Bab 106 :
Sebuah Rumah dan Tamuku,- Bagian Dua,- habis

Rumah lama dengan rumah baru jaraknya sekira 300 meter saja. Rumah lama kami diami sejak awal tahun 1984 sampai dengan 1994, dan rumah baru dari tahun 1994 sampai kini. Mengingatnya gampang, kami dapat rumah pada 14 Februari, hari Valentine, hari bercintaan, hari asmara. Lalu pindahnya pada hari pertamanya tanggal 21 Maret, hari pertama musimsemi. Ini hanya kebetulan saja, samasekali tidak direncanakan dan tidak disengaja. Tahu-tahu setelah dapat dan pindah, barulah ketahuan hari apa dan berkenaan dengan apa, hanya itu saja,-

Lalu karena pada tahun itu banyak teman dan keluarga tahu bahwa kami sudah punya kediaman tetap yang lebih luas dari dulu, maka dengan senang hati mereka berdatangan, karena kamipun sangat bersenang hati menerima mereka. Bahkan sering-sering menawarkan, kapan datang ke rumah kami. Pernah dalam satu malam, rumah yang sebenarnya tak begitu luas, cukup untuk bertiga berempat, diinapi sebanyak 11 orang dengan kami 4 jiwa. Teman-teman kami dari Selandia Baru, Indonesia, Jerman, dan lainnya. Bahkan juga ada sepasang muda dari AS, yang suaminya berkebangsaan Amerika.

Lalu, dan yang lucunya, selama baru saja dua tahun, sudah ada 4 orang pendeta yang menginap di rumah kami. Pertama sekeluarga pendeta, sang bapak yang berumur 77 tahun, dan anaknya seorang ibu dengan putrinya berumur 3 tahun waktu itu, dengan suaminya. Semuanya keturunan orang Maluku, dan bapak pendeta itu meninggal di Ambon pada tahun berikutnya. Anaknya wanita yang pendeta itu pulang ke Ambon buat menghadiri upacara pemakaman bapaknya. Jadi bapak dan anak keduanya sama-sama pendeta. Hubunganku dengan keluarga ini sampai kini dekat dan bersahabat. Pendeta wanita ini bertempattinggal di Holland dan aktive bekerja buat umatnya di organisasi Perki.

Lalu ada lagi seorang pendeta muda, berkebangsaan Korea Selatan. Bagaimana riwayatnya lalu tahu-tahu menginap di rumah kami? Bregas, menantuku itu, sedang mengantar tamu dari Indonesia, termasuk rombongan Habibi, ketika masih menjadi menteri Ristek. Bregas bertugas siangmalam mengantar tamu ke seluruh bagian kota Paris ini. Pada suatu malam dia bertemu dengan seorang tamu yang mau menginap di hotel di mana delegasi Habibi menginap. Tetapi orang Korea ini tak dapat kamar. Dan dia mengeluh sudah ke mana-mana kamar penuh. Dan seperti biasa, Bregas ini adalah berperasaan lembut dan lekas jatuh kasihan. Kontan saja ditawarkannya kalau mau menginap di rumah kami. Dan ternyata orang Korea yang pendeta itu mau saja dan merasa sangat senang ditawari dan diajak menginap.

Malam-malam Bregas datang membuka pinta berdua dengan pendeta Korea itu. Semula kami heran, "siapa lagi yang dibawa Bregas menginap ini", demikian pikiran kami berdua Nita, isteri Bregas. Setelah tahu bahwa orang ini memerlukan penginapan, maka kami menyambutnya. Menyediakan tempat-tidur dan ngopi atau ngeteh dulu, bicara sekedarnya, barulah beristirahat. Sebab keesokan harinya tamu kami pendeta Korea ini akan meneruskan perjalananya ke Hawai buat menghadiri suatu konferensi seluruh pendeta di wilayah Asia dan Amerika di Hawai.

