Bab 118 :
Hasrat Keluarga Zainab Pulang Kampung,-
bagian Dua,- habis

Ada beberapa surat dari Sumedang dan Palembang, dari saudara sepupu Zainab dan keponakan Pak Amir. Surat-surat itu isinya pada pokoknya menjawab berita yang disuratkan Mak Zainab dan Pak Amir atas hasrat pulangnya itu. Pada dasar isi nafas surat itu, semua menyatakan pikir-pikirlah sebelum pulang menetap di kampunghalaman. Ada pula isi surat itu yang menyatakan : "lho, banyak orang-orang yang di Indonesia ini pada mencari jalan buat keluar Indonesia, tapi kalian malah mau datang. Orang-orang ramai-ramai mau keluar, kalian mau masuk. Apa benar-benar sudah dipikir masak-masak? Apa kalian sudah tahu benar situasi kampunghalaman dan tanahair?", demikian antaranya isi surat yang bertambah membimbangkan hati keluarga Zainab.

Lagi-lagi Mak Zainab perlu mencari teman-teman senasibnya buat bertanyakan banyak soal yang mereka benar-benar belum tahu. Dari cerita-cerita temannya barulah sedikit tahu tentang apa saja yang terjadi dan yang kini ada di Indonesia dan kampunghalamannya. Katanya masih tetap banyak halangan pulang. Ada yang berupa undang-undang dan ketetapan pemerintah sewaktu orba dulu, yang isinya sudah sangat tidak cocok dengan situasi sekarang. Begitu diusulkan buat dicabut, reaksi bukan main banyak dan tajamnya. Masih sangat banyak yang tidak setuju dan menentang pencabutan penetapan dan peraturan itu. Sebab katanya, kalau penetapan dan peraturan itu dicabut, maka komunisme dan orang-orang kiri akan merajalela lagi, akan ada pembrontakan, kekacauan, dan pembunuhan seperti enam jenderal dulu itu.

Mendengar cerita begini Mak Zainab meringis dan marah. "Memangnya sekarang ini sudah tidak ada lagi kekacauan dan pembunuhan itu? Sudah semua daerah menjadi aman?", katanya dengan nada tinggi. "Ya itu memang benar. Tetapi kalau kita-kita ini pulang, sedangkan masarakat yang akan menerima kita itu belum siap dan masih mendendam, bukankah sasaran akan ditujukan kepada kita lagi", kata temannya yang diajak ngobrol itu. "Mak Zainab tahu tidak bahwa reaksi tentang kepulangan kita itu sudah banyak para penantangnya. Yang berbaju-pakaian putih itu, kaum jihad. Yang kini sudah ribuan dikirim ke Ambon dan bagian Maluku lainnya? Sekarang ini yang justru paling galak dan bermata-gelap itu, tidak hanya aparat serdadu, tetapi juga para preman berjubah-Islam itu. Dulu tahun 65 dan 66 merekalah yang paling banyak membunuhi kaum kiri. Dan kini tampaknya akan sama saja. Para aparat negarapun, para serdadu resmipun sudah tak berkutik menghadapinya. Mereka berdemonstrasi ke istana negara saja pakai golok-tajam mengkilat, dan dibiarkan serdadu pemerintah juga. Bayangkan kalau kita-kita juga nekad pulang yang mereka siap menghadang dan menantang. Jadi cobalah pikir-pikir lagilah! Rindu sih rindu, kangen sih kangen pada keluarga, kampunghalaman, tetapi semua itu kan harus pakai pikiran, penalaran bukan perasaan dan emosi", kata Mak Mariam teman dekat Mak Zainab yang juga termasuk orang yang mau pulang, tetapi tidak mau nekad seperti Mak Zainab.

Sebenarnya Mak Zainab tidak begitu suka akan politik, bahkan pernah dikatakannya dia benci akan politik. Tetapi dia sendiri pada akhirnya menyadari juga, bahwa semua gerak-gerik ulah manusia, termasuk perilaku yang dihadapinya sekarang ini, penuh warna politik. Pada akhirnya ke manapun, di manapun akan bertemu dengan warna politik. Dan terkadang dia lupa, sebenarnya dia sudah jauh masuk ke wilayah politik yang pernah dia benci itu. Lalu ada lagi cerita yang didengarnya dan bacaan yang dilihatnya, adalah benar apa yang dikatakan Mak Mariam dan teman-teman lainnya. Bahwa banyak sekali orang-orang mencari jalan agar bisa keluar dari Indonesia. Sebagai apa saja, sebagai TKI dan TKW, jadi buruh-harian, buruh-lepasan, pengasuh-bayi. Bahkan tidak sedikit mau saja diperisteri secara kontrakan asal saja bisa ke luarnegeri. Bukannya tak didengar dan tak diketahuinya, tidak sedikit yang terjadi, perkosaan, bahkan sampai pembunuhan, dijatuhi hukum-rajam dan hukum-gantung, karena akibat perlakuan para majikan dan penguasa setempat, atau karena antara para pencari-kerja itu. Dan tokh tak berkurang yang tetap berusaha keras mencari jalan ke luar dari Indonesia.

