Bab 108 :
Dr. Isabelle Liauw,- Bagian Dua,- habis,-

Dulu ketika baru datang di Perancis, hampir lima tahun yang lalu, namanya Liauw Shen-ming. Dia keturunan Vietnam, warganegara Tiongkok. Hampir semua keluarganya sudah berdiam di Perancis. Ketika itu dia masih punya suami dan anak lelakinya yang sudah berumur menjelang 30 tahun. Suaminya mengidap penyakit jantung dan sudah tak bisa apa-apa lagi sejak 20 tahun belakangan ini.

Suatu ketika Dr Liauw bertemu dengan Tuan Lin di Beijing. Di Beijing ada konferensi kedokteran tentang perkembangan tusukjarum di Tiongkok. Tuan Lin begitu bertemu dengan Liauw, lalu tertarik, lalu dengan nekad terus mendekati Liauw dan langsung menyatakan jatuh cinta. Menurut cerita Liauw kepadaku, dia sudah mengatakan pada Tuan Lin, bahwa dia masih berstatus isteri orang, yang kini sedang sakit di Tientsin. Dan diceritakan pula oleh Liauw bahwa suaminya ini selama 20 tahun sakit tak sembuh-sembuh dan sudah tidak bisa apa-apa lagi. Mendengar keadaan begini, Tuan Lin rupanya semakin nekad, dan bermaksud mau melamar Liauw.

Liauw merasa heran juga, ( ini menurut cerita Liauw kepadaku, entah benar entah tidak, wallahualam bissawab, siapa bisa menjawab dalam gelap ) berani-beraninya mau melamar isteri orang kepada suaminya yang sah. Ini sangat mengherankan. Dan sebelum jatuh pada hari lamaran itu, Liauw menceritakan semua peristiwa ini kepada suaminya dan anaknya yang sudah jauh dewasa itu. Heran bin ajaib, lucu bin lugu, suami dan anak Liauw malah setuju! Suaminya bahkan mengatakan ambillah kesempatan ini, hidup bersamanya takkan ada apa-apa lagi dan katanya,-dia sudah 20 tahun membikin isterinya juga menderita. Jadi dia setuju dengan lamaran Tuan Lin dan mengizinkan mereka menikah dan pindah ke Paris.

Demikianlah, akhirnya Liauw menjadi isteri Tuan Lin. Padahal di Paris, masih ada keluarga Tuan Lin, isterinya dan dua anaknya yang sudah dewasa. Mereka ini juga keturunan Vietnam, tapi kelahiran Haiti. Ada kebenaran yang kulihat, sebenarnya Liauw tidak mencintai Tuan Lin, tetapi agaknya hanya semata-mata faktor kesempatan, agar Liauw bisa bergabung dengan beberapa keluarganya di Paris. Jadi benar juga canangan suaminya yang sah di Tientsin itu, dengan nasehat ambillah dan pergunakanlah kesempatan yang baik ini. Dan selama Liauw bersama Tuan Lin, hidup mereka seperti masing-masing. Yang satu tak mau tahu yang lain, masing-masing melakukan kewajiban sehari-harinya sendiri.

Dalam pada itu Liauw menggunakan kepandaiannya dan profesi kedokterannya praktek tusukjarum dari rumah ke rumah. Menurutku pedapatannya dari praktek ini cukup lumayan, punya pemasukan sendiri dan bisa hidup berdikari. Tidak banyak uang, tapi selalu punya uang. Liauw setiap hari mengobati beberapa pasien setiap harinya. Dan pada suatu kali dia dengan terengah-engah datang dengannafas yang kelelahan. Ada apa dan mengapa sampai begitu. Dia menjawab, ada berita buruk, bahwa suaminya yang di Tientsin meninggal. Dan kami para pasiennya turut berdukacita, dan dengan rela melepasnya buat segera pulang ke Tientsin buat keperluan mengurus jenazah suaminya.

