Bab 116 :
Kebimbangan dan Keterhalangan

Pada bulan Juni yang baru lalu ini ada rapat yang boleh dikatakan sangat penting menyangkut "nasib" para perantau-abadi, khususnya di Holland. Orang banyak menyebutkannya "yang terhalang pulang" ada pula yang menyebutkannya "mantan kaum eksilan" dan yang tak sedap didengar dengan sebutan "kaum kelayaban". Yang benar yalah "kaum pelarian politik", atau refugie.

Tetapi karena sudah puluhan tahun tinggal di tanah Eropa, maka statusnya berubah secara naturalisasi, bukan lagi pelarian politik ataupun refugie, tetapi warganegara Belanda, Perancis, atau Jerman atau Swedia dan lain-lain. Rapat yang dimaksudkan tadi adalah antara Kementerian Dalam Negeri, Jawatan Imigrasi dan badan-badan yang bersangkutan dengannya berhadapan dengan kaum yang terhalang pulang itu. Isi dan putusan rapat tersebut mengandung harapan baik, bersifat menguntungkan bagi yang akan melaksanakan keputusan rapat tersebut. Mereka boleh pulang ke Indonesia dengan mempunyai hak-penuh buat mendapat uang-bantuan selama ini, apakah memang dari pensiun yang sah karena bekerja sebagai salaire, ataukah hanya sebagai penerima uang-bantuan-sosial setiap bulannya. Yang tidak mendapatkannya lagi hanyalah yang bersifat bantuan karena tinggal di Belanda. Misalnya bantuan sewa-rumah, kesehatan, pendidikan, atau uang-bantuan setiap musimpanas, uang bantuan liburan setiap musimliburan.

Dan ini wajar dan semua dapat menerimanya, sebab akan sangat aneh kalau masih juga bisa menerima uang bantuan sewa-rumah dan yang lainnya itu yang padahal tak ada hubungan dengan tempattinggal barunya : di Indonesia nantinya. Dari segi putusan rapat bersama ini, kiranya dan patutnya sudah tak ada soal lagi. Tak ada beban dan apa-apanya lagi. Ini dipandang dari segi luarnya, kulitnya, pembungkusnya. Tetapi dari segi dalam-internnya, tidaklah semudah itu. Masih banyak hal yang harus dipikirkan, dipersoalkan, dipertimbangkan, dan harus 100 kali ditimbang-timbang akan akibat mendatangnya. Banyak orang, banyak teman yang sudah menghitung-hitung, akan berapa dapatnya sekiranya di-rupiahkan bantuan itu. Apakah akan cukup kalau hidup di Indonesia? Apakah akan bisa hidup secara minimum saja di kampunghalaman nantinya?

Uang bantuan itu katakanlah secara rata-rata sejumlah 700 gulden setiap bulannya. Dan kalau dirupiahkan sekira dua juta rupiah. Secara hidup minimum tentu saja cukup dan sangat memadai. Tetapi semua ongkos kehidupan hanyalah dari situ semata-mata, buat cari rumah, sewa-rumah, makan, kesehatan, dokter, obat-obatan, pendidikan, belanja apa saja. Tetapi itupun masih cukup baik. Ini kalau diperbandingkan dengan pendapatan teman-teman yang memang tinggal di Indonenesia. Yang tamatan sarjana saja, tidak lebih dengan gaji antara 300 sampai 500 ribu rupiah. Pegawai biasa banyak yang bergaji antara 200 sampai 300 ribu rupiah. Pegawai perhotelan dan pelayan hotel dan resto bergaji antara 150 ribu sampai 250 ribu rupiah, bahkan ada yang jauh lebih rendah.

