Bab 131 :
Snapshot Ultah 50 Mas POPO- Bagian Satu -

Sebenarnya menurut undangan, acaranya dimulai pada jam 17.00. Tetapi kami datangnya jauh lebih cepat dari jam yang ditentukan. Karena Nita mau membantu mbak Ita berbenah, berkemas dan masak-masak kalau ada yang belum selesai. Aku sendiri tidak begitu kena l dengan keluarga ini. Tetapi sudah mengenal melalui Nita, dan sudah pernah satu kali bertemu. Mas Popo berumur setengah abad, anaknya ada tiga. Satu laki-laki yang tertua dan ada dua adiknya semua wanita berumur 8 dan 10 tahun. Karena pesta ini bukannya hari ulangtahun biasa, maka kukira pastilah akan ramai dan meriah.

Ketika kami datang sudah ada sepasang tamu. Dan wanitanya yang setengah baya lalu segera menyeru : "Nah, datang juga orang Paris rupanya. Ini tanda baik nih", katanya. Dan kami saling senyum sambil bersalaman. Dan kami saling menyebutkan nama, tetapi tidak begitu terdengar nyata siapa namanya. Dan aku sendiri tidak tahu siapa wanita yang ramah itu. Jug a tak jelas nama yang disebutkan suaminya tadi. Tapi pada akhirnya aku tahu juga siapa mereka. Dari percakapan yang lancar, lalu pada akhirnya nyerempet keadaan masa kini, maka terbukalah tabir yang tadinya cukup sulit untuk terkuak.

"Ya Oom, bayangkanm saja, ayah saya yang tidak kurang lebih tiga kali jadi menteri, pensiunnya tak sampai 100.000 rupiah. Sedikitpun tak ada penghargaan dari pemerintah Orba ini. Mengapa? Karena ayah saya jelas pengikut Bung Karno. Dan pemerintah Orba sam asekali tidak menghargai orang-orang yang dekat dengan Bung Karno. Padahal seluruh jajaran Orba ini paling nomor satu perkara korupsinya. Sampai sekarang, yang walaupun katanya si babe sudah lengser keprabon", katanya dengan sedikit dan tipis dialek Batak . Kepalanya licin mengkilat, dan kumisnya tipis putih. Wajahnyapun agak putih. Dan ketika kutanyakan terang-terangan siapa dia ini barulah aku tahu dan membenarkan apa yang diceritakannya. Sebab akhirnya akupun mengenal keluarganya.

Ibunya dari Manado, dan ayahnya dari Batak. Dan betul sudah beberapa kali jadi menteri ketika zaman Bung Karno. Nama teman baru ini adalah Beno Tobing. Tentu orang akan segera mengenal Dokter Tobing yang beberapa kali menjabat menteri ketika pemerintahan Bung Karno. Dan dokter Tobing-lah yang beberapa kali selalu menengahi perkelahian, percekcokan serta perselisihan antara suku Batak dan Manado, dan suku Aceh dengan suku Batak. Yang ini tidak diceritakan oleh Bung Beno. Dan pada akhirnya akulah yang mala h bercerita agak mencengangkan Bung Beno. Karena kebetulan ada anak wanita dokter Tobing yang selalu dan aktive bersama kami di PPI dulu itu. Dia bernama Vera yang banyak mengurusi bagian kesenian dan olahraga serta keputrian.

" Ya puji Tuhan, Vera kan kakak saya. Bagaimana kok Oom kenal dengan kakak saya itu. Waduh, waduh, tidak percuma saya bercerita panjang lebar tadi itu", katanya agak tak sabaran. 'Ma, mama sini! Dengar ini Oom yang dari Paris yang kau sebutkan tadi itu kenal sama mbak Vera lho ma", katanya lagi. "Betul-betul dunia ini tidaklah sangat besar ya Oom?!", katanya lagi. Dan kami lalu bersama ngobrol dan bercerita dengan saling bersahutan, sambung menyambung. Terkadang pada akhirnya sama-sama kenal. Dalam pada itu tamu lainnya berangsur menjadi ramai dan terus berdatangan. Tadinya kami di ruangan depan. Kini sudah banyak yang membentuk ruangan tengah. Lalu mendekati jam acara resminya, dibuka ruangan belakang. Ruangan belakang menembus jalan belakang yang menuju sebuah gang kecil tanpa nama. Bentuk perumahan di Holland, karena rapatnya, lalu terjadilah ada sebuah gang yan g terbentuk karena dua lapis perumahan yang saling membelakang, sehingga membentuk atau merupakan gang tanpa nama. Besarnya kira-kira antara satu setengah meter sampai dua meter, tapi memanjang jauh. Nah, pada gang inilah para tamu mengeluarkan kursi-kurs i buat berdudukan sambil makan sate, lempar, kroket, dan nasi dengan lauk pauk yang sangat menggiurkan. Sebab mbak Ita isteri Mas Popo terkenal pandai masak, dan kata kami, tentu saja orang Padang sih, dari Minang sih!

