Bab 12 :
Taman Siswa

Nyaris saja, berbeda satu hari saja. Kalau sekiranya malam itu aku tidak
"tertangkap" oleh abangku yang sudah 9 tahun tak bertemu, maka tak tahulah
aku bagaimana jadinya perkembangan diriku. Malam itu seakan sengaja mereka
"berkomplot menculikku" dengan adik iparnya Gandhi, yang padahal keesokan
paginya aku harus berangkat dengan kapal SMN - Stoomvaart Maatshappij
Nederland ke jurusan Amerika Serikat dengan kapal yang namanya TAHU
LANDANG-,lihat buku kumpulan cerpen RAZZIA AGUSTUS, bagian Cabin-boy,-
Jabatanku ketika itu namanya cabin-boy, menurutku bukan main hebatnya
jabatan itu. Dan setelah malam itu aku "tertangkap karena penculikan" itu,
keesokan harinya aku dibawa oleh Pak Iskandar Subekti buat mencatatkan diri
masuk Taman Siswa bagian Taman Dewasa. Tahun 1948,- Kembali aku jadi "anak
baik" lagi, bersekolah, belajar dan hidup normal lagi.

Lama-lama terasa aku mencintai Taman Siswa. Rasanya Taman Siswa itu
bagaikan rumahtangga saja adanya, tak terasa bahwa itu adalah sekolahan,
pendidikan, perguruan. Karena pergaulan antara para siswa dan para
pamongnya, sebutan buat para gurunya, sangat akrab, hangat dan bagaikan
sekeluarga besar. Tak terasa perbedaan antara si miskin dan si kaya, atau
tidak sangat menyolok. Di Taman Siswa tidak hanya ditanamkan pendidikan
sekolahan saja, tetapi juga ditanamkan pendidikan budi-pekerti, civic,
cinta tanah-air, filsafat kehidupan secara umum, dan lain sebagainya yang
sifatnya soal-soal kehidupan.
Itulah pula sebabnya aku merasa cocok dengan pendidikan Taman Siswa, dan
selama 6 tahun penuh aku di sana, dari 1948 sampai dengan 1954.

Guru-guru Taman Siswa dengan kami para siswanya bagaikan saudara dan
keluarga. Sangat terbuka dan akrab. Dapatlah dibayangkan, kalau rumahku
yang di Kepu Selatan itu kebanjiran tamu dari Belitung atau yang akan
pulang ke Belitung dari Yogyakarta, Bandung, Bogor dan lainnya, maka aku
gampang saja mencari tempat penginapan. Aku menginap di Taman Siswa. Di
mana? Ya, di kelas. Pasang beberapa bangku, dekat-rapatkan, lalu bawa
selimut dari rumah, dan tidur. Tetapi harus ingat dan sekali-kali jangan
lupa, agar besok sebelum jam 07.°° harus sudah meninggalkan ruangan itu
dengan dibersihkan sebaik-baiknya. Sebab sebentar lagi ruangan itu
digunakan buat kelas-perlajaran. Nah, beres, dan sudah berkali-kali
kukerjakan begini, tanpa tahu para pengurus, dan pamong. Sebenarnya
kalaupun mereka tahu, takkan terjadi apa-apa, hanya saja harus selalu
dibersihkan, dirapikan. Tokh kitapun harus tahu, ini gedung pendidikan
sekolahan bukannya asrama pemondokan. Aku sering juga ke asrama pemondokan
Taman Siswa yang jauh di Ujung Kali Sunter sana, dan sering juga menginap
di sana. Nama asramanya SOLI DEO HONOR,-

Seorang pamong dan juga Ketua Majelis Luhurnya ketika itu adalah Pak Said.
Pak Said adalah seorang guru yang sangat dicintai para siswanya. Dia
benar-benar seorang akhli pendidikan, bukan hanya guru semata-mata. Dulu
ada pemeo yang mengatakan, kalau Indonesia punya sepuluh saja orang seperti
Pak Said ini, maka bereslah Indonesia ini, akan maju pesat. Yang
berpendapat demikian antaranya Bakhrum Rangkuti, seorang deklamator,
seorang penyair yang terkemuka ketika itu. Tetapi sebagai tambahannya,
Bakhrum-lah yang antara lain menjadi petunjuk buat para serdadu rezim fasis
Suharto buat menyeleksi buku-buku mana saja terbitan orang Lekra yang harus
dilarang! Dan sampai kini larangan itu belum dicabut. Ini antara lain
berkat "jasa" Bakhrum Rangkuti juga.

