Bab 137 :
Perjuangan Anak-Anak Pinggiran

Selama kekuasaan orba-abri-golkar- Suharto, betapa banyaknya anak-anak orang-orang yang dianggap PKI dan kaum kiri, yang tidak bisa menjadi orang normal. Tidak bisa bersekolah, tidak bisa mencari pekerjaan, tidak bisa hidup dengan aman dan tenteram. Selalu saja ada gangguan, ancaman, hinaan, pelecehan dan semua hal-hal yang samasekali tidak manusiawi. Dan ini berlangsung sampai puluhan tahun.

Anak-anak yang ketika itu baru saja lepas dari umur balita, begitu mau sekolah, sudah disambut oleh teman-temannya dengan berupa hinaan dan cercaan. Tentu saja semua ini akibat pendidikan secara umum, baik memang dari sekolahnya maupun dari lingkungan keluarganya. Sesama anak-anak yang boleh dikatakan masih bersih itu, bagaikan kertas putih yang belum banyak atau belum ada coretannya, anak-anak pinggiran ini mengalamai hinaan dan cercaan, bahkan lebih dari itu.

"Hei, hei, anak pki tidak boleh sekolah di sini hei, hei, orang pki pemberontak, pembunuh manusiawi anak-anak pki, pki, pki, harus pergi dari sini!", dan berjenis "nyanyian dan sorakan serta ejekan" lainnya. Tentu saja anak-anak pinggiran ini sangat malu dan lebih dari itu merasa sangat sakit hati. Dan mereka lalu menjadi tidak suka lagi bersekolah di tempat itu, dan orangtuanya atau walinya berusaha agar anak-anaknya tetap bisa bersekolah. Tetapi pindah ke tempat lain. Atau ditumpangkan ke tempat lain, atau bisa juga dikatakan ngenger ikut keluarga lainnya. Menangis atau berlawan secara berkelahi, ada juga pengalaman begini. Tetapi situasi umum ketika itu, selalu berpihak kepada yang berkuasa, anak-anak "resmi orang normal" itu. Tentu saja kesalahan pokok bukan pada anak-anak itu. Tetapi situasi ketika itu sangat memusuhi orang-orang pki dan kaum kiri keseluruhannya.

Orang-orang pki dan kaum kiri secara umum, berserta kaum keluarganya sangat mengalami siksaan, ancaman, serta hinaan. Harus melapor setiap minggu, atau setiap bulan, atau secara berkala lainnya, sesuka hati para penguasa militer mengaturnya, bagaimana mereka punya mau. Dan tidak jarang banyak keluarga yang diperas. Misalnya rumahnya akan segera digusur bila tak bisa damai dengan cara lain, atau ketika mau membuat KTP, atau pindah yang memerlukan surat-keterangan, maka faktor uang, sogokan, menjadi faktor pokok. Atau ketika diadakan transaksi penjualan rumah, tanah atau apa saja, maka orang ketiga yang selalu akan muncul, akan memeras orang-orang pinggiran ini. Orang-orang pinggiran beserta keluarganya, adalah sasasaran yang paling empuk buat diperas, buat dijadikan umpan, korban, dan kelinci-percobaan.

Terkadang tak sedikit dan tak jarang secara tiba-tiba keluarga orang ini didatangi begitu saja buat dimintai uang, barang bahkan bisa saja mau "melamar" anak gadisnya atau cucunya yang ketika itu sudah beranjak dewasa. Dan kalau tidak mau dan menolak, kembali lagi ke soal pokok : uang, sogokan, uang tutup-mulut, dan uang-tutup-perkara. Sangat sulit bagi anak-anak orang pinggiran ini buat meneruskan sekolahnya atau walaupun hanya buat menamatkan sekolah dasar saja atau sekolah lanjutan saja.

