Bab 124 :
Tanjungpandan

Tanjungpandan adalah ibukota kabupaten Belitung. Bangka Belitung dua buah pulau yang dulunya satu keresidenan di bawah sebuah provinsi Sumatera Selatan dengan ibukotanya Palembang. Namun demikian, walaupun sebuah kabupaten di Sumatera Selatan, kami penduduk Belitung merasa lebih dekat ke Jakarta apabila berhubungan pos maupun hal lainnya. Juga hubungan lainnya lebih mudah dan lebih lancar antara Tanjungpandan - Jakarta daripada Tanjungpandan - Palembang.

Tanjungpandan adalah kota kecil, sebenarnya kota pelabuhan. Tetapi kalau ada kapal besar yang singgah di Tanjungpandan, maka kapal itu tidak bisa merapat sampai boom, pelabuhan kotanya. Karena lautnya dangkal. Lalu pengangkutan dengan kapalmotor, dan tongkang atau motorboat biasa. Sedangkan kapalnya berlabuh jauh dari boom-nya Tanjungpandan. Tanjungpandan dan sekitarnya, apalagi dekat pantainya sangat indah. Di pinggir Tanjungpandan ada sebuah pantai yang berpasir-putih-bersih, namanya Tanjungpendam. Di depan Tanjungpendam ada sebuah pulau kecil, namanya Kelemua. Kata orang dulunya namanya Kalamoa, dari kata Kalah Semua. Karena dulunya banyak perompak, bajaklaut yang merampas isi perahu para nelayan dan pedagang. Tetapi dalam pertempuran dekat pulau kecil itu, para bajaklaut, perompak dan lanun itu semua dapat dikalahkan. Dan karena itu penduduk, nelayan, para pedagang-nelayan, selalu "mengajak" para bajaklaut dan perompak, lanun itu bertempur dan berkelahi dekat atau di pulau itu. Kata orang, sejak itulah nama pulau kecil itu menjadi Kalamoa, dan Kelemua.

Karena aku dilahirkan di pulau Belitung, dan bertempattinggal di Tanjungpandan, dengan kampungku yang namanya Pangkallalang, lalu Air Saga dan Tanjungpendam ini, maka wajarlah kalau aku mengenalnya cukup dekat. Pantai Tanjungpendam yang berpasirkan putih-bersih itu, bila airlautnya sedang pasang-naik, maka banyak sekali orang memandang dan menikmati pemandangan dipinggir-pinggir pantainya. Bagaikan ada pasarmalam, atau ada keramaian, mereka memandang kekejauhan, ke arah kapal-kapal yang jauh berlabuh. Lalu beberapa perahu nelayan yang berserakan di sepanjang dan sejauh mata memandang ke arah laut lepas. Sedangkan ombak berkilat-kilat ditimpa sinar matahari senja. Dan pepohonan kelapa meningkah indah hiasan dan gambaran hidup-alam. Ada yang tegak dengan untaian mayangnya yang penuh bergayutan buahnya, dan bunga-bunga barunya. Ada yang bagaikan menjulurkan lehernya, miring mengarah ke air laut, dan ada yang bagaikan orang berdiri yang keberatan pikulan.

Dulu pada tahun 30-an sampai 40-an, ada perangko zaman Belanda yang bergambarkan pemandangan Tanjungpandan dengan pulau Kelemua ini, harganya 5 sen dan 10 sen. Rumah-rumah sekitar Tanjungpendam itu sangat bagusnya, terpelihara, dengan rumput hijaunya yang selalu teratur, selalu dipangkas kalau sedikit saja sudah tak sedap dipandang. Pohon-beringin yang besar-besar memeluk bebatuan-besar yang bagaikan rumah, dengan akarnya merambat, dan janggut pohonnya berurai dari atas ke bawah. Sedangkan burung-burung di atasnya berpesta-pora memakani buah-buahan, dengan suaranya yang ramai dengan berbagai jenis burungnya.

