, gampang membentak dan paling tidak ya ngomel dan menggerundel.

Tetapi ternyata tidak, bahkan jauh dari persangkaan saya. Semua Oom dan Tantenya itulah yang justru lebih banyak ngomong, cerita sambil tanya ini itu mengenai kehidupannya selama tiga tahun di Belanda itu. Mereka sangat senang mendengar Laura bercerita mengenai keadaan di Belanda, dan lebih-lebih senang karena mendengarkan bahasa Indonesianya yang bagus tetapi bergaya ke Eropaan, antara Belanda dan Perancis. Terusterang saya katakan, sangat banyak anak-anak di Belanda yang sebaya Laura dan Berry, tetapi sedikitpun tak mengerti bahasa Indonesia. Padahal lingkungan keluarganya adalah Indonesia dengan budaya dan adat yang kental Indonesia, bahkan Jawa!

Saya selalu bekerja di bar, atau mondar-mandir antara bar-dapur. Bekerja di bar harus banyak mengawasi secara keseluruhan, dan mengurus keuangan, dan permintaan minum, termasuk kopi dan teh.

"Laura, antarkan dua kopi ini ke meja A 2. Ingat yang satu ini adalah deca, decafein. Deca selalu sendoknya di atas permukaan mulut cangkir, dan kopi biasa, cafe sendoknya selalu di atas tatakan piringnya. Jangan sampai salah. Nanti orang tidak bisa tidur kalau dia minum cafe, yang padahal dia mau deca,"-
"Okey, kakek, saya bisa", katanya.
"Laura, kau antarkan cafe au lait ini ke meja bawah, C 8, dan dua mangkuk kolak ini ke meja C 2, hati-hati jangan jatuh dan jangan salah meja", kata saya. Dan Laura akan selalu menjawab :
"Okey kakek, je fait, saya bisa", katanya dengan cekatan.
"Kakek, bagaimana membuat tapai au sorbet?",-
"Begini, kau ambil satu sendok tapai hitam, lalu satu sendok tapai putih. Lalu di atasnya pakai es-krim-kelapa, au coco, lalu disirami dengan saus kolak pisang satu sendok, lalu dengan santan satu sendok makan",-
"Wah, kalau begitu enak benar dong, kek",-
"Sudahlah, kerjakan cepat, kalau mau mencobanya, nanti kalau semua pelanggan sudah pulang", kata saya.

Malam itu sebenarnya baru malam Kemis, atau Rabu malam. tetapi pelanggannya begitu banyak. Sampai ke ruang bawah, lantai-bawah. Sangat jarang pelanggan begitu banyak kalau hari-hari biasa, bukannya week-end. Sekira 50 orang lebih dengan tenaga kerja-utuh, tiga orang di sal, dan dua orang di dapur. Kalau malam week-end, Jumat malam atau Sabtu malam, pelanggan sebanyak 50 orang termasuk sedikit, biasanya antara 60 sampai 80 orang. Bahkan pernah lebih dari 100 orang. Tetapi tenaga kerja juga bertambah dua orang lagi.

Malam ini memang cukup banyak pelanggan kami yang agak tidak begitu smooth komunikasinya dengan kami. Hal-hal begini bisa terjadi, tetapi sangat jarang. Mungkin memang ada kesalahan dipihak kami, dan bukannya tidak mungkin memang ada pelanggan yang agak nakal.

"Kakek, dari meja A 3, dia tidak mau bayar sebegini banyak katanya, coba kakek datangi".
Dan saya datang ke meja A3.
"Saya tidak merasa memesan sate-ayam, Tuan. Jadi saya tidak mau bayar yang tidak saya pesan", katanya. Dan saya melihat catatan fich-nya, ada sate-ayam. Dan saya mengurusnya ke dapur, di fich dapur juga sama dengan fich bar. Dan saya datang lagi ke meja A 3.

"Tuan, menurut catatan kami, Tuan memang pesan sate ayam. Dan sate ayam yang kata Tuan, tidak Tuan pesan itu, sudah tuan makan habis. Seharusnya kalau Tuan tidak merasa memesannya, Tuan kembalikan, atau Tuan tanyakan kepada petugas service, bahwa Tuan tidak memesan makanan itu. Dan ini Tuan sudah habiskan sate yang kata Tuan tidak Tuan pesan itu. Jadi seharusnya Tuan bayar apa yang sudah Tuan makan", kata saya dengan kata agak pelan tapi tegas.
Pelanggan itu tetap berkeras tidak mau bayar. Dan kami tidak mau bertengkar. Apalagi ketika itu banyak pelanggan, sibuk.
"Okey, karena Tuan tidak mau bayar, padahal Tuan sudah makan sate ayam yang tidak Tuan pesan itu, saya potong seharga sate ayem. Tetapi agar Tuan tahu, lain kali kalau ada makanan yang tidak Tuan pesan, jangan Tuan makan, kembalikan, atau tanyakan kepada petugas service. Sebenarnya peraturan ini sangat strik, di resto manapun akan berlaku peraturan ini. Agar Tuan tahu hal itu.", kata saya.
Dan pelanggan sejumlah tiga orang itu, diam-diam meninggalkan ruangan, tanpa pamitan. Mereka anak-anak setengah baya. Dari wajah sangarnya sudah agak tampak, sulit bisa dikatakan jujur dan baik.

"Laura, bikin kolak secepatnya. Kita kekurangan dessert kolak. Lalu kalau sudah, tutupi dengan kertas gerenjeng".
"Apa itu kertas gerenjang, kek?".
"Ah, apa itu. Nah, kertas almunium!".
"Bahasa apa itu gerenjeng?".
"Bahasa Jawa".
"Kakek jangan bahasa Jawa dengan saya. Saya tidak ngerti!", katanya.
"Sudahlah, cepat sana, kerjakan", kata saya segera menyuruhnya cepat.
"N'importe quoi, kakek", katanya masih sempat membalas. Sembarangan ngomong kakek.

Lalu sesudah pelanggan agak mereda, menjelang jam 23.°°, beberapa Oom dan tantenya, menyuruh Laura makan lagi sebelum pulang. Dan Laura makannya, biasa, selalu lahap, selalu nasi goreng dengan citron yang asamnya bukan main itu. Itulah kesukaannya. Malam itu kulihat dia cukup lelah, sebab turun-naik ke lantai bawah dan lantai satu dengan membawa makanan yang tidak ringan. Tetapi karena dia anak muda, beberapa menit saja sudah pulih dan merasa segar lagi, dan tak terlihat tanda kelelahannya.

Para Oom dan Tantenya masih mau banyak cerita dan tanya ini itu lagi, karena sangat suka mendengar tutur-kata Laura dalam bahasa Indonesia yang kedengarannya bukan dari mulut anak Indonesia yang tinggal dan hidup di Indonesia, saya sudah mengajaknya pulang. Takut ketinggalan bis terakhir dari stasiun ke rumah kami di Bois de Cadet. Betapa senangnya Laura bisa ikut bekerja di resto, bercakap-cakap dengan para Oom dan Tantenya, dan pelanggan lainnya, buat mengembalikan kemahiran berbahasa Perancis lagi. Sebab selama tiga tahun ini dia diharuskan berbahasa Belanda karena keadaan kehidupannya di sekolah dan beberapa organisasi olahraga bela dirinya dan musiknya,-

Paris 3 Agustus 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.