Asap bakaran sate menyerang kemana-mana dan baunya memancing selera. Meja makan penuh dengan segala makanan nyamian, gorengan, gulai kambing, udang balado yang pedasnya pedas-pedas lombok yang kalau dimakan tak kapok-kapok! Makanan bergaya "melayu' dan "b arat' boleh pilih. Kebanyakan tetap saja banyak memilih yang bergayu "melayu-dangdut', wajik - kue cucur - ongol-ongol, kue putu, semar-mendem. Bir harus selalu ada, juga rokok kretek Gudang Garam atau Bentul atau Wismilak. Bau ruangan sudah campur baur, dan suara kelakar ramai bagaikan pasar. Tapi itulah pesta, kalau benci ramai, tak usah datang!

Sudah tak ada tempat duduk yang pasti, sebab bisa bertukar atau bahkan bisa tak dapat tempat duduk. Dan tak ada rasa marah dan kesal. Orang-orang muda dan setengah baya sudah bercampur tak lagi memilih selera bergaul. Di gang tanpa nama itu berkumpul oran g-orang yang selalu membuat tertawa ramai, gembira dan saling ejek mengejek tapi menyenangkan semua orang, sebab lucunya. Mbak Lily isteri Mas Beno yang orang Jawa Semarang itu ternyata bukan main pandai mendagelnya. Tapi yang jadi ejekan kali ini adalah orang Ambon. Karena ada teman dekatnya yang orang Ambon. "Orang Maluku, Ambon, mula pertama ke Belanda terheran-heran karena rumah-rumah di Belanda ini terlalu rapat. Tidak seperti di Maluku dan Ambon. Kalau di Holland, katanya altijd huis - huis -huis allemal huis, en dan huis, nog huis! Tapi maar di Maluku, h uis en wachten - wachten - wachten, en dan huis en dan wachten - wachten, baru huis lagi! Begitu kita orang punya model, niet seperti Holland!", katanya menirukan dialek Malukunya, sambil melirik dan mengejek temannya si Lucy yang genitnya bukan main.

"Lalu tahu kalian kenapa ada nama burung gereja tapi tak ada nama burung mesjid? Dulunya burung-burung itu banyak hinggap dan beterbangan sekitar mesjid. Tetapi suatu kali burung-burung itu melihat suatu keadaan yang sangat mengerikan mereka. Sebab ketika itu sedang diadakan pesta massal sunatan secara umum. Burung itu pada beterbangan mencari gereja yang mereka rasa sangat aman. Kata burung gereja itu kepada temannya, coba gila nggak yang namanya manusia itu. Burung-burungan-pun mereka potong ujungnya, n ah, apalagi kita-kita ini yang benar-benar burung asli, bukan burung-burungan, habislah kita semua ini! Maka sejak itulah burung-burung yang tadinya banyak beterbangan dan hinggap di mesjid itu bernama burung gereja. Mereka sangat takut kena potong sepert i burung-burungan itu", kata mbak Lily. Semua orang pada tertawa mendengarnya.

"Tahu kalian bahwa adat masing-masing bangsa dan rakyat suatu negeri itu, berlainan, dan terkadang bertentangan dan aneh bagi yang satu. Tapi dipegang teguh buat bangsa dan rakyat tertentu yang menganutnya. Misalnya saja katanya bagi orang Ceko, terinjak tahi, tahi apa saja, tahi anjing maupun tahi orang, itu artinya sial dan sangat sial kalau terinjaknya itu siang hari! Maka pada suatu hari ada seorang Ceko yang jalannya agak sempoyongan karena sudah mulai agak mabuk. Ketika berjalan di jalanan yang agak banyak bebatuan kerikilnya, dia terjatuh terjerembab. Dan jatuhnya itu persis di setumpukan tahi anjing mengenai hidungnya. Dan ketika dilihatnya dan diamatinya secara teliti, dia berkata dengan hati yang sangat senang dan gembira, untung tidak terinjak! Tak apa hanya tercium saja!,- katanya. Dan banyak lagi cerita mbak Lily.

Pada akhirnya gang yang tanpa nama itu penuh orang dari ruangan depan dan ruangan tengah. Sedangkan orang-orang pengguna gang tanpa nama itu yang rumahnya saling berdekatan ada yang menggabung buat menumpang tertawa bersama. Dan ada teman-teman kami secar a sukarela menterjemahkan kisah-kisah lucu itu, tetapi begitu diterjemahkan, lucunya sudah berkurang sekian puluh persen. Tak lama lagi pesta ini akan memasuki upacara pemotongan kue tart besar yang menandakan setengah abad usia Mas Popo, yang entah di ru angan mana dia. Sebab kami kebanyakan berada di gang tanpa nama itu jauh di belakang.

Almere - HOLLAND 26 Juli 2000

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.