Masih ingat aku, kalau sudah senja, aku bersepeda disepanjang pantai Tanjungpendam, menikmati pemandangan alam pantai yang sebentar lagi akan gelap membuka tabir malam. Dari agak kejauhan terdengar bunyi dentingan piano, dengan lagu-lagu yang sangat indahnya. Kukenali sebuah rumah yang bagus. Dari rumah inilah bunyi lagu dan nyanyian itu. Aku kenal pemainnya, yaitu guruku sendiri. Seorang wanita muda yang bernama Kurniati. Kurniati ini anaknya Guru Ilyas, seorang tokoh pemuka Belitung. Beliau dengan ayahku adalah pemuka tokoh Belitung yang bersama mendirikan perkumpulan Nurul Islam pada tahun 30-an. Nurul Islam lebih berorientasi kepada Muhammadiyah. Guru Ilyas ini adalah orang yang selalu berpedomankan Indonesia, cinta Indonesia. Semua anak-anaknya selalu dinamai dengan nama Indonesia "asli", tidak seperti kami yang lainnya, selalu saja dari kata Arab atau berbau Islam, termasuk namaku.

Anak guru Ilyas namanya selalu yang benar-benar istilah Indonesia. Seperti nama guruku itu Kurniati asal kata Kurnia Hati, kakaknya Mulyati, dari nama Mulya Hati, lalu nama adiknya yang satu kelas denganku namanya Jaya Bakti. Sayang Guru Ilyas meninggal masih cukup muda baru berumur menjelang 50-an, masih penuh energik, tetapi dia kalah dengan penyakitnya yang ketika itu sangat ditakuti di kampungku, tbc.

Kami semua selalu meninggalkan Belitung apabila mau melanjutkan sekolah. Karena tak ada sekolah sambungannya ketika itu di Belitung. Kalau sudah tamat SD, atau HIS ( Hollands Inlands School ), tak bisa lain harus keluar Belitung. Begitulah angkatan abangku yang tertua, bang Amat, menuju Batavia pada tahun 1936, karena melanjutkan sekolahnya. Dan aku meninggalkan Belitung pada tahun 1948, karena juga melanjutkan sekolah. Tetapi dalam pada itu kami selalu pulang berliburan menjelang bulan puasa dan lebaran. Dan Tanjungpandan, terasa ramai kalau para pelajar yang pada berpulangan masa liburan itu. Dari pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Bogor dan Yogyakarta, dan dari Sumatera dari Palembang, serta dari Kalimantan, Pontianak dan Banjarmasin. Kebanyakan pelajarnya adalah dari Yogyakarta dan Jakarta serta Bandung dan Bogor.

Tahun 1952 - 1953 kami mendirikan perkumpulan pelajar daerah, namanya mula-mula IPB - Ikatan Pelajar Belitung, lalu berubah menjadi IKPB - Ikatan Keluarga dan Pelajar Belitung. Ketika musimliburan itulah kami merasakan bahwa ketika itulah benar-benar kami berada dalam dunia kami. Yaitu dunia pelajar dan mahasiswa. Tahun 1953, sudah ada yang melanjutkan di perguruan tinggi di Jawa dan Sumatera. Kami mengadakan pertunjukan sandiwara, nyanyian, tarian, dan berbagai bentuk kesenian. Kota Tanjungpandan tampak dan terasa sangat berseri, hidup, ramai, dan berwajah muda. Pertandingan sepakbola, dan berbagai pertandingan olahraga lainnya, seperti badminton, volley, lomba sepeda, lomba melukis dan lainnya, hampir setiap minggu. Ini semua karena turut sertanya pelajar dan mahasiswa yang pulang berlibur itu.

Jauh sebelum itu kami sudah mendengar ada Kepala Polisi Belitung yang berkedudukan di Tanjungpandan, orangnya sangat galak. Dia orang Aceh, namanya Abdullah Palloh, berpangkat Komisaris. Katanya banyak orang Belitung yang sangat tidak suka kepadanya, karena galaknya, karena kasarnya. Main bentak, main panggil datang ke kantor. Terkabar kepada kami, kepala-polisi ini adalah kepala-polisi Belitung yang tergalak selama ini. Dan setelah kami tanyakan ke mana-mana, orang-orang kenalan kami dan juga keluarga terdekat, memang Pak Palloh ini orangnya galak dan agak kasar. Tetapi sebenarnya tidak sebagaimana sangkaan orang banyak. Sebab galaknya dan kasarnya itu memang ada alasannya. Misalnya dia akan marah kalau orang-orang pada ngobrol di tengah pasar yang menghalangi badan-jalan, menghalangi lalulintas jalan-umum, dan pakai selimut ketika nonton di bioskop. Orang itu akan dibentaknya, bahkan disuruhnya datang ke kantor polisi. Dan apa artinya harus datang ke kantor polisi? Bagi penduduk Belitung, itu artinya punya kesalahan yang cukup besar. Padahal kenyataannya begitu sampai di kantor polisi, orang itu hanya dinasehati baik-baik, agar bersama-sama menjaga kebaikan umum. Agar kalau mau nonton filem, ya mbok jangan pakai selimut tidurlah! Mbok jangan ngobrol di tengah jalanlah, bukankah dapat mengganggu orang lain.

