Bab 110 :
Suara Hati

Ketika aku memapah Wati, isteriku, mengantarkannya opname di rumahsakit Persahabatan Beijing, aku sempat berkata padanya. "Lihat gedung itu, dulu beberapa tahun lalu, kau di situ melahirkan Nita, tahun 1964, enambelas tahun yang lalu",- lalu dia melihat gedung bagian wanita untuk bersalin. Lalu matanya nyalang mencari entah gedung mana, tetapi ucapannya sungguh mengejutkanku. "Yah, benar di sana aku melahirkan. Tetapi rasanya di sebelahnya aku akan berakhir dalam kehidupan ini". "Akh, ngomongnya masaksih begitu. Kan kita selalu berharap sehat, sembuh dan kita akan selalu bersama-sama", kataku menghilangkan rasa waswas.

Dan sejak opname dari tanggal 23 Mei 1980 itu, setiap hari aku menjenguknya, dan anak-anak bezoek bergiliran disesuaikan dengan PR-nya, pekerjaan-rumah kewajiban sekolahnya. Dokter masih tetap berpendapat sakit ginjal, gagal-ginjal, dan metabolisme tubuh. Sulit dan sedikit kencing, tak ada nafsu makan, badan lemas tak punya tenaga. Dan aku masih setiap sore sehabis bekerja dari Radio, selalu menjenguknya.

Suatu hari hujan lebat di Beijing, topan seakan mengamuk dan halilintar menyambar beberapa pepohonan. Kota Beijing seakan diguyur hujan dan banjir kecil menggenangi jalanan. Walaupun hujan bagaimanapun derasnya, bezoek buat Wati tak mungkin dibatalkan. Dia sangat perlu dorongan dan bantuan perasaan dan kejiwaan. Aku tetap saja pergi membezoeknya. Tapi sesampainya di rumahsakit, dia tidak lagi di sal yang biasa. Aku sempat mencarinya ke beberapa sal. Seorang jururawat menunjukkan tempatnya. Dia sendiri di kamar yang agak khusus. Dan sirr darahku berdebar sangat tidak enak, ada apa ini?

Kudapati dia sedang menangis yang tampaknya sangat menyedihkan. Tak mau bicara, diam saja dengan mata kecil menerawang jauh. Isakan dan sesengukannya sedikit menggoyangkan badannya yang berselimut agak tebal. Aku menciumnya dan memeluknya. Beberapa menit kemudian barulah mau bicara tetapi sangat sedikit, jauh berubah dari biasanya. Aku menanyakannya mengapa menangis. Ada sedikit diceritakannya, tetapi tidak dengan terang-terangan. Kesimpulan harus kita ambil sendiri dari jawaban pertanyaan kita.

Hari itu, paginya, para dokter datang, masing-masing dengan disiplin ilmu spesialisasinya. Bagian jantung, bagian-dalam, bagian syaraf dan lainnya. Para dokter itu bicara tanpa segan-segan di antara mereka. Mereka samasekali tidak menyangka pembicaraan itu walaupun bahasa mereka dan penuh dengan istilah kedokteran, tokh mereka tetap berpendapat, pasien ini bukankah seorang asing, mana pula mengerti selukbeluk istilah penyakit. Mungkin mereka memang dengan wajar saling diskusi kecil di depan pasien, tetapi juga mungkin mereka tidak akan menyangka yang Wati juga adalah seorang dokter praktek. Karena dia prakteknya di Nanchang ibukota provinsi Cuiangxi, sedangkan ini Beijing, ibukota negara.

Setelah mendengarkan dan menerima keputusan sakit apa sebenarnya Wati ini, barulah dia down begitu rupa, sehingga dia menangis dan membisu tak mau bicara sepanjang hari itu. Dia tahu, dia mengerti akan apa kesudahan penyakit ini, penyakit LE = lupus erythomatusus, sakit bintik-darah-merah gigitan srigala, begitu kalau terjemahannya. Tetapi sebenarnya sejenis kangker darah. Merusak semua bagian vital tubuh, seperti ginjal, jantung, lever, dan metabolisme tubuh. Tentu saja dia menangis dan sangat sedihnya. Sebab dia tahu benar, sakit ini tak ada harapan, obatnya belum ada yang mantap dan mujarab. Dan kukira dia sudah tahu benar, usinya sudah mendekati akhir. Dan anak-anak, dan kami bertiga nanti. Kukira inilah yang menjadi pikirannya. Dalam isakan dan sesengukan itu, kurasakan kami bertigalah yang dia pikirkan, bukan dirinya sendiri.

Dia merasa tugasnya sebagai seorang ibu belum tuntas mengantarkan kedua anaknya ke jenjang dewasa secara penuh. Dan lagi pula pikiran kami akan bertambah sedih dan rumit. Kami sudah saling berjanji buat meninggalkan Tiongkok, tetapi kini bagaimana dengan sakitnya ini. Setelah kejadian tahu dan mengertinya dia akan sakitnya, dan akan kesudahannya, ketika dia bisa menguasai diri, dia katakan kepadaku dan kepada dua anak-anaknya, agar kami bertiga harus terus berusaha meninggalkan Tiongkok dan mencari jalan buat pulang ke tanahair. Sambil mengatakan dan berpesan secara demikian, sambil menangis sedih dan pilu. Kami bertiga sangat merasakan, dia merasa belum cukup tuntas bersama kami dan mengantarkan kedua putrinya memasuki kedewasaan. Belum cukup dalam mendidik anak-anak, mengasuh anak-anak. Belum full dalam mencintai mereka dan banyak lagi bebannya.

Kami tahu dia tidak akan menangis sedih kalau hanya memikirkan dirinya sendiri, akan sakit dan kesudahan penyakitnya. Dan dalam pada itu, hampir setiap hari dia batuk-batuk. Dan kalau batuk, terlihat cairan darah segar, batuknya berdarah, terkadang mengental. Kalau sudah begini biasanya dia akan setengah pingsan, dan dokter datang mengobati sekedar penahannya. Aku terdiam kaku, dan sangat sakit melihat penderitaannya. Biasanya kukatakan kepada dua anakku, bahwa mama sakitnya agak berat dan kukatakan dengan hati-hati dan sangat lembut, agar kita bersiap-siap buat hanya bertiga saja. Tampaknya mereka mengerti, dan mereka punya persiapan tertentu, dan aku merasa agak sedikit ringan karenanya.

Di rumah, kompleks Radio Beijing, aku sendirian di kamar. Kamar anak-anakku di depan kamar kami. Di kamar itulah kalau aku mau mengeluarkan airmata, mau bersedih menumpahkan perasaan hati dan berdoa. Aku sering sekali berdoa dan memohon kepada Tuhan, agar minta kesembuhan buat dirinya. Tetapi juga kukatakan kepada Tuhan,- "Tuhanku, aku tak sampai hati melihatnya begitu sengsara karena sakitnya. Tuhanku, bolehkah kami katakan kepadaMU? Kami sudah rela seandainyapun dia pergi meninggalkan kami, Tuhanku. Sungguh kami sangat bersedih karena dia sakit itu, tetapi kalaupun Tuhan mengambilnya pada hari-hari ini, kamipun sudah siap atau sudah harus siap menghadapinya, Tuhanku. Tetapi kami tak tahan, tak sampai hati melihat dan menyaksikan dia batuk selalu mengeluarkan darah segar dan kental. Tuhanku, kami serahkan padaMU semua ini. Kami benar-benar sudah rela", kataku dalam setiap doa.

Sejak bulan Mei tahun itu sampai bulan Agustus, dia terbaring dengan lesu. Makannya sangat sedikit, kencingnya sangat sulit, dan bila batuk selalu mengeluarkan darah. Dan aku pada pokoknya sangat kurang tidur, sangat sedih dan hidup ini rasanya diayun-ayunkan di atas perahu yang bergelombang besar. Di langit sana, gelap dan awan siap menutupi bumi, dan badai topan siap menerkam. Belum lagi memikirkan mau ke mana kami bertiga ini. Ke negara mana? Tapi harus keluar dari Tiongkok, dan sampai ketika itu belum ada keputusan akan menuju ke negara mana.

Aku sudah siap seandainya menerima tilpun, bukan mustahil tilpun itu adalah dari rumahsakit yang memberitakan kesedihan-puncak itu. Setiap ada deringan tilpun, syarafku terganggu. Darahtinggiku sudah samasekali tak terkontrol lagi. Aku tetap bekerja di Radio. Menyiarkan berita setiap hari. Ruangan warta-berita dan Taman Sastra dan Alam-Wisata Tiongkok dan Kudapan Beijing, selalu kubawakan. Ketika hari Imlek, hari raya Tiongkok, dan hari-hari libur tradisional Tiongkok kuminta kepada atasan agar aku bisa menggantikan teman-teman penyiar lain yang mau berlibur. Siaran Radio tak ada liburan, tetapi pegawai-pegawainya punya hak libur. Sedangkan aku orang asing tenaga-akhli yang dikontrak pemerintah Tiongkok, sudah sewajarnya punya perasaan mau berbagi solidaritas.

Pekerjaan banyak, pikiran sumpek dan kesedihan juga banyak dan akan segera membanyak, menggunung. Selalu setiap hari aku berdoa di kamarku,- "Tuhanku, kuatkanlah jiwaragaku, tuntunlah aku agar dapat memikul semua ini. Aku akan segera sekaligus bertugas menjadi ayah dan ibu, dan harus bisa menjadi panutan dalam mengasuh dua putriku yang baru mau menjadi dewasa. Tanpa bantuan, dan pertolongan dariMU, tidak mungkin aku dapat mengemban tugas berat ini. Dan lagi, Tuhanku, akan kemanakah kami ini? Akan menuju negara manakah, akan di manakah kami hidup, Tuhanku?", kataku dalam setiap doa.

Tuhan sudah pasti tahu, kami tidak bisa pulang, tapi juga Tuhan pasti tahu betapa kami inginnya pulang. Keluarga kami banyak yang dibunuh dan dipenjara, anak-anakku belum mengenal tanahair, belum mengenal akar sejarah bangsanya, belum mengenal keluarga besarnya. Terlalu banyak pikiran yang kuemban selama ini. Mengingat sakit kerasnya Wati, tetapi juga mengingat watak luhur ibu dari dua anak-anakku itu, terkadang terobati juga hati ini. Begitu banyak orang mengenal dan menyayangi Wati. Rasa simpati sangat besar dicurahkan kepadanya dari banyak pihak ketika sakitnya, sampai-sampai dutabesar-lama, memerlukan datang menjenguknya. Dan atasan kami pihak Radio dan pihak penanggungjawab pekerja asing, serta banyak teman-teman lain, selalu bergantian datang menjenguknya ke rumahsakit Persahabatan Beijing. Rasa simpati dan saling memperhatikan ini sangat membesarkan hatinya dan juga hati kami.

Paris 6 Juni 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.