Pendeta Kim Mok itu sangat berterimakasih kepada kami, sambil mengatakan katanya, Nita yang sedang mengandung-tua itu, diramalkannya akan melahirkan anak laki-laki. Kami diam saja dan menyatakan terimakasih atas ramalan dan kerelaannya telah mau menginap di rumah kami. Ketika itu tentu saja kami sudah lama tahu akan jenis kelamin kelahiran bayi Nita, sebab menurut analisis laboratorium di mana Nita akan melahirkan nanti, sudah dikatakan dokternya bahwa nanti bayinya adalah laki-laki.

Kami makan pagi bersama dengan pendeta itu sebelum diantarkan Bregas ke lapanganterbang Charles de Gaule. Dan dia sangat berterimakasih atas penerimaan kami itu.

Lalu ada lagi seorang pendeta dari Amerika Serikat namanya Max. Dia ini aktivis urusan kemanusiaan. Menurutku lebih banyak dia mengurus dan aktive sebagai aktivis kemanusiaan daripada seorang penggembala umat. Ketika kukatakan pendapatku ini, dia tertawa, "mungkin pendapat sampeyan itu benar, tapi mungkin juga sama saja tokh, kan mengurus umat dan menggembala juga kan urusan kemanusiaan, apa nggak begitu", katanya sambil mengakak. Dan aku setuju saja dengan pendapatnya. Dia hidup di AS sudah lebih dari 40 tahun, sejak muda belianya, berasal dari Jakarta-Tanggerang. Jadi bahasa Indonesia dan Sundanya masih cukup lancar. Dan ketika itu banyak sekali dia bercerita yang bagiku sangat menarik. Sebab dia baru saja pulang dari Timor Timur, dan dia menyaksikan sendiri kekejaman Abri dengan serdadu Suharto-Orbanya. Pendeta Max akan selalu berkata : "ya ampun". Apa saja ujung kalimat yang diucapkannya atau kita bercerita yang dia terheran-heran, dia akan menyelipkan kata-kata "ya ampun, kok bisa begitu ya", "ya ampun bisa-bisanya begitu". "Ya ampun, apa benar bisa begitu?",- katanya hampir sesudah dua tiga kalimat percakapan.

Empat orang pendeta pernah menginap di rumah kami. Dalam ujung terdalam hati ini ada juga rasa senang dan bangganya. Rumah kami yang sederhana yang walaupun berpintu duabelas ini, "laku juga ternyata", begitulah kata batinku. Dan memang pernah aku menghitung ada duabelas pintu termasuk pintu gudang, dan pintu apa saja asal dapat dikatakan pintu, di rumah kami. Secara ilmu ke-fengshui-an yang kupelajari, rumah dengan begitu banyak pintu, tidaklah begitu baik. Tetapi kata hatiku, kalau didatangi banyak orang, siapa tahu ilmu fengshui-pun akan bisa berubah arah, karena "hawa - chi - tenaga-dalam setiap orang" akan berbeda dan saling mengisi, dan lalu bisa menetralisir yang buruk dan jahat menjadi tawar dan hambar, tidak tajam dan runcing lagi.

Kini kembali rumahku kedatangan tamu. Begitulah menjelang musimpanas selalu saja ada tamu yang datang buat menginap. Dan kami sangat senang menerimanya, rasanya kita ini tidak sepi sahabat dan kenalan. Kata orang, banyak sahabat dan kenalan yang baik, adalah suatu kekayaan batin dan jiwa. Kukira benar juga dan lama-lama terasakan juga dalam hati, karena memang begitulah adanya.

Lalu apakah ada tamu-tamu yang agak aneh, atau agak lain, agak sukar, atau pokoknya jadi urusan kesulitan dan kerumitan? Mungkin ada, tetapi mungkin juga belum sampai taraf begitulah. Tetapi bila kurenungkan, jangan-jangan aku ini sudah punya dosa kepada seorang dua tamuku. Mengapa?