Banyak pegawai tinggi yang ber-eselon bergaji jutaan, tetapi itu kan sangat jarang dan sangat sedikit. Yang paling banyak yalah yang bergaji di bawah jutaan! Jadi dengan 700 gulden yang dapat dirupiahkan sekitar dua juta rupiah itu, sangat memadai, sangat baik, bisa hidup layak walaupun jauh dari mewah. Ini dari segi gaji dan pendapatan. Tak adakah beban atau halangan atau kecemburuan-sosial lainnya dengan pulangnya kaum eksilan ini? Inilah sesungguhnya beban, halangan dan kecemburuan-sosial yang paling pokok! Apakah masarakat umum akan mau dan rela menerima semua ini? Apakah tidak akan ada anggapan, wah, enak benar, pulang-pulang dari luarnegeri, tidak pula pernah masuk penjara, tak pernah di Pulau Buru, tak pernah menerima siksaan hidup seperti kami dan kita-kita ini, tahu-tahu begitu saja pulang enak-enak, banyak uang lagi!

Apakah orang-orang berwajah sangar yang selalu berpakaian putih-putih yang banyak menginfilterasi Ambon dan Maluku itu akan berdiam diri? Apakah kaum jihad itu akan rela melihat dan memandangi orang-orang yang baru pulang ini? TAP nomor 25 dan PP nomor 32 yang semua isinya menghalangi gerak-gerik dan semua aspek kehidupan orang-orang ini bukan main sulitnya buat mencabutnya. Bahkan lebih cenderung dapat dikatakan tak mungin dicabut selagi nafas Orba ini masih berdenyut seperti sekarang ini. Dan semangat Orba, denyut-nadi-nafas Orba samasekali belum tersentuh secara total, baru pinggir-pinggirnya saja. Reformasi yang dicita-citakan ketika mencetuskannya, samasekali belum tuntas, bahkan lebih banyak aspek yang belum tercapainya daripada yang sudah tercapainya.

Lalu apakah semua kaum keluarga dan teman-teman serta para sahabat juga sudah benar-benar rela menerima orang-orang ini yang walaupun sudah berpisah selama lebih dari 33 tahun ini? Apakah mereka benar-benar sudah berani dan bersedia dan rela pergaulannya dimasuki orang-orang yang baru pulang ini ( seandainya pulang nanti )? Semua ini pada akhirnya dibicarakan di kalangan kaum terhalang pulang ini, dan seharusnya dibicarakan dan ditimbang-timbang sebaik-baiknya, sehati-hatinya. Ini menyangkut nasib banyak nyawa, banyak keluarga, dan sangat sensitif dan emosional. Dan ternyata belum ada yang melaksanakan "kepulangan dengan segala janji fasilitas bantuan dari Holland itu", sudah ada reaksi dari dalamnegeri! Mereka yang dalam-negeri tidak akan begitu saja menerima kepulangan orang-orang ini, tidak sedia dan tidak siap buat dengan rela dan sepenuh hati menerima orang-orang yang hilang ini. Jadi tak adalah istilah Kembailah dia si anak hilang!

Mereka yang tadinya sudah menghitung-hitung secara keuangan dan biaya kehidupan di Indonesia, kini terpaksa menunda dulu rencananya, dan entah kapan dapat direalisasi, samasekali bukan urusan pemerintah dan badan-badan di Belanda, Perancis, Swedia, Jerman dan lain-lain! Urusan yang paling penting, paling pokok, adalah di dalamnegeri, pemerintah RI sendiri, dan masarakatnya sendiri, yang akan didatangi itu! Dan samasekali bukan masalah keuangan, jaminan sosial, belanja dan biaya, tetapi yang paling pokok adalah masalah keamanan, masalah security. Kita harus selalu berusaha keras buat menghentikan mengalirnya darah yang siasia. Yang kita alami selama ini, justru darah rakyat, penduduk biasa, rakyat awam, paling banyak menjadi korban, paling banyak menumpahkan darah dan hilangnya jiwa. Dari dulu sampai kini, sampai detik ini, seperti di Ambon, Maluku, Aceh, Irian dan lain-lain, selalu saja darah belum pernah berhenti mengalir. Marilah kita mengurangi jatuhnya korban yang tak perlu begini, sudah tentu kalau dapat dan sanggup menyetopnya samasekali. Tetapi seperti sudah dikatakan tadi, selagi denyut-nadi dan nafas sisa-sisa Orba masih jalan, tidak mungkin semua ini distop! Tidak mungkin, karena semua itu sejalan, sebangun, sealiran!

Paris 3 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.