Bab 114 :
Wisata Janda dan Duda, bagian Dua,-

Siapapun teman Nunung yang di Holland ini selalu akan memanggilnya Nur atau dengan nama panggilan Nurtje. Hanya aku dan keluargaku yang di Holland memanggil Nur dengan nama Nunung. Sebab nama ini yang kukenal ketika tahun 1954 dulu itu. Ketika Pekan Buku se Indonesia diadakan di Jakarta tahun 54 dulu itu dibuka oleh Menteri PP dan K Prof Muhamad Yamin. Pekan Buku ini sangat sukses. Setiap hari berkumpullah para seniman dan sastrawan muda maupun seniman dan sastrawan yang sudah jadi. Di sanalah aku punya banyak teman yang menjadi akrab, atau yang baru kukenal ketika itu juga. Di beberapa stand, para penjaga dan petugas pameran ini banyak juga yang cantik-cantik.

Ada sebuah stand yang banyak dikerumuni orang atau para sastrawannya, antaranya yalah Pram dan beberapa lagi. Pram mendekati seorang wanita cantik, dan wanita ini ada lagi adiknya. Yang kami kenal waktu itu, wanita yang kusebut tadi selalu dipanggil Mimi dan adiknya selalu dipanggil Nunung. Maka kami berdua Pram selalu nyantol dan berlabuh di stand dua saudara adik-kakak ini. Tampaknya Pram jauh lebih serius daripadaku sendiri. Dan sukurlah percintaan mereka menjadi kekal, yang akhirnya sampai di pelaminan pernikahan, sampai kini, sejak tahun 1954 dulu itu. Jadi artinya hampir setengah abad yang lalu. Dalam bukunya NYANYI SUNYI SEORANG BISU, Pram menceritakan semuanya, termasuk semua nama sastrawan yang menghadiri upacara pernikahannya dulu itu.

Adapun si simon ini juga bercintaan dengan adiknya Mimi, yang namanya ketika itu adalah Nunung. Nama sebenarnya yalah Nursiah Thamrin, masih keponakan Tokoh Nasional Muhamad Husni Thamrin. Tetapi dalam pada itu Nur dalam keadaan sudah dipertunangkan oleh keluarganya dan segera tak lama lagi akan melangsungkan pernikahannya dengan keluarganya juga yang tidak lagi begitu dekat. Mungkin pernikahan ini juga termasuk buat mendekatkan lagi tali kekeluargaan itu, tak tahulah aku. Tentu saja aku dengan harus berani dan rela, sudah sepatutnya mengundurkan diri. Lagipula ketika itu umurku baru 20 tahun, masih terlalu muda dan belum punya persiapan buat berumahtangga. Kalaupun sampai jadi menikah dengan Nunung, mau dikasi apa anak orang! Awak belum punya matapencaharian tetap, masih mahasiswa yang tak punya cantelan pendapatan tetap. Agaknya Nunung-pun mengerti dan memahami hal ini, dan juga dia bersedia memenuhi kehendak keluarga yang sudah begitu besar perhatiannya terhadap ikatan tali kekeluargaannya.

Karena itu semua, Nunung lebih cepat melangsungkan pernikahannya daripada kakaknya sendiri, Mimi dengan Pram. Pram - Mimi menikah pada tahun 1956, diselang dengan perpisahan-paksa mereka akibat Pram masuk Pulau Buru sekian belas tahun. Namun Mimi tetap setia menantikan Pram, yang pada akhirnya mereka bertemu kembali dalam keadaan semakin saling mencintai. Dan aku dalam pada itu tak pernah lagi tahu bagaimana keadaan Nunung. Pada tahun 1993 ketika aku pertama kali pulang ke Indonesia setelah selama 30 tahun tak pernah datang ke Jakarta, aku mengunjungi keluarga Pram - Mimi. Dan ketika aku hendak pamitan pulang, Mimi dengan suara pelan dan hati-hati berkata : "bron apa kau masih ingat Nunung? Rumahnya tak jauh dari rumah ini. Kalau kau mau ketemu dia, bisa kutunjukkan dan kuantarkan. Dia sudah lama menjanda", kata Mimi dengan rasa keibuan.

Ketika itu kujawab, biar lah lain kali, sampaikan saja salamku kepadanya. Dan sudah itu tak pernah terpikir, tak pernah teringat akan Nunung, hilang begitu saja, tanpa kesan apapun. Perjalanan hidup manusia memang macam-macam, berbagai selukbeluk menerpa dan membalut diri orang perorang. Misalnya si aku ini, ada-ada saja soal. Dari segi teman dan persahabatan, ternyata aku punya teman wanita jauh lebih banyak ketimbang teman pria. Tetapi seperti sering kukatakan dan kutuliskan, walaupun banyak punya teman wanita, tak satupun yang nyangkut yang benar-benar nyangkut bagaikan ikat di mata pancing. Dan lagi selalu tak seimbang, selalu pincang dan selalu serba tak mungkin. Teman wanitaku itu selalu jauh lebih muda dari anakku sendiri! Atau kalaupun dia tidak muda, tetapi mereka itu adalah isteri orang, yang berstatus nyonya si Anu. Dan tak satupun teman wanitaku itu yang kira-kira pantas atau seimbang denganku. Dalam tulisan SERBA-SERBI ini entah yang keberapa, ada kutuliskan, bagaimana seorang cucuku sangat aktive "mencarikanku" teman wanitanya yang dari pramugari, yang muda-muda, lincah, cantik bahkan agak genit. Mana pula aku tahan!