Liauw selalu pulang ke Tiongkok dua kali setahun. Pertama ketika tahun baru Imlek, antara akhir Januari dan pertengahan Februari, kedua ketika musimpanas, Juli-Agustus. Sebenarnya katanya dia sangat mencintai tanah Tiongkok, tetapi hampir semua keluarganya ada di Perancis. Kendala yang sangat memberatkannya yalah karena Liauw belum bisa berbahasa Perancis dengan baik dan lumayan. Jadi kontradiksi pokoknya memang bahasa itu. Dia cinta tanah Tiongkok, tetapi keluarganya hanya tinggal satu, yaitu anaknya sendiri. Sedangkan di Perancis banyak keluarganya, tetapi dia tidak senang hidup di Perancis.

Dulu ketika dia mau pulang ke Tiongkok, bisa kapan saja, tinggal beli tiket. Kenapa? Karena dia pulang ke tanahairnya sendiri. Tetapi begitu dia sudah masuk warganegara Perancis, dia harus minta visa buat masuk Tiongkok! Dan dia marah-marah, katanya, justru setelah jadi orang Perancis malah susah-susah mau pulang ber-Imlek dan liburan musimpanas. Kukatakan pada Liauw, kamipun begitu, harus minta dan antri ke-kedutaan Tiongkok dulu, minta visa dulu. Ini peraturan internasional, siapapun harus minta visa dulu. Sebab pemerintah Tiongkok mengharuskan begitu bagi banyak bangsa lainnya di dunia ini. Kami-, kataku menjelaskan kepada dokter Laiauw-, ke mana-mana apalagi Asia Tenggara, selalu bebas visa, tapi kalau mau ke Tiongkok, mutlak harus minta visa dulu. "Kenapa, kenapa harus begitu?", kata Liauw. Ya, itu peraturan yang dikenakan oleh pemerintah Tiongkok kepada bangsa dan negara lain, kataku.

Apakah kamu menyesal masuk warganegara Perancis?,-kataku suatu hari. Menyesal sih tidak, tetapi dulu ketika saya masih belum warganegara Perancis, enak saja dan mudah saja pulang-pergi Tiongkok-Perancis. Kini malah bertambah susah, itu yang saya tidak mengerti, kata Liauw. Tampaknya dia merasa peraturan itu hanya buat mempersusah dirinya saja.

Selalu saja ada perubahan kehidupan pada diri dokter Liauw. Begitu dia diterima menjadi warganegara Perancis, namanya harus diubah, dan menjadilah nama itu Isabelle Liauw. Dan kontradiksi intern rumahtangganya, dengan suaminya Tuan Lin, semakin meruncing. Berbagai persoalan yang ada-ada saja ketidakcocokan, dan perseteruan kecil, yang lama-lama jadi besar. Dan pada akhirnya Isabelle pindah dari rumah suaminya, dan menumpang di rumah salah seorang pasiennya yang juga dokter, berkebangsaan Perancis. Tapi di rumah itu dia merasa tidak bebas, orangnya sih baik dan ramah, tetapi kan saya sekali-sekali ingin juga bikin masakan cina asli, katanya, dengan masakan pakai bawangputih, cara cina,- tapi kan mana mungkin! Dan Isabelle semakin merasa serba susah dan selalu menemui keterbatasan dalam kehidupan nyata ini.

Perkara dan cerita ini betul-betul menjadi begitu rumit dan berbelit. Tuan Lin adalah pengusaha bahan makanan sea-food yang sudah dibekukan. Dulu tokonya persis di depan resto kami, Restoran Indonesia. Dan kami berlangganan berjenis udang pada toko Tuan Lin. Udang ini buat sate udang dan buat pelengkap laukpauk nasi goreng. Dengan demikian dia mengenal kami dan mengenal diriku. Ini tahun 1985, sangat jauh sebelum dia menikahi Isabelle. Dan kuceritakan pada isterinya, Isabelle, dan Isabelle sangat wanti-wanti berpesan agar aku tutup-mulut dan jangan sampai cerita apa-apa tentang dirinya mengobati dengan tusukjarum kepada sekeluarga kami. Dan aku mentaatinya. Tetapi kalau benar-benar aku perlu Isabelle, aku bisa menilpunnya ke rumah mereka. Dan beberapa kali aku menilpun Isabelle, tetapi yang menjawab adalah Tuan Lin. Dan Tuan Lin tidak tahu bahwa yang menilpun itu adalah aku yang dulu selalu dipanggilnya, "Allo, monsieur professor, ca va bien?", katanya. Sebab dia tahu aku menjadi professor ketika di Beijing dulu.