Mengapa semua ini terjadi? Karena di tanahairnya sendiri samasekali tak ada jaminan-kerja, tak ada jaminan-kehidupan. Tak ada keadilan bagi rakyat kecil, tak ada tempat mengadukan nasib. Semua serba tak pasti, yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Orang bisa saja menjadi korban, korban kerusuhan, korban pemerasan, korban konyol yang tak jelas apanya dan bagaimananya. Juga di dengarnya, banyak yang mencari jalan keluar Indonesia, ke berbagai negeri. Ada yang sampai ke Australia, Eropa dan Amerika, bahkan ke mana saja asal keluar Indonesia. Banyak kampung-baru di Perth, Australia, di Melbourne, Sidney dan lain-lainnya. Memang banyak juga orang-orang kaya yang melarikan modalnya, tetapi juga lebih banyak lagi orang miskin yang mencari kehidupan di tempat baru yang masih ada sela-sela demokrasinya.

Yang mau mencari jalan keluar Indonesia buat hidup di tanah-rantau itu bukan saja berasal dari kesulitan hidup perekonomian, kaum migrant, tetapi juga karena politik. Sebab politik di Indonesia terlalu buruk untuk menjadi tempat kediaman yang aman, terlalu kacau. Korupsi dan kolusi yang terbesar di dunia ini, atau di Asia ini adalah di Indonesia, juga termasuk pelecehan Hak-hak Azasi Manusianya. Semua ini serba sedikit diketahui juga oleh Mak Zainab dan Pak Amir. Lalu jadinya bagaimana? Sangat rindu dan sangat kangen mau pulang, mau tinggal dan mau mati di Indonesia. Tapi kalau keadaan dan situasinya masih begini apa mungkin bisa pulang sekarang? Tadinya keluarga Mak Zainab merasa sangat gembira, sebab mereka tahu, oleh presiden RI sendiri ditugaskan seorang menteri datang ke Eropa, tepatnya ke Belanda ini, buat katakanlah menjelaskan bahkan "membujuk" agar para perantau-abadi yang sudah puluhan tahun ini, bersedia dan mau pulang. Dan menteri itu tadinya nampaknya bersemangat baik, terbuka bahkan bisa-bisa dikagumi orang-orang tertentu di kalangan teman-temannya sendiri. Tetapi nyatanya seperti peribahasa, belum kering liur di lidah dan bibir, dia sudah berubah langkah. Dialah yang paling anti pencabutan ketetapan dan peraturan orba yang sangat mengekang kehidupan orang-orang kiri itu. Dan tampaklah wajah yang sebenarnya pada diri sang menteri yang termuda itu.

Oleh banyak bertanya kepada teman-temannya dan membaca sendiri berita-berita dari tanahair dan kampunghalamannya, keluarga Zainab lama-lama mengerti juga serba sedikit. Dalam hatinya tergores-jelas, politik yang dulu kubenci pada akhirnya aku mau tak mau masuk juga ke dalamnya. Dan apakah soal bisa tidaknya ketetapan nomor 25 dan peraturan nomor 32 itu dicabut, juga adalah semata-mata soal politik. Termasuk mengapa sekarang ini lebih baik atau terpaksa harus ditunda kepulangan yang sudah bertahun-tahun dirancangkan itu. Semua ini bukankah karena jiwa dan warna politik? Tetapi lalu bagaimana dengan keuangan nantinya? Demikian pikir Mak Zainab, rumah sudah dijual, uang simpanan semakin sedikit, jarak pulang bertambah jauh. Kalau sudah mengingat dan menghadapi semua ini, sungguh tak terasa airmata tuanya pelan-pelan mengaliri pelupuk matanya dan turun ke pipinya yang sudah semakin mengkerut. Terkadang ada terdengar isakan hidungnya menahan tangisan sedih dengan pertanyaan yang tak pernah berjawab. Kapankah kami ini bisa pulang mendiami kampunghalaman sendiri dan berkubur di tanahair sendiri?,-

Paris 4 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.