Akan tetapi tidak sedikit yang juga berhasil gemilang, bahkan jauh melampuai orang-orang atau teman-teman yang berkategori normal dan wajar itu. Tidak sedikt di antara mereka, anak-anak orang pinggiran ini yang begitu berhasil dan menjadi andalan sebuah kantor, atau perusahaan, atau usaha komersial lainnya. Mereka dengan kepandaian, kepintaran dan kecerdasannya, memegang tampuk pimpinan di sebuah kantor, atau perusahaan, atau pabrik. Tetapi jauh sebelum itu, ketika dalam menuntut pelajaran dan dalam kelas sekolahnya, mereka dengan sangat ulet, dan militan, belajar dengan sangat tekun, rajin, serta selalu mendapat hasil yang gemilang. Mereka itu menjadi insinyur, dokter dan doktor, akuntan, notaris, ahli hukum, sarjana ekonomi, akhli informatic, akhli komunikasi internasional, dan professor sesuatu disiplin ilmu. Bagaimana ceritanya bisa demikian?

Jalan berliku-liku. Tidak sedikit di antara mereka yang harus menanggalkan indentitas resminya, harus menyembunyikan kenyataan sesungguhnya demi buat bisa terus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak demikian, alamat sekolahnya akan macet, akan gagal, karena dihina, bahkan bisa diusir dengan berbagai cara. Ada yang mengubah namanya, ada yang ikut keluarga jauhnya bahkan bisa juga ikut dengan siapa saja yang menaruh simpati kepada keluarga mereka. Dan orang-orang baik semacam ini ternyata masih tetap ada. Dan Tuhan masih tetap menyediakan tempat bagi mereka yang benar-benar ulet, gigih dan militan.

"Yah Oom kan tahu sendiri, ketika masa-masa itu, semua kami yang dicap keluarga pki dan orang-orang kiri ini, tidak punya tempat buat bersekolah, buat mencari pekerjaan, bahkan buat hidup normal seperti orang-orang lain itu", kata Zulkarnain, seorang akhli pertambangan yang bekerja di sebuah perusahaan Amerika, dan yang mendapat kedudukan sangat baik.

"Ketika itu kami berlawan, berlawan secara diam. Tetapi bukan diam passive. Kami berlawan dengan belajar secara sungguh-sungguh. Kami harus punya tekad menyelesaikan pelajaran sebaik-baiknya. Mendapatkan hasil semaksimal mungkin. Dan buat semua itu hanya satu modalnya, kemauan-keras, keuletan. Kami ingin menunjukkan juga bahwa kami bisa sebagaimana mereka yang dulu menghina dan mencerca kami juga sama bisanya. Bahkan mereka yang dulu pernah menghina, dan mengejek kami, banyak juga yang tertinggal di belakang kami, bahkan tak sedikit yang gagal. Tapi kami samasekali tidak memusuhi mereka. Semua ini ada sebab pokok lainnya. Sedangkan mereka yang melecehkan kami dulu itu, hanyalah sebagai akibat pendidikan dan politik penguasa secara keseluruhan. Ya, begitulah Oom. Semua kami yang berhasil ini, adalah hasil perjuangan yang cukup susahpayah, menghendaki ketabahan. Bahkan di antara kami dalam tahun-tahun belakangan ini bukannya samasekali sudah tak ada lagi rasa kecemasan itu. Bisa saja sewaktu-waktu tergencet, terusir, ter-phk-kan, dan lagi-lagi terpinggirkan", kata Zulkarnain, anak teman akrab saya dulu itu.

Dan sesudah itu ada dua tiga orang lagi saya temui anak-anak yang dulu berada dalam status pinggiran, kini memegang posisi yang sangat baik sebagai manager sesuatu pabrik dan perusahaan. Dan betapa saya gembira dan senangnya hati. Anak-anak pinggiran ini, ternyata perjuangannya tidak berbunyi, dan mereka tidak menyanyi, tetapi sukses sangat membanggakan hati. Cara mereka berjuang agak berlainan dengan orangtuanya dulu. Dan itupun mungkin karena situasinya juga berlainan. Tapi bagaimanapun rezim repressive Suharto ini telah melahirkan suatu angkatan baru, suatu angkatan yang berjuang secara diam-diam, tidak berbunyi dan tidak bernyanyi, tetapi dengan belajar setekun-tekunnya, sebaik-baiknya. Dan mereka ternyata berhasil baik buat menyamakan diri dengan teman-teman dan orang-orang normal lainnya. Dan rezim Suharto ternyata "masih menyisakan" kaum pinggiran ini buat menjadi orang normal kembali, buat menjadi orang dan yang diorangkan, berkat semua hasil perjuangannya sendiri,-

Paris 1 Agustus 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.