Kami sebagai pelajar dan mahasiswa muda, sangat tidak enak mendengar Pak Palloh berulah sedemikian. Ini pada mulanya. Kami "sudah siap" menghadapi Pak Palloh sebagai penguasa polisi setempat, seandainya dia ini akan menghalangi tujuan kami berlibur sambil memperkenalkan gerakan kami dengan pertunjukan sandiwara, nyanyian, tarian dan olahraga. Seandainya dia menentang kami, dan tidak menyetujui kami, maka akan kami lawan. Kami sudah satu dalam masalah ini, dari pelajar dan mahasiswa yang berasal dari Belitung, yang bersebaran di Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

Tetapi diluar dugaan kami semua, juga sangat diluar dugaanku, ternyata Pak Palloh sangat baik, sangat mengerti gerakan pelajar, dan sangat membantu kami. Betul, dia memang keras, dan suara bicaranyapun juga keras, bisa membentak orang kalau memang orang itu sangat menjengkelkan umum. Ada kami dengar, bila Pak Palloh membentak orang, maksudnya membentak penduduk yang berkelakuan tidak semestinya, tidak patut dan tidak senonoh, katanya ada yang terkencing-kencing karena terkejut dan ketakutan!

Setelah bergaul, dan bahkan kami beberapa orang pimpinan IKPB, pernah diundangnya datang bertandang dan makan-malam di rumahnya, barulah kami tahu siapa sebenarnya Pak Palloh ini. Dia ingin sekali Belitung, terutama ibukota Tanjungpandan ini menjadi kota kebanggaan di Sumatera Selatan. Dia ingin teratur, ingin menegakkan disiplin bagi penduduknya. Ingin agar kotanya bersih, aman dan terjaga selalu. Setiap orang harus merasakan berkewajiban secara umum disamping juga merasakan memiliki secara umum juga. Tetapi mungkin ada kekurangannya, dia terlalu mau cepat, mau praktis, mau realis sesegera mungkin. Padahal penduduk yang sangat lama dan jauh tertinggal itu perlu mengalami proses dulu, melalui tahap-tahap pendidikan secara kemasarakatan.

Ada terpikir olehku setelah puluhan tahun sesudah itu. Apakah Pak Palloh ini adalah orangtuanya Surya Palloh yang punya Media Indonesia itu? Sebab kami kenal Pak Palloh ini pada tahun 1952 - 1953, di mana ketika itu akupun pernah melihat beberapa orang anaknya laki-laki sekira berumur 6 a 7 tahunan. Entahlah. Tapi harus kami akui, dengan kepala polisi Pak Palloh-lah gerakan pelajar kami mengalami sukses dengan semua pertunjukan dan semua izin, dan kelancaran selama liburan musim bulan puasa dan lebaran. Tanpa kerjasama yang baik antara gerakan pelajar dan kepala polisi ini, tidak mungkin akan mengalami sukses semua aktivitas yang kami adakan.

Dan Tanjungpandan ketika itu, masih bersih, teratur, aman dan damai. Masih ada keramahan, masih ada kehangatan persaudaraan dan kekeluargaan. Tetapi bagaimanakah kepulanganku setelah 40 tahunan baru kembali lagi ke Tanjungpandan, setelah "terhalang" selama 33 tahun belakangan ini? Tahun 1996 aku pulang ke Tanjungpandan, dan apakah yang kutemui dengannya? Ketika itu aku hanya dapat merasakan sedih dan sepinya, kosong dan hampanya,-

Paris 10 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.