Bab 113 :
Wisata Janda dan Duda, bagian Satu,-

Perjalanan atau pekerjaan atau proyek kecil-kecilan terkadang berjalan lancar tanpa direncanakan sebelumnya. Tetapi kalau direncanakan secara teliti, terperinci, sedikit rumit, terkadang sering-sering juga gagal dan tak jadi. Begitulah kami bertiga ketika itu. Ada dua janda dan satu duda, yang masing-masing berusia sudah berkepala enam. Dan kalau kami jumlahkan usia kami, maka kami bertiga sudah berumur dua abad lebih! Yang tertua di antara kami adalah mbak Tati, tetapi sehatnya mak, minta ampun. Selalu mau bergerak saja, selalu mau jalan saja, selalu mau mengajak piknik saja. Dulu kukira menantuku Bregas itu betul-betul tukangjalan, dan tak pernah lelah-letih kalau nyetir mobil, selalu mau bepergian saja. Ternyata masih ada saingannya, mbak Tati ini. Dari segi umur, mbak Tati adalah neneknya Bregas! Tapi semangat jalan dan semangat pikniknya tak kalah dengan anak-anak muda. Tidak heran kalau anaknya, wanita muda yang jadi polisi interpol itu menamakan ibunya Madame on the road.

Pendek kata kami bertiga sudah sepakat mau ke Belgique paling dekat. Kalau bisa akan keliling sekitar Luxembourg dan Jerman. Dan ketika kami tanyakan, Nunung bersama saya menanyakannya, apa betul dia bisa dan kuat mengelilingi negara tetangga sekitar sini? Mbak Tati bahkan menjawab, dia sudah sering pergi-pulang ke Perancis bahkan sampai Monacco - Montecarlo. Kami-pun percaya karena ada buktinya. Tetapi Nunung mengatakan, dia tidak akan mau menyetir di Eropa ini, dia hanya mau nyetir di sekitar Jakarta saja. Jadi artinya capek tidak capek, agar ditanggulangi sendiri saja. Kalau tahan dan kuat okey - okey saja. Jang duda satu ini, yah, nggak pernah punya sim. Tampaknya mbak Tati mau dan siap, bahkan sedikit membujukku agar aku juga mau. Katanya tentulah akan bertambah ramai kalau duda satu ini ikut.

Tujuan kami pertama ke Belgia dulu. Ke kota Antwerpen tak jauh dari Holland. Antwerpen adalah kota intan sedunia. Di sinilah permata intan-berlian berpusat, tempat pengasahannya, tempat pengukiran dan dengan gaya-seni tertinggi ukiran permata intan-berlian. Intan-berlian yang di Antwerpen tentu saja tak ada dari bumi Belgia, semuanya dari Afrika, khususnya Afrika Selatan dan dari bumi lainnya yang mau diasah dan diukir di kota intan sedunia ini. Kota Antwerpen tidaklah besar, tetapi sangatlah terkenal, karena penghasil intan yang sudah jadi itu. Banyak orang yang lalulalang dengan aman dan damainya, dan biasanya banyak yang berjenggot, kumis dan kopiah setengah seperti kue serabi di atas kepalanya. Itulah orang-orang dan pedagang intan Yahudi, raja uang di Eropa.

Lalu kami menuju Waterloo, sebuah tempat arena peperangan zaman Napoleon, di mana Napoleon menemui perlawanan yang sangat sengit. Dari perang berstrategi dan taktik tinggi, sampai pertempuran satu lawan satu, seperti duel yang kacau. Sebenarnya menurut sejarah, Napoleon menemui banyak kekalahan di Waterloo. Kejadian ini sudah pernah difilmkan beberapa puluh tahun yang lalu. Lalu kami menjalani tanah Belgia. Ternyata Belgique yang dulu pernah kuanggap nggak ada apa-apanya, bukan main indahnya. Berlainan dengan Belanda, tanah yang datar dan dibawah laut itu, di mana-mana tedapat air dan tali-air, datar dan rata saja ke manapun kita pergi. Inilah Belanda. Tetapi Belgia ternyata banyak berbukit dan gunung, dan air. Banyak airterjun, sungai yang jernih, mengalir dengan indahnya. Sekali-sekali tampak orang-orang, dan turis berkayak dan berkano menuruti aliran air dan menuruni jeram yang cukup tinggi. Dengan derasnya mengikuti arus melalui sela-sela bebatuan. Bunyi air yang berkecipak itu sangat memancing terlinga dan mata buat mengawasinya dengan lama dan penuh pesona - keheranan.

Ketika itu masih bulan Juni minggu kedua dan ketiga. Pucak ramai turisnya adalah pada bulan Juli dan Agustus, di mana penginapan, hotel, motel, bungalow pada banyak pendatang. Tetapi karena wilayah Belgia ini sebenarnya tidak begitu banyak dikenal dunia luar, maka akan selalu ada kesempatan buat menginap ketika musim turis ramai. Saya sendiri baru tahu, kalau wilayah Belgia ini cukup baik dan indah buat istirahat-pegunungan dan lembah serta tebing-tebing pinggir bukit.

Karena jalannya amat baik, mulus, walaupun banyak kelokan, banyak lekukan dan turun-naik pegunungan, mbak Tati selalu kami ingatkan, agar istirahat kalau capek dan berhenti mengaso kalau agak ngantuk. Dan pada waktu jam-goute, jam nyamian, menjelang jam 10.°° dan kalau sore pada jam 16°° - 17°°, kami selalu cari cafe, bar dan ngopi dengan santainya. Dan ketika itulah keluar semua gurauan yang ternyata antara janda dan duda sudah tak ada lagi batasnya. Yang miring-miring bahkan bengkok-bengkokpun pada nyembul keluar. Kami bertiga selalu ramai, bergurau, mengisahkan cerita-cerita lama, dan tentu saja gosip tak ketinggalan. Gosip itu bagaikan garam, makanan yang tak terasa garamnya selalu hambar, tak berasa! Begitulah gosip dan cerita-cerita sedikit porno.