Tapi ketika itu Tuan Lin masih gagah. Seperti bintang filem Kuomintang, sebab selalu pakai kumis melintang. Dan ketika Isabelle pindah ke rumah temannya, pisah rumah dengan Tuan Lin, sangat jarang Isabelle berhubungan tilpun dengan suaminya itu. Rupanya selama itu Tuan Lin ada di sanatorium dalam perawatan intensif. Sakitnya berbagai macam, karena terlalu banyak minum, sakit lever, sakit prostat, dan yang lainnya.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat dicegah, lagi-lagi Isabelle menerima kabar buruk. Suaminya Tuan Lin meninggal di sanatorium, yang selama ini sudah hampir setengah tahun dirawat di sana. Ketika dia datang tusukjarum padaku, aku mengucapkan belasungkawa yang sedalamnya. Tapi kulihat Isabelle tak ada tampak kelihatan bersedih, hanya memang wajahnya muram, kusut. Dan ketika kutanyakan bagaimana dan apa saja perasaannya kini? Dia menjawab, terusterang saja katanya, dia bukannya bersedih, merasa kehilangan, tapi merasa akan ada lagi sesuatu yang akan menimpanya. Lalu apa itu,- kataku. Saya kuatir anak-anak dan isteri Tuan Lin akan menuntut saya, dan mengusir saya dari rumah itu. "Tapi bukankah kau sudah pindah ke rumah dokter Gerard?", kataku. "Itu kan buat sementara, sedangkan rumah Lao Lin itu adalah sebenarnya hak saya punya saya juga, bukankah membelinya bersama saya ketika kami baru menikah dulu itu?", kata Isabelle.

Mendengar kata-kata pertanyaan dan pembelaan diri secara begini, aku teringat pada suatu kali, Isabelle pernah minta padaku agar dia diperkenankan tinggal bersamaku di rumahku yang sekarang ini. Ketika itu aku segera berpikir, sebagai apa lalu? Sebagai pacar? Sebagai orang kumpul kebo atau sebagai suami isteri yang sah menikah? Semuanya tidak mungkin! Dan kini yang aku tahu saja, Isabelle sudah dua kali kematian suami. Lalu,,,,,lalu, seandainya dan siapa tahu aku menjadi suaminya yang ketiga, apakah aku lalu menjadi korban yang ketiga? Dan sebagai apa statusku kalau dia tiba-tiba pindah ke rumahku yang sekarang ini? Bukankah dulu pernah kukatakan kepada banyak teman-temanku bahwa kini aku sudah betul-betul tutup-buku bagi semua wanita!

Baiklah soal itu bukan persoalan benar. Tetapi persoalan dan perihal dokter Isabelle memang terlalu banyak persoalan, dan liku-liku dan belitan oleh jalinan kehidupan yang teramat rumit. Tetapi lalu aku mau apa. Apa dayaku! Aku mau meringankan penderitaan kehidupannya, tetapi rasanya aku tak mau kalau karena semua itu lalu aku sendiri juga sama-sama menderita dan lalu sama-sama tenggelam tak timbul-timbul lagi. Karena aku juga membawa suatu deretan kereta yang tidak hanya aku saja. Benar mungkin aku bukannya lokomotif, tapi katakanlah aku adalah gerobak-tua,tapibanyak gandengannya. Itu di belakang ada dua anak-anakku, dan empat cucuku, dan sederetan teman-temanku. Makanya kataku dalam batin, sudahlah jangan lagi menambah kontradiksi yang sudah ada. Yang sudah ada ini saja sudah bukan main sulit mengurai benang kusutnya, mau lagikah menambah benang kusut baru?,-

Paris 3 Juni 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.