Ada suatu periode yang kebetulan aku menjadi "pejabat-tinggi" PPTS,
Persatuan Pelajar Taman Siswa. Satu hari kami mengadakan peringatan atau
perayaan Hari Kartini, 21 April. Perayaan begini seperti 10 November, Hari
Pahlawan, atau 3 Juli kelahiran Taman Siswa, selalu kami rayakan. Kesibukan
di sekitar kegiatan hari perayaan dan peringatan itu sangat makan-tenaga
dan waktu dan pikiran. Anggota Panitya lainnya sudah berkali-kali minta
uang-dana buat ongkos beli peralatan segala macam dekor, perlengkapan, dan
yang lainnya. Yang diincer dan dicari-cari adalah aku sendiri sebagai
"penguasa" PPTS. Dan aku dapat giliran mengincer Pak Said agar dia
mengeluarkan uang-kas buat keperluan itu. Sudah kubuatkan surat
tanda-terimanya, uang 300 Rupiah, tinggal tandatangan Pak Said saja. Semua
hal-ihwal ini aku mengetahui semua mekanismenya, karena sudah biasa. Tetapi
baru saja mau menemui Pak Said, tahu-tahu dia harus pergi. Selalu saja
sibuk. Yang kutahu ketika itu, ada beberapa Perguruan Tinggi serta Akademi
yang Pak Said jadi dosennya. Kebanyakannya Pak Said memberikan
mata-pelajaran Bahasa. Bahasa Belanda, Bahasa Jerman dan Bahasa Inggeris.
Dan dia memberi kuliah di PTIK, Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian, atau di
ADLN, Akademi Dinas Luar-Negeri, atau di APPDN, Akademi Pendidikan
Pamongpraja Dalam Negeri.

Karena kesibukan Pak Said yang banyak menyita waktunya ini, sehingga kami
sendiri sangat sulit menemuinya, maka kucari jalan-pintas buat mencairkan
uang yang 300 Rupiah itu. Kupelajari tandatangannya, dan sangat mudah. Ada
tulisan said pakai huruf kecil lalu ekornya di ujung d itu, ada celekukan
seakan pakai r, jadi seperti saidr. Tanpa ragu-ragu kutandatangai sendiri,
tokh Pak Said sudah tahu akan keperluan itu dan sudah tahu,bahwa kerja
organisasi begini juga menghendaki kecepatan kerja. Dan ketika aku datang
ke Pak Bardjo buat mencairkan nota itu, tanpa keraguan sedikitpun uang
sejumkah tertulis diserahkannya padaku. Dan aku langsung menyerahkannya
kepada Sri Utami penanggungjawab pertunjukan. Beres kan, akan cepat sekali
kerja yang tahu mekanismenya, demikian pikirku ketika itu. Tetapi petang
itu Pak Said datang dan langsung menanyakan kepadaku, apakah sudah beres
semua perlengkapan dan persiapan buat pertunjukan yang tinggal dua hari
lagi? Dan mana yang harus saya tandatangani itu, kata Pak Said.
"Oh, sudah beres kok Pak". Pak Said agak kaget.
"Tapi saya kan rasanya belum tandatangan. Lalu bagaimana kamu katakan
beres?!".
"Saya tandatangani sendiri Pak. Habis menunggu Bapak saya kira akan lama,
jadi saya tandatangani sendiri saja", kataku.
Tampak Pak Said agak kaget.
"Ini kerja tidak beres. Bagaimana bisa terjadi begitu. Mari kita sama-sama
ke Pak Bardjo", katanya.