Bagaimana maka kami bertiga ini kok sampai bisa bertemu demikian akrabnya? Ini sebenarnya gara-gara Nunung! Nunung punya teman yang paling akrab, yalah mbak Tati ini. Mbak Tati sudah lama menjanda, suaminya meninggal beberapa belas tahun yang lalu. Nunung juga janda, suaminya meninggal, juga beberapa belas tahuhn yang lalu. Dan akupun menjadi duda persis duapuluh tahun yang lalu, karena isteriku meninggal pada tahun 1980 di Beijing dulu itu. Dari Nunung-lah aku kenal mbak Tati, karena tujuan Nunung ke Holland antaranya mau ketemu mbak Tati ini. Jadi aku disangkutkanlah, kecipratan kenal juga! Lalu bagaimana aku kenal Nunung,- nah, ini tema cerita yang akan berkepanjangan. Aku kenal Nunung mula-mula tahun 1954 ketika diadakan Pekan Buku di Jakarta di Deca Park waktu itu. Lalu namanya diubah menjadi Gedung Pertemuan Umum, di depan Gedung Pemuda pada tahun 50-an.

Pekan Buku seluruh Indonesia itu diprakarsai oleh Gunung Agung, yang dipimpin oleh Tjio Wie-thay, ( Lie Thay-san ). Tjio Wie-thay mengubah nama dengan Mas Agung Idayu, karena mereka mendirikan Yayasan IDAYU, nama Ibunda Bung Karno, wanita Bali itu. Mas Agung lalu masuk Islam. Dia sudah lama meninggal. Nah, stop dulu cerita bagian ini.

Ketika hari sudah malam dan kami masih juga di tanah Belgia, maka harus secepatnya cari hotel buat menginap. Sebenarnya tak ada apa-apa dan tak ada kesukaran apapun, serta tak ada beban apapun. Kami bertiga sudah bagaikan saudara, dan tokh usia kami bila dijumlahkan sudah lebih dua abad kan! Kalaupun ada perasaan lain, misalnya taroklah antara aku dan Nunung, kan hal itu riwayatnya dulu-dululah, riwayat dan kisah pada setengah abad yang lalu. Masaksih akan berulang seperti 50 tahun yang lalu? Nunung sudah punya cucu 6 dan aku sudah punya cucu 4, yang seorangnya sudah menjelang remaja.

Jadi ketika kami memasuki kamar hotel ya biasa-biasa saja. Bahwa kami akan bertiga satu kamar. Dua tempattidur berdekatan, dan yang satu lagi melintang, tidak sejajar. Kira-kira akulah yang akan menempati tempattidur itu. Tapi mereka berdua itu pada tertawa dan tampaknya mentertawakanku. "Nah, tempattidur satunya yang melintang itu, kosongkan saja", kata mbak Tati. Dan aku heran dan agak kaget juga. "Mengapa?", kataku keheranan. "Lah, dengan dua tempattidur ini kan cukup kita bertiga. Dik simon di tengah, dik Nunung sebelah kiri dan saya sebelah kanan, kan beres",-kata mbak Tati sambil ngakak tertawa diiringi tertawa Nunung yang rupa-rupanya sepakat mentertawakanku.

Dan aku langsung tahu dan mengerti, mereka berdua mau ngerjaiku, mau main-main dan bergurau. Lalu kusambut "Emangnya kalian mau jadikan saya sandwich! Bisa-bisa tak sampai pagi saya sudah jadi corned atau peuyem Bandung!", kataku. Hal ini tidak mungkin, sebab di tengahnya ada lobang, bisa-bisa jatuh terjerembab. Ini hanya obrolan dan gurauan semata. Lagipula antara kami lebih merasakan sesaudara, dan seirama-keluarga, dan ini kukira kalau bertiga. Kalau dulu ketika belasan tahun yang lalu, biarpun bertiga tetap saja cukup "berbahaya". Dan kalau berdua, umpamanya aku hanya dengan Nunung saja, sudahlah tak usah diceritakan lagi, tak ada gunanya.

Dan karena kami sudah amat lelah, apalagi mbak Tati yang sudah hampir belasan jam menyetir, rasa kantuk sudah membalut kami masing-masing. Walaupun tetap dengan banyak bergurau, tetapi mata dan badan sudah bagaikan lampu lima watt. Dan ketika biasanya aku selalu bangun tengah malam, dua janda itu mendengkur kelelahan, dengan rasa lelap yang aman dan tenteram. Teringat nasib, kami bertiga yang sama-sama tua, tetapi berlainan arah dan berlainan kandang. Mereka adalah orang-orang normal, wajar dan samasekali bukan yang terpinggirkan. Sedangkan aku adalah orang yang termasuk terhalang-pulang dan masih kelayaban. Masih ada TAP nomor 25 dan PP 23, yang mengekang dan mencekal kami. Tapi dua temanku yang janda itu semua tahu siapa aku, semua mengenal keluargaku. Mereka berdua dengan berani dan rela mau berteman denganku, berteman erat pula. "Persatuan sehati dan sejiwa" kami bertiga tidak bisa tergoyahkan dan merenggang walaupun TAP dan PP itu tetap saja berlaku di tanah melayu, dan bukan main susahnya buat menghapusnya. Ada atau tidak ada TAP dan PP itu, rasa persahabatan antara kami, mungkin tidak hanya kami bertiga saja, akan selalu langgeng dan lestari,-

Paris 1 Juli 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.