Dalam malam sepi, sendiri dan dalam keheningan, aku selalu berdialog dengan Tuhan. Aku berdoa dan minta pada Tuhan, ya, Tuhan, tolonglah lempangkan pikiranku ini. Luruskanlah, jernihkanlah, bukalah pikiranku ini, agar aku benar-benar kembali ke jalan yang lurus, tepat dan baik. Terutama dalam masalah hubungan teman-teman wanita ini. Aku pasrah dan aku menyerahkan diriku kepadaMU Tuhanku. Aku akan menerima siapa saja asal itu adalah pemberianMU, asal dia itu adalah tunjukanMU, asal dia itu adalah utusanMU. Begitulah aku berpikir dan berdoa. Tak tahan dan bagaikan mau gila saja layaknya mengenai masalah ini.

Dan sudahlah, pikirku, tokh Tuhan sudah tahu perasaanku. Dalam pada itu di suatu senja ada tilpun datang dari Jakarta. Yang menilpun itu adalah suara wanita. Dan aku tak begitu mengenal suaranya, agak asing di telingaku suara itu. Dan berceritalah suara itu, " saya Nunung, masih ingat beberapa puluh tahun dulu itu?", katanya lagi. Tentu saja aku ingat, walaupun tak pernah teringat sedikitpun setelah perpisahan tahun 1954 dulu itu.

Nunung mengatakan bahwa dia akan ke Holland ke rumah temannya. Dan katanya lagi dia mau ke Paris, dan kalau tak keberatan, apakah boleh datang ke tempatku melihat-lihat dan sekedar bertemu? Tentu saja kukatakan dengan senang hati, masaksih lupa akan teman lama, kataku lagi. Dan begitulah ceritanya, selama 10 hari Nunung di rumahku di Paris. Aku menerima keberadaannya di rumahku, dengan hangat, dengan akrab. Dia tampak gembira dan bahagia bertemu denganku, dan juga aku. Walaupun sampai kini aku tidak tahu pasti, apakah yang ini pemberian Tuhan yang dulu aku berdoa itu? Tak tahulah, tetapi aku tak pernah menampik kedatangan dan perasaan Nunung. Lalu yang pada akhirnya Nunung-pun pernah menginap di rumah anak-anakku di Holland, dan anak-anakku seolah-olah "mendesak" agar papa meneruskan perkenalan kembali dengan tante Nunung-nya. Anak-anakku dan cucu-cucuku sudah mulai akrab dengan Nunung.

Dan ketika Nunung di rumah, di mana aku seolah-olah tinggal terima jadi, baik dalam soal makanan dan kehidupan biasa, pakaian, kebersihan rumah, tadinya kukira, pastilah akan ada gangguan pada pekerjaanku sehari-hari, seperti menulis, mengarang dan bekerja di resto dua kali seminggu itu. Ternyata malah sebaliknya, aku bisa berkiprah bahkan lebih produktive lagi dari biasanya. Terasa dalam hati, apakah begini ini orang beristeri itu? Karena aku sudah sangat lupa, sudah duapuluh tahun menduda, mungkin sudah lupa kayak apa sih punya isteri itu?! Dan kalau keterusan dan kebablasan enaknya hidup bujangan, memang jauh memilih lebih baik bujangan daripada beristeri, sebab sudah sangat terbiasa hidup egois, enggan berbagi, enggan mengalah. Semoga aku tidak begitu.

Ketika kami saling bercerita tentang keadaan tahun 50-an itu, Nunung semua mengenal siapa-siapa saja temanku di kala itu. Begitu banyak sastrawan dan seniman yang setiap hari ngumpul di Pekan Buku Indonesia itu. Ketika itu aku selalu dengan banyak sastrawan muda, seperti Ajip yang pernah ditanyakan oleh Menteri Yamin, kenapa nama Ajip harus ditulis dengan Ayip Rossidhy, tidak yang biasa-biasa saja. Ajip menjawab, nah, bapak sendiri pakai huruf Y tidak pakai huruf J. Dan sejak itulah Ajip menulis nama yang sekarang ini. Lalu kami sering bertiga dengan Ramadhan KH dan Nugroho Notosusanto, mereka mengasuh majalah yang namanya KOMPAS, majalah mahasiswa. Dan pergaulan kami ini menyebabkan aku sering-sering ke rumah Atun alias Ramadhan bersama Sugiarta Sriwibawa. Sayangnya Sugiarta ini tampaknya masih belum mau berhubungan denganku. Surat-suratku tak pernah dibalasnya, mungkin dia masih enggan berhubungan dengan orang sejenisku begini.

Dulu ketika aku mau menyampaikan salamku kepada Nug melalui Atun, dia mengatakan, salam dan pesanmu sengaja tak kusampaikan kepada Nug. Kau kan tahu, Nug itu satu kakinya memang sastrawan dan sejarawan, tapi sebelah kakinya lagi kan dia itu jenderal yang masih berfungsi penuh sebagai aparat penguasa, demikian kata Atun ketika itu. Benar juga Atun, sejak dulu dan yang sampai kini Atun tak pernah merasa takut dan segan berhubungan denganku. Dan semua teman-temanku ini Nunung tahu, karenanya kalau kami saling cerita masa dulunya, semuanya nyambung dan kena! Dan agak mabuklah aku ketika sehari-hari di rumahku di Paris, Nunung memanggilku dengan sebutan papi. Dan itulah kisah Nunung denganku, yang di Holland serta resto kami, banyak teman-teman yang sudah pada berbisik dengan suara pelan, ada apa lagi ini, gerakan si simon ini, mau apa pula dia itu!

Paris 1 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.