Bab 101 :
Bacaan Ringan : BERRY

Apakah pekerjaan yang kuanggap berat bila aku ada di rumah anakku Nita di Holland? Membersihkan rumah, mencuci piring-mangkuk, menjemur pakaian yang banyaknya menggunung itu? Atau masak makanan buat sekeluarga anak-cucu? Tidak, bukan itu! Tapi menjaga Berry! Berry cucu yang berumur tiga tahun lebih ini nakalnya minta ampun, bandel, dan terkadang kolokan. Tapi semua orang menyukainya, mencintainya, menyayanginya. Kalau aku sedang bertugas menjaganya di rumah, wah, capek, lelah, tapi sangat menyenangkan, lucu, senang. Dia mengajakku main bola, main cepat-cepatan pasang puzzle yang aku tak pernah menang, atau main sembunyi-sembunyian, dan mendorong gerobak yang di dalamnya banyak mainannya, mobil, motor. Kalau aku sudah capek karena harus menendang bola lurus ke arahnya, dan aku berhenti, dia akan agak membentak :

"Ayo kakek, cepat ambil, lalu tendang lagi ke Berry, yang lurus". Dan setiap pagi aku harus mengantarkannya ke sekolah Taman Kanak-Kanaknya yang tak jauh dari rumahnya. Harus pula pakai kereta-dorongnya dengan dia di dalamnya. Dulu ketika Azizah, orang Marokko itu selalu mengantarkannya, dengan dua anaknya lagi, Saadiah dan Habibah, dua-duanya wanita, Berry selalu didorong dengan purchette itu. Dan sudah kukatakan, tentu saja dalam bahasa Indonesia agar Azizah tidak mengerti.

"Berry, kamu kan lebih tua dari Habibah, dia baru saja mau tiga tahun, kamu sudah tiga tahun lebih. Seharusnya Habibahlah yang naik kereta ini, bukannya kamu!", kataku. "Ya, tapi dia tidak marah, dan Azizah selalu saya yang disuruhnya naik, bukannya Habibah", katanya membela diri. "Kamu tahu Berry, kamu kan laki-laki, dan umurmu lebih tua,dan diakan wanita.Biasanya kita laki-laki itu kan harus bisa mengalah dan menyilahkan seorang adik kita naik purchette", kataku. Lalu dengan agak marah Berry turun. Azizah heran mengapa Berry tiba-tiba turun. Dan menanyakan pada Berry apa yang terjadi dengan kakek. Lalu Azizah kembali menyuruh Berry naik kembali purchette-nya. "Nah, coba kakek lihat, Azizah sendiri yang suruh Berry naik", kata Berry.

Ternyata Berry memang juga dimanjakan keluarga Azizah. Keluarga Azizah orang Marokko itu, punya anak dua, semua wanita, maka "jadi rajalah si raja perang kecil" ini. Dan suami Azizah Tuan Salam dan bapaknya sendiri, Tuan Somad, juga menyayangi Berry. Sering Tuan Somad mengantarkan sendiri Berry pulang dengan mobil kamionnya yang sehari-harinya selalu melewati rumah kami bila Tuan Somad menuju mesjid yang dekat dari situ. Dan Berry juga sering makan di rumah keluarga Azizah. Sudah tentu untuk semua pekerjaan ini keluarga anak-mantuku membayarnya secara adil dan masukakal. Tetapi kulihat dan setelah kuhitung-hitung, tetap saja keluarga Azizah ini adalah keluarga yang baik, bukan berdasarkan keperluan dan kebutuhan keuangan, tetapi terlebih-lebih karena kesayangan, persahabatan, dan kecintaan.

Dulu ketika Azizah masih bekerja pada keluarga Sarbani orang Iran tetangga Nita yang lama, sering mereka ini bentrok. Semua gara-gara jam yang tak tepat, janji yang tak tepat, dan pembayaran yang kurang. Dan ketika keluarga Sarbani tahu bahwa Azizah bekerja pada keluarga Nita, dan lebih-lebih lagi Nita mempercayakan anaknya, Berry, dan seluruh rumahnya dengan menyerahkan kunci kepadanya, bukan main heran dan tidak senangnya keluarga Sarbani.

"Nita, betul kamu menyerahkan kunci buat Azizah yang bebas memasuki rumahmu?", tanya Azizah mau tahu. "Betul. Agar dia tidak terikat waktu dengan saya. Saya kan bekerja, suami saya bekerja, dan Berry banyak ikut dia, antar kesekolah, jemput, sedangkan kami tidak ada di rumah". "Kamu sudah tahu betul siapa Azizah dan siapa itu orang-orang Marokko?", kata Sarbani. "Tahu semua", kata Nita. "Kamu tidak kuatir akan kehilangan barang-barang berhargamu. Ingat lho, dia itu orang Marokko. Banyak yang suka ngutil, mencuri dan menipu. Saya sih hanya mengingatkan saja". "Oh, terimakasih atas peringatanmu itu. Tapi rasanya sih atau semoga tidak akan terjadilah seperti yang kau ingatkan itu".

Memang ada hal-hal terjadi pada satu-dua kejadian begitu. Tapi menurut kami, asal kita saling percaya, saling mengenal dan dekat, saling merasa punya perhatian, kecintaan dan kesayangan, maka hal-hal negatif lainnya semoga saja terhindar. Dan nyatanya kedekatan dan persahabatan ini sudah masuk tahunan lamanya. Ketika hari Raya Lebaran Haji, Idul Korban, keluarga Sarbani dengan sangat mengundang kami makan di