Bab 122 :
Di Antara Tamu-Tamu Kami,-
bagian Dua,- habis,-

Karena aku bekerja di resto tidak setiap hari, hanya dua kali satu minggu, dan lagipula terkadang sampai satu bulan tidak kerja, sebab ada di Belanda, maka banyak hal-hal yang aku tidak tahu. Ketinggalan keadaan. Misalnya kini ada peraturan baru, dulu setiap orang yang begitu duduk, sudah tersedia sendok, garpu, pisau, dan gelas anggur. Kini ada yang baru, sendok tidak dipasang lagi, karena memang sangat jarang digunakan. Orang Perancis tidak pernah makan menggunakan sendok, kecuali menghirup sup. Mereka makan selalu pakai pisau dan garpu, tanpa sendok. Karena itu kalau ada pelanggan kami minta sendok, walaupun tak ada supnya, maka kebanyakan pelanggan itu bukanlah orang Perancis.

Kecuali seseorang dapat bagian sup atau memang memesan sup, maka barulah sendok disiapkan. Dan inipun aku sering-sering lupa dengan peraturan baru ini. Ketika ada pelanggan memesan sup, tetapi aku tidak menyiapkan sendoknya. Dia lama menunggu, lalu mengangkat tangannya memanggilku, minta sendok. Dan aku minta maaf karena lupa. Pelanggan kami kebanyakannya memang baik-baik, ramah-tamah, maka dia berkata, tak apa, kan bisa saja lupa, tidak begitu soal kok, demikian katanya.

Ada seorang pelanggan wanita, hanya datang seorang saja. Begitu datang sudah asyik membaca koran, lalu membuka-buka majalah dan buku-buku. Buku daftar makanan samasekali tak digubrisnya. Ketika kukatakan kepada seorang teman di dapur, maka teman dapur mengintip ke luar, lalu segera tahu,- "Akh, kan dia langganan setia kita. Itu kan si Blandine, tuh pacarnya Mas Benno tu sih", kata teman itu. " Segera Oom tanya mau apanya. Biasanya sih sup atau urap, nasinya goreng, coba deh tanya!". Betul saja, walaupun tidak membuka daftar makanan, tapi dia siap menyebutkan apa maunya. Kalau begitu memang dia langganan setia, tahu sudah apa yang mau dipesan. Inilah gara-garaku sangat jarang kerja-pagi dan tidak pula setiap hari.

Blandine minta gado-gado malah. Tapi nasinya tetap nasi-goreng service siang, yang lebih sederhana daripa yang malam. Lalu kusajikan gado-gado. "Seperti biasa, minta sausnya yang banyakan", demikian katanya.

Lalu aku ke dapur, dan teman dapur sudah tahu. "Memang begitu Blandine sih! Coba ntar, ada lagi deh yang dimintanya", kata teman dapur. Dan masih tetap betul teman dapur. "Coba minta kerupuk, yang agak kuningan, yang warna putih-tua. Jangan yang putih betul ya, yang agak hangus, tapi jangan hangus betulan",- Begitu kuletakkan yang dimintanya, lalu dia minta air-kendi. Lalu minta batu-esnya.

Ketika kusajikan nasi-gorengnya, dia lagi-lagi minta "Coba tambah acarnya lagi. Saya minta yang banyak timunnya, jangan yang ada wortelnya",- Dan mondar-mandir ke dapur meladeni Blandine ini, sama banyaknya seperti meladeni dua meja buat delapan orang!

Lalu giliran minta desertnya, dia minta kolak pisang. Lalu kusajikan lagi. "Akh, tambah santannya yang agak kentalan. Bersamaan dengan itu minta kopi, sekaligus saja", katanya. Sebab biasanya kopi yang terakhir sesudah selesai makan dessert.

Dan ketika kutanyakan kepada teman lain, berapa biasanya harga makanan yang begitu sering bolak-balik minta ini itu. Teman lain mengatakan sama dengan harga biasa nasi-goreng siang. Jadi tak ada tambahan lainnya. Jadi tidak bayar itu semua tambahan kerupuk, acar, dan lain-lainnya itu. Heran juga aku, tapi karena katanya sudah memang begitu kalau si Blandine, maka okey-okey sajalah.

Lama-lama barulah aku menjadi mengerti juga. Blandine ini hampir setiap siang makan di resto kami. Dan terkadang membawa teman-temannya. Artinya dia membawa pelanggan baru bagi kami. Dan bertambah mengetilah aku, ketika aku sudah siap mondar-mandir lagi mengambil segala macam permintaannya, yang ketika itu dia bersama tiga temannya lagi,- dan ternyata dia tidak minta apa-apa!

Kukatakan kepada teman dapur, mengapa kok sekali ini Blandine jadi alim dan baik hati, biasanya ada saja yang dia minta dan yah agak cerewetlah! Teman dapur mengatakan padaku :

"O, Oom belum tahu ya. Blandine itu kalau dengan teman-temanya justru tidak banyak cingcong, tidak akan dia minta macam-macam seperti dia sendirian seperti biasanya. Kayaknya dia tahu ya, bagaimana mesti banyak macam, ketika suasana yang bagaimana. Sepertinya sih, kalau dia hanya sendirian, dia akan selalu macam-macam dan minta banyak tambahan ini itu", kata teman dapur menambah pengetahuan baru bagiku. Pada akhirnya akupun setuju, okeylah kalau begitu, tokh dia selalu membawa teman-temannya, pelanggan baru bagi kita.

Dan sejak itulah baik Blandine maupun aku, sudah saling tahu, saling mengerti. Berapa sih ruginya kalau hanya kerupuk beberapa biji, dan santan dua tiga sendok, dan kopi secangkir kecil, dan saus gado-gado dua tiga sendok makan! Tokh dia sudah mendatangkan pelanggan baru bagi resto! Dan sejak itulah baik dia maupun aku sudah saling memahami tanpa bicara, tanpa penjelasan.

Tapi pada akhirnya ketika aku dengan inisiatif sendiri membawakan apa-apa saja yang biasanya selalu dimintanya, dia dengan senyum yang sangat jarang, berkata : "Sekarang sudah biasa ya dengan kebiasaan saya", katanya. "Yah, karena sudah menjadi terbiasa", kataku. Dan dia maupun aku saling tertawa senyum saling mengerti. Sampai kini Blandine sudah selama hampir setengah tahun ini menjadi pelanggan kami yang setia, hampir setiap siang makan di resto kami.

Ada lagi seorang nyonya setengah tua. Resto kami selalu didatangi pelanggan yang lebih 80 persen adalah wanita. Nyonya setengah tua ini sendirian. Dia agak lama membuka dan membalik-balik daftar menu makanan. Akhirnya dengan tangannya dia melambai agar aku mendekatinya. "Saya mau makan yang tidak ada garamnya. Saya diet garam", katanya. Aku berpikir lama. Tak ada masakan kami yang tak pakai garam. Kalau secara sengaja harus membuatkan masakan yang samasekali tak pakai garam, belum pernah terjadi dan belum ada kasusnya. "Kami sangat menyesal Nyonya, tak ada masakan kami yang tak pakai garam. Kecuali ada sayuran gado-gado yang belum dibumbui, dan telur rebus saja", kataku. "Ya tapi saya bukan seorang vegetarian. Saya hanya diet garam saja bukannya samasekali tak makan daging. Dan bukan pula harus makan sayuran saja", katanya dengan agak keras.

Dan aku ke dapur melaporkan keadaan pelanggan baru ini. Dan semua teman dapur sependapat, semua masakan sudah jadi, dan itupun semua biasa, bergaram. Bahkan sayuran buat gado-gado saja direbus sedikit pakai garam, tak ada yang bersih garam! Katakan pada pelanggan itu dan benar-benar minta maaf, kita tidak bisa menyediakan makanan yang berdiet garam itu. Tetapi pendapatnya akan kita perhatikan sungguh-sungguh. Karena malam itu malam week-end, sangat banyak tamu dan sangat sibuk, maka benar-benar kita minta maaf tak dapat memenuhi kehendaknya. Demikian kata teman-teman dapur. Dan aku menyampaikan permintaan maaf kami atas nama semua pegawai dan pekerja resto. Tetapi nyatanya nyonya setengah tua itu, tetap saja mau pesan makanan. Dan yang dipesannya itu adalah rijsttafel termahal, terlengkap, terbanyak, bernama Pertiwi. Satu set lengkap seharga 149 francs. Kukatakan apa saja isinya, dan jenisnya, baik daging maupun ikannya, dan nasi pilihannya, putih biasa, kuning atau goreng. Dan lalu dessertnya boleh pilih apa saja, dan termasuk secangkir kopi.

Cukup banyak. Aku meragukan seorang wanita setengah tua berbadan kurus pula akan dapat menghabiskan begitu banyak jenis makanan. Lagipula semua makanan ini adalah makanan normal buat orang yang normal, bukannya yang berdiet garam.

Setelah kukatakan dan kujelaskan, tetapi masih juga dia berkeras mau pilih Pertiwi, nama rijsttafel itu, maka kami menyiapkan semua peralatannya, termasuk dua buah perangkat penghangat-lilin. Nyonya itu makan dengan tenang dan asyik, satu persatu, menikmatinya. Lambat tapi tetap mantap, terus walaupun pelan. Dan satu demi satu piring menjadi kosong melompong. Ada yang bagaikan tak berbekas karena licin dan bersihnya. Akhirnya tujuh piring kecil-kecil itu kosong tak bersisa, licin. Biasanya kata kami, terutama teman dapur selalu mengatakan : "Akh, ini sih tak perlu dicuci lagi! Sudah licin dan bersih begini kok"!

Nah, pada akhirnya, nyonya yang dengan keras mengatakan berdiet garam tadi telah menghabiskan seperangkat lengkap menu Pertiwi! Ini luarbiasa, luarbiasa. Bagaimana kok bisa yang tadinya berkeras tak mau garam, lalu menghabiskan begitu lengkap menu besar itu, wanita pula, dan tidak gemuk lagi, bahkan agak kurus! Lalu bisakah kalau kita katakan, jangan lekas percaya pada omongan saja, tapi lihat kenyataannya. Atau jangan lekas percaya pada pandangan pertama, sebab kenyataan akhirnya yang akan selalu memberi keputusan. Entahlah! Banyak yang dikerjakan, banyak yang dialami dan ditempuh, semakin banyak yang bisa dilihat dan diketahui. Yang tadinya kita tidak tahu lalu menjadi tahu, yang tadinya kita tidak sangka, tahu-tahu adalah benar kenyataannya begitu. Begitulah kehidupan,-

Paris 8 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.