Ada dua orang tamu wanita, yang umurnya sebayaku, artinya termasuk usia-pensiun. Yang satu punya kemampuan energik, bisa jalan jauh dan lama, dan selalu menaruh perhatian pada sesuatu. Suka melihat dan memperhatikan hal-hal baru, bersemangat, banyak mau tahu dalam pengertian baik dan positif. Lalu yang satunya sangat bertentangan dengan yang baru kusebutkan tadi, serba takut susah, takut dingin, takut capek, takut lelah. Bergerak sedikit saja sudah merasa capek dan lelah, dan lekas merasa takut dingin. Sehingga pada acara apapun si Inem ini akan menjadi beban orang lain. Sebab sedang mau jalan mau naik metro atau bis atau kereta, lalu dia mengeluh capek, lelah dan letih. Atau dingin, atau "masih jauh nggak ini, lha, kok nggak nyampe-nyampe sih. Kalau di Jakarta nggak bakalan begini, naik mobil atau taksi saja, beres. Di sini kok katanya Paris, tapi kok sering-sering melelahkan", begitu katanya dengan kesal.

Kalau diajak jalan dan melihat sesuatu obyek turis di Paris, si Inem ini yang akan selalu jadi batu-penghalang, sebab dia tak mau pergi. Kenapa? Dia akan selalu mengatakan capek, lelah dan letih. Atau "kok dingin-dinginnya, kenapa kita harus jalan sih?". Pokoknya selalu tidak senang ini tidak senang itu. Memang dia punya penyakit gula, tetapi sebenarnya tidaklah gawat, malah menurutku seharusnya dia selalu bergerak berolahraga. Yang tidak boleh yalah terlalu capek, over capek, itu tidak boleh. Tetapi aku juga punya penyakit gula, darah tinggi, prostat, dan beberapa lagi. Hanya harus kulawan, harus banyak olahraga dan gerak. Penyakit itu jangan sampai dimanjakan, tetapi harus dicegah, dilawan, disingkirkan. Salah satu cara menyingkirkannya yalah harus banyak gerak, banyak olahraga.

Nah, pengalaman inilah yang kukatakan dan kunasehatkan pada tamuku Inem ini. Sebab kalau terus-terusan Inem bersikap begini, kasihan temannya yang satu itu. Tak dapat apa-apa, tak melihat apa-apa. Lalu apa gunanya ke Paris, beli karcis mahal-mahal. Begitu sampai di Paris hanya ngendon di rumah atau di hotel saja. Kan rugi, dan juga merugikan orang lain, secara tak sengaja sebenarnya menghalangi kemajuan dan semangat hidup orang lain. Dan semua perasaan dan pikiranku ini kunyatakan kepada si Inem. Hal inipun karena kulihat Inem cukup sehat, cukup mampu melakukan semua "pekerjaan turisnya" itu. Hanya malasnya, takut capeknya, manjanya itu yang membikin dirinya lemah tak berdaya. Dan polahtingkahnya itu sangat merugikan teman-teman lainnya. Sebab si Inem-lah yang menghalangi rombongannya buat melakukan "sebagai tugas turisnya" karena sedikit-sedikit tak mau, tak ingin, karena takut capek, takut lelah dan takut dingin.

Usut punya usut, katanya si Inem ini adalah anak-tunggal, lalu kematian suaminya. Dulu hidupnya sangat senang, sebab isteri seorang Kombes, Komisaris Besar Polisi. Di rumahtangganya sendiri jarang kerja, sebab banyak pembantunya, "babu dan jongos pelayannya sendiri" ada lima enam orang,- begitu kata temannya yang "menderita" akibat kemanjaan si Inem ini. Dan disinilah barangkali dosaku terhadap tamuku sendiri. Sebab telah berani-beraninya mengajukan pendapat yang dirasakannya bisa menyakitkan hatinya. Ada juga rasa penyesalan di hatiku walaupun hanya sedikit, kenapa sih berani-beraninya menasehati orang yang adalah tamuku sendiri. Memang barangkali aku kasar, tidak sopan, tetapi mauku memang berkehendak baik, bukannya yang jelek. Tapi hanya sebegitulah kemampuanku dalam pergaulan dengan para tamuku. Semoga mereka mengerti, yang kuinginkan yalah, semua kita maju, semua kita senang dan tak terhalang, terus dan mulus,-

Paris 1 Juni 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.