Bab 11 :
Kecemasan dan Kekuatiran

Tidak hanya satu dua orang teman-temanku dan keluargaku menginap di rumahku
di Paris. Aku sangat merasa senang karena mereka mau dan bersedia menginap
di rumahku. Orang Indonesia di Paris sangat sedikit, sehingga kami
merasakan kangen dan sangat ingin bergaul dengan orang-orang yang langsung
datang dari tanahair. Baik dari pihak keluarga maupun teman-teman, para
sahabat dan kenalan biasa. Ketika itu kami belum bisa pulang, karena belum
punya paspor. Sedangkan paspor yang kami miliki ketika itu ada tulisan yang
sangat menyolok : berlaku untuk seluruh dunia, kecuali Republik Indonesia!
Kami bebas mau ke Portugal, atau ke Israel, yang mungkin untuk orang
Indonesia sangat sulit, tetapi buat kami samasekali tak ada soal. Yang
paling soal yalah, kami tidak boleh ke Indonesia, yang justru ke sanalah
kami paling mau dan rindu.

Maka wajarlah kalau kami bertemu dengan orang Indonesia yang "masih hangat"
dari Indonesianya, banyak sekali tanya-jawab mengiringi pertemuan itu. Dan
tamu-tamu kami yang menginap itu dengan hangat mengharapkan :
"Jangan lupa lho Mas, kalau pulang nanti harap ke rumah saya dan menginap
di rumah saya. Saya dan keluarga saya siap membawa sampeyan ke mana-mana
jika sudah di Indonesia nanti, tenan lho", katanya meyakinkan. Sudah tentu
kami sangat gembira menerima tawaran itu. Sangat hangat dan bersahabat. Dan
tidak hanya itu saja, antara kami masih bersurat-suratan bahkan kalau ada
peristiwa penting, misalnya ulangtahun, atau pesta pernikahan keluarganya,
anaknya, sunatan cucunya, kami saling bertilpunan. Rasanya hati ini bukan
main senangnya ada kehangatan antara keluarga, teman dan sahabat serta
kenalan.
Rasa kangen pulang agak terobati dengan hubungan begini. Tetapi di lain
pihak, karena kehangatan tadi itu, jadinya semangat pulang bertambah
menggebu-gebu. Dan apa yang kami tunggu belasan tahun ini, dengan rasa
sabar dan sedikit gemetar, karena gembiranya, maka seorang demi seorang
kami mendapatkan paspor kewarganegaraan Perancis. Kontan begitu dapat
paspor itu apa yang kami lakukan?
Cari tiket, booking buat ke Jakarta! Pekerjaan ini yang paling pokok, kalau
perlu ngutang dulu buat ongkos beli tiket.

Dan seorang demi seorang, bahkan ada yang dengan sekeluarganya pulang ke
kampunghalaman, yang sudah terpisah selama 30 tahun lebih. Dan, nah, tema
inilah yang mau kuceritakan. Sesampainya di Jakarta, bukan main kami pada
berkangenan dan melepas kerinduan dengan kaum keluarga dan sahabat serta
kenalan. Setiap hari sibuk bertemu dengan keluarga dan teman, hal ini wajar
dan tak ada anehnya. Tetapi setelah aku berusaha menilpun keluarga, teman
dan kenalan yang dulu pernah di rumah kami, dan yang begitu menggebu-gebu
mengajak datang ke rumahnya, mengajak menginap, lalu apa yang terjadi?
"Waduh sayang Mas ya, akhir-akhir ini saya bukan main sibuknya dengan
pekerjaan kantor. Rapat setiap hari, dan begitu pulang sudah larut malam.
Kapan ya baiknya bisa ketemu", katanya dalam tilpun. Masih sempat aku
berpikir, agar kesiapanku menerima segala kemungkinan yang tak sedap kalau
begitu tiba di Jakarta, tampaknya akan jadi kenyataan. Dan sekali-kali
janganlah memaksa orang yang memang tak mau ketemu dirikita.
"Begini sajalah", kataku,- "Pokoknya kan sampeyan tahu nomor tilpun saya,
nah, kapan sampeyan ada waktu dan kebetulan sempat bisa sewaktu-waktu
menilpun saya. Sementara ini saya tetap di Kayu Putih Utara, Jakarta Timur,
kan kita ini masih sama-sama di wilayah Jakarta Timur, kan?", kataku.
"Nah, kalau begitu simpatiklah usul sampeyan itu. Okey deh ya, salam dan
sampai ketemu kapan-kapan", katanya. Tampaknya teman itu bukan main
senangnya dengan usulku yang tidak memberikan beban berat kepadanya. Dan
aku sudah memperkirakan jauh sebelumnya. Tak ada tilpun sesudah itu, dan
akupun merasakan lebih baiklah tak usah didesak-desak mau ketemu. Biarkan
dia bebas menentukannya sendiri. Soal yang dulu itu, begitu hangat, begitu
bersahabat, begitu menggebu-gebu menawari datang dan menginap di rumahnya,
bisa saja sekarang ini berubah. Haruslah kuketahui, tidak semua orang
berani bertemu dan berkenalan dengan kami, apalagi di tanahairnya sendiri!
Ada yang berani, tetapi jauh di luarnegeri! Tak ada yang melihat, tak ada
yang mengawasi, tak ada yang menguntit dan melaporkan!

Ada seorang temanku, sudah jadi haji. Kami bersahabat sejak kecil di SD,
sampai pisah tahun 1963 itu, tetap antara kami hangat dan akrab. Dan saling
bertulisan surat, saling mengungkapkan rasa kekangenan dan kerinduan antara
kami. Sesudah saling janji mau ketemu dan mau ngobrol sepanjang malam kalau
aku suatu hari bisa pulang, masing-masing kami sudah merencanakan apa saja
yang mau diobrolkan. Tetapi tampaknya teman akrabku itu samasekali tidak
menyangka yang pada akhirnya aku bisa pulang. Maka tergagaplah ketika aku
menilpunnya begitu sampai di Jakarta Timur, sama dengan yang kutemui pada
kasus pertama.

"Aduh kapan ya kita bisa ketemu. Saya ini sedang sibuk memperbaiki rumah,
reparasi agak besaran. Jadi sekarang bagaikan kapal-pecah rumah kami ini.
Sangat tak sedap dilihat mata", katanya.
"Ya, kapan-kapan sajalah. Kalau sampeyan ada waktu saja nanti. Pokoknya
saya kan dalam dua tiga minggu ini masih di rumah ini. Bisa sampeyan
menilpun saya kalau ada waktu dan sempat".
"Nah, kalau begitu baik jugalah. Nanti kalau sudah agak senggang dan sudah
agak rapi, saya akan tilpun sampeyan", katanya. Sangat senang tampaknya
teman akrab saya satu ini dengan usul longgar begini.
Dan lagi-lagi kudapati kasus yang sama. Sampai pulang ke Paris, teman
akrabku itu, tak ada kabar beritanya. Dan akupun merasa senang, mengerti
dan bisa memahami mengapa mereka tak mau bertemu denganku. Bisa terjadi
banyak hal yang tidak menjamin keamanan hidup mereka. Lebih baik tak usah
bertemulah, daripada misalnya sesudah bertemu denganku, lalu ada ekor-ekor
jahat yang bisa melibas mereka. Dituduh macam-macam. "Tidak bersih
lingkungan" atau harus diinterogasi, siapa itu, dari mana dia, di mana
tinggal menetapnya. Atau paling celaka, tahu-tahu ada surat keputusan di
PHK-kan dari pekerjaannya karena hanya bertemu denganku. Jadi, para
keluarga dan teman-temanku dan sahabatku, sepenuhnya aku mengerti, mengapa
antara kita bisa terjadi hal-hal begini. Antara kita tak ada yang salah dan
bersalah. Soal dulu itu, yang sangat menggebu-gebu dengan semangat
hangat-bersahabat agar mampir dan menginap di rumah kami kalau sampeyan di
Jakarta nanti, sudah tentu bisa kita lupakan, anggap saja tak ada. Dan
bukankah bisa saja hanya sebagai basa-basi, atau karena keadaan kongkrit
atas situasi kongkrit, terpaksa kita harus saling mengertilah.-

Paris 1 Mai 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.