Bab 125 :
Tanjungpandan,-
lanjutan sebelumnya,- habis.-

Kini aku sendirian di hotel Melati. Laura, cucuku dibawa keluarganya dengan bermotor keliling Tanjungpandan, dan tempat-tempat pertunjukan kesenian. Mau ke mana aku? Belum ada tujuan tertentu. Tak ada seorangpun teman dan keluarga mendatangiku. Begitu kami datang ke Tanjungpandan, kota kelahiranku, kampunghalamanku, tempat seketurunanku, tak seorangpun yang berani dan rela menawariku buat menumpang menginap. Itulah sebabnya kami berdua cucuku Laura yang ketika itu berumur 10 tahun, memutuskan kita menginap di hotel saja. Pulang ke kampunghalaman, tetapi menginapnya di hotel, karena tak seorangpun berani dan mau menawari tempat bermalam. Rasanya menerima keadaan ini bukan main terasa sangat malunya, terhina dan terasa tersisihkan.

Dulu ketika tahun-tahun 1952 berturut-turut sampai tahun 1954, ketika kami para pelajar dan mahasiswa pulang berlibur bulan puasa dan lebaran, kota Tanjungpandan ini menjadi begitu hidup, ramai dan bersinar yang memancarkan suasana kekeluargaan, persaudaraan. Pertandingan sepakbola, badminton, volley, dan malam drama, tarian, nyanyian, quis, karnaval, banyak jenis pertunjukan kami adakan. Dan penduduk Tanjungpandan tidak sedikit mengatakan, kotanya ramai dan meriah apabila anak-anak pelajar dari Jawa - Sumatra dan Kalimantan pulang berlibur. Tetapi begitu mereka pulang, katanya lagi, kami merasa sepi, ada yang hilang. Dan sesudah itu kami menunggu bulan puasa dan lebaran setahun lagi,- dan begitulah seterusnya beberapa tahun berturut-turut.

Kami mengadakan pertunjukan drama Awal dan Mira, lalu tahun berikutnya Bunga Rumah Makan, dua-duanya karya Utuy Tatang Sontani. Lalu kami juga mementaskan Dosa Tak Berampun, saduran Ayahku Pulang, drama Jepang yang disadur oleh Usmar Ismail. Dan semua pertunjukan itu sangat digemari oleh penduduk kota Tanjungpandan ketika mereka menyaksikannya. Semua ini adalah hasil kerja kolektive kami beramai-ramai, dan dengan kerja keras tetapi dengan hati gembira. Selama liburan dan ada berbagai pertunjukan dan pagelaran itu, penduduk kota sangat merasa dekat dengan kami. Kami dapat bantuan yang cukup banyak dari mereka. Ada yang meminjami mobil, truk, bismini, buat kami berpropaganda, beriklan buat menyukseskan pertunjukan kami, ke berbagai kota kecil dan kampung sekitarnya. Dengan rombongan musik yang biasanya selalu mengiringi pertandingan sepakbola dan pesta pernikahan, mereka juga bersedia meminjamkan rombongan musik ini demi suksesnya pertunjukan kami.

Tanpa bantuan mereka, penduduk setempat, tidak mungkin kami akan berhasil baik. Hampir setiap malam selalu ada pesta, dengan nyanyian dan tarian di beberapa tempat pelajar itu. Baik pelajar setempat, maupun pelajar yang sedang berlibur. Orangtuanya mengadakan pesta sukuran dan kangenan buat anak-anak dan teman-teman dari anak-anaknya. Persaudaraan dan kekeluargaan secara ini, gabungan antara pelajar setempat dan pelajar yang pulang berlibur, sangat akrab, mesra secara perkawawan. Nama-nama penyanyi yang berbakat ketika itu, di manakah sekarang ini, seperti Helpria Juliana Pohan, Mala, Hasbah dan lain-lainnya?

Dan ketika kami malam-malam masih juga bekerja karena membenahi dan mengemasi gedung dan tempat pertunjukan, beberapa orang di antara kami merasa cukup lelah dan ada yang mengusulkan bagaimana kalau kita mandi di Tanjungpendam. Karena airnya sedang pasang-naik dan gelombangnya sedang baik-baik dan jinaknya, lagipula anginnya tenang dan bulannya sedang purnama. Dan kami sejumlah enam-tujuh orang, bersepeda menuju Tanjungpendam. Sudah tentu tak seorangpun yang ada di sana, karena sudah lewat jam 24.°° malam. Tetapi kesempatan ini yang justru kami cari. Kami dengan ugal-ugalan dan mungkin kurangajar, semuanya tanpa dikomando membuka pakaian seluruhnya, dan menyemplungkan diri, lalu berenang dengan telanjang bulat. Bulan sangat terangnya, cahaya keperakan, menimpa gelombang laut yang menyisir pantai dengan tenang dan lembutnya. Kami sudah berlupa, berenang, main air, main gelombang dan menikmati tumpahan cahaya bulan yang menyinar di sekitar. Pasir putih yang halus lembut, bagaikan terbang dan berloncatan bila tersentuh kaki. Pantai Tanjungpandan, bersih putih, sedap mata memandang. Begitu melihat dan begitu memandang membikin orang sulit pulang!

Lalu ketika liburanku karena menziarahi kuburan Emak dan Ayahku berdua Laura, ke sanalalah aku ingin mengenangkan keindahan dulu itu. Dan ketika Laura diajak keluarganya itulah, aku mau sendirian, duduk memandangi laut dan pantai Tanjungpendam. Kubawa sepeda pegawai hotel itu, menuju tempat yang dulu kami pernah mandi malam-malam pada telanjang bulat itu walaupun sudah berumur menjelang 18 dan 20.

Tetapi di manakah tempat itu? Sangat sulit mencarinya. Karena sudah banyak semak-semak. Sudah banyak pepohonan liar yang tak teratur. Dan pepohonan nyiur yang dulu pernah kami naiki dan bergayutan lalu terjun ke air yang tak begitu dalam itu, mana ada lagi! Lalu tempatnya itu sudah bukan main kotornya, dan semak belukar menghalangi pemandangan. Pantainya menjadi begitu kotor, berlobang, banyak sampah, bekas botol-botol plastik, dan ember, dan kertas-kertas yang hancur berserakan. Rumah yang dulu bagus-bagus sekitar Tanjungpendam, sudah pada tua, usang dan bobrok, tak ada pembaruan. Dulu jalanan yang mulus, dengan deretan rumahnya yang teratur, rapi dan sangat menarik, kini sudah hanya bekasnya saja. Reruntuhannya yang menandakan dulunya pernah ada deretan rumah di sana. Pada tahun-tahun 1947 - 48, aku sering bersepeda mengelilingi pantai dan rumah-rumah bagus itu, dan lalu berhenti kalau sedang kebetulan ada bunyi dentingan piano yang sangat menarik hati mendengarnya. Guruku Kurniati ketika itu sedang main piano, sangat indah dan merdu buyinya. Dan aku terhenyak diam mendengarkannya, sudah segan pulang. Aku menyandarkan sepedaku di pokok pohon kelapa tak jauh dari rumah guruku itu, dan mendengarkannya dengan asyik.

Dan kini sudah tak ada lagi bekasnyapun. Kemanakah semuanya ini? Kemanakah guruku Kurniati, dan adiknya yang satu kelas denganku Jaya Bakti itu? Dan pemandangan yang dulu sangat memikat, sudah tak ada lagi. Yang ada hanyalah kotoran dan sampah di sana-sini. Yang ada hanyalah semakbelukar. Tak kusedari benar, airmataku mengalir kepipiku. Aku hanya sendirian, ada baiknya, biarlah hanya aku sendiri saja yang tahu bahwa aku sangat sedih dan merasa sangat sepi dan kehilangan. Sudah bagaikan tak diperdulikan keluarga dan sahabat, ditambah lagi semua pemandangan yang dulu begitu indah dan menarik jadi hilang, kini hanyalah kebobrokannya saja yang kulihat. PPTB, Perusahaan Pertambangan Timah Belitung yang dulu begitu berjaya, kini sudah lama bangkrut. Katanya pailit, rugi dan pasaran dunia melemah. Tetapi ada yang tak dijelaskan. Korupsi di mana-mana, penipuan, akal-akalan, dan bagian inilah yang sebenarnya paling berdominasi. Penduduk dan rakyat Belitung banyak yang berusaha menjadi nelayan tradisional dan bertanam sahang, - lada -, dan berkebun lainnya. Kalau dulu lebih banyak mengandalkan pada PPTB, kini harus berusaha sendiri. Karena itu banyak yang pindah dari Belitung dan mencari kehidupan di tanah lainnya.

Dulu yang kulihat dan kurasakan, rasa kekeluargaan dan persaudaraan. Dan begitu memandang pantai Tanjungpendam dan Air Saga, kampungku,- penuh dengan keindahan, penuh rasa aman dan damai. Begitu menikmati alamnya, pantainya, pasir putihnya, mata lalu terpikat tak mau beranjak. Dan hati ini terasa damai dan senang berkepanjangan. Tetapi kini, hilanglah sudah semua itu. Hanya merupakan kenangan yang sangat menyedihkan. Dan karena aku sendirian di tepi pantai Tanjungpendam ini, biarlah kupuaskan mengenangmu semua itu,-

Paris 11 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.