Dan kami ke Pak Bardjo. Pak Bardjo juga merasa sangat kaget dan heran.
Diambilnya kertas bon itu, dan kami sama-sama melihat tandatangan itu. Pak
Said pada mulanya dengan muka merah agak marah, tetapi lama-lama terbit
sedikit senyumnya. Dan lalu berkata:
"Keterlaluan kamu Simon.Persis, tentu saja Pak Bardjo akan memberikan uang
itu, tak ada bedanya. Bagaimana kamu menirunya begitu persis", kata Pak
Said.
"Karena sudah biasa melihat tandatangan Bapak, dan selalu saja saya "tukang
ambil uangnya di kas" kataku.
"Kamu tahu apa hukuman yang kamu kerjakan itu? Kamu harus
mempertanggungjawabkan kerja-keliru dan bersalah itu. Itu artinya pemalsuan
tandatangan. Kamu mengerti? Kamu tahu ya, saya juga kerja di PTIK, bagian
kriminalogi", kata Pak Said. Sebenarnya aku juga sudah merasa bahwa itu
salah, tetapi karena aku mau kerja-cepat dan praktis, jadi kukerjakan juga
walaupun salah. Dan kalau Pak Said akan lebih marah lagi, aku menyerah
saja, apapun yang akan ditimpakannya padaku.
"Sekarang saya beri kesempatan padamu, besok datang ke kantor, pikir dulu
beberapa jam ini. Apa kesalahanmu itu, dan apa akibatnya bagi kehidupan
dirimu dan juga lingkungan di mana kau ada dan hidup", kata Pak Said.

Aku sebenarnya sudah takut dan sangat kuatir kalau-kalau siapa tahu aku
akan dipecat dari Taman
Siswa. Dan keesokan harinya aku datang ke kantor Pak Said, dengan sudah
siap "menyerahkan" diri.
"Pak saya datang buat mempertanggungjawabkan pekerjaan saya kemarin. Saya
mengakui kesalahan saya, dan saya menyerahkan semua hal-ihwal saya kepada
Bapak! Sebagai orang yang bersalah dan dapat dianggap memalsukan
tandatangan Bapak. Tetapi saya ingin mengatakan mengapa semua ini saya
kerjakan? Karena saya hanya terpancang kepada pekerjaan peringatan dan
perayaan ini agar bisa selesai dengan cepat dan baik. Itu saja alasan
mengapa maka saya kerjakan penandatanganan itu".
Lama Pak Said tampak berpikir. Lalu dengan agak mengejek berkata:
"Kau itu Mon, tak ada pikiran harus punya "kesabaran revolusioner"
sebagaimana sering dikatakan abangmu di koran-koran", kata Pak Said sambil
memicingkan matanya kepadaku. Memang kata-kata ini dikeluarkannya agar aku
terasa bersalah tidak punya "kesabaran revolusioner" seperti sering
dikatakan Bang Amat di koran-koran ketika itu. Kalau sudah begini, alamat
baik, takkan ada ekor belakangnya yang sangat kukuatirkan. Dan betapa aku
senangnya setelah itu, aku dipeluk Pak Said dengan pesannya wanti-wanti
agar selalu bertindak korek.

Dan cerita dengan Pak Said ini ternyata belum selesai. Ada seruan di Taman
Siswa, bahwa bagi siapa-siapa yang merasa terlalu banyak dikenakan
uang-sekolahnya, agar bisa mengajukannya ke tatausaha kas Taman Siswa, agar
bisa dipelajari, dan kalau mungkin dan masuk-akal uang-sekolah akan
diturunkan. Tetapi sebaliknya, kepada para siswa agar mengisi pendapatan
orang-tuanya dalam daftar-isian, yang bukannya tidak mungkin uang-sekolah
akan dinaikkan sesuai dengan pendapatan orang-tua. Uang-sekolahku ketika
itu 35 Rupiah. Rasanya aku ingin minta turunkan agar bisa 20 Rupiah, nah,
ini rasanya cocok dengan uang-belanjaku, nantinya ada tambahan dari
turunnya 15 Rupiah itu, sebab ayahku akan selalu memberikan uang sejumlah
35 Rupiah itu. Dan akupun turut antri minta turunkan uang-sekolah itu.

Tadinya kukira pemeriksaan hanya pada pegawai tata-usaha saja adanya.
Ternyata Ketua Majelis Luhur-pun harus turut juga memeriksa dan
mempertimbangkannya. Maka satu petang ketika akan pulang sekolah, aku
dipesan Pak Said agar datang ke kantornya. Samasekali aku tak menyangka
perkara apa lagi yang akan "menimpa" diriku.
"Simon, sini, kamu kok ada-ada saja Mon. Ini apa-apaan?", katanya sambil
memperlihatkan daftara isian yang minta turunkan uang-sekolah itu. Dan
kulihat masih kosong belum ada paraf atau tanda apapun.
"Ya, Pak, rasanya saya juga ingin diturunkan uang-sekolahnya", kataku. Pak
Said menghela nafas panjang, dan sesudah berpikir agak lama, barulah
berkata:
"Kamu tahu Simon, seharusnya uang-sekolahmu dinaikkan, ini terlalu murah
bagimu, hanya 35 Rupiah, lalu masih juga kamu minta turunkan 20 Rupiah,
keterlaluan kamu", katanya.
"Lalu apa alasannya Pak", kataku seolah-olah samasekali tak ada salah dan
kekeliruannya.
"Memangnya saya tidak tahu, bahwa ayahmu jadi anggota Parlemen, abangmu
jadi anggota Parlemen, dan mertua abangmu juga jadi anggota Parlemen! Jadi,
kamu samasekali tak dapat dikategorikan orang yang tidak punya dan miskin,
tidak,tidak dapat! Tidak mungkin anakku, tidak mungkin, seharusnya Taman
Siswa menaikkan uang-sekolahmu, karena perhitungan ini dulu ketika ayah dan
abangmu belum jadi anggota Parlemen. Kamu kan masuk di TS pada tahun 1948,
dasar dari tahun itulah penetapan uang-sekolahmu, jauh sebelum kalian
sekeluarga punya uang!", kata Pak Said.
Aku menyerahkan saja kepada TS dan Pak Said. Dan akhirnya setelah bersetuju
dengan pihak TS dan Pak Said serta ayahku, maka aku harus bayar
uang-sekolah 50 Rupiah, naik 15 Rupiah, bukannya turun 15 Rupiah seperti
perkiraan dan rekayasaku semula. Dan sebenarnya uang-sekolah ini masih
tetap murah dan wajar bila mau dipersandingkan dengan pendapatan ayah dan
uang-sakuku ketika itu.

Dan aku tetap sangat mencintai Taman Siswa sampai tahun 1954 sesudah aku
pindah ke UI di Fakultas Sastra Salemba. Aku tahu betul, adat dan kebiasaan
TS dan Pak Said, tidak akan mengusir dan memecat para siswa yang tidak
mampu bayar sekolah karena memang miskin dan tak punya. Tidak akan memecat
dan mengusir siswa yang tak naik kelas, tak lulus karena tak sempat belajar
disebabkan siswa itu harus bekerja sambilan di beberapa kantor dan
perusahaan. Tetapi TS dan Pak Said memang akan dan pernah
memecat siswa yang berbuat kejahatan kriminal, misalnya mencuri sepeda,
mencopet, jambret, berjudi dan berkelahi tawuran, dan itupun sesudah
diperingatkan berkali-kali.

Aku tahu tabiat TS dan Pak Said, sangat suka dan gembira bila melihat para
siswanya aktive bergerak di organisasi, menjadi aktivis, sportive, lincah,
dan selalu perduli dengan masarakat sekitar dan rakyat. Dan itulah pula
sebabnya TS pada periode tertentu pernah menjadi "sarang" orang-orang PSI,
Masyumi dan PKI. Banyak seniman serta budayawan "bersarang" di sana.
Termasuk Affandi, S.Sudjojono, Chairil Anwar, dan orang-orang pelaku
politik - budaya dan sosial. Walaupun TS termasuk pernah menjadi "sarang"
beberapa gerakan tadi, Pak Said pernah kudengar dituduh atau memang ya,
adalah penganut paham PSI, bukan Masyumi apalagi PKI! Tetapi bagaimanapun,
peranan TS dulu sangat aktive, dan sangat peduli pada gerakan masarakat,
baik dari segi politik apalagi sosial-budaya. Dan sifat-sifat ini yang
menjadikan aku sangat mencintai Taman Siswa dan tak terpisahkan dengan Pak
Said, guru dan pendidik yang benar-benar berbobot jelas dalam saling asuh,
asah dan asih.-

Paris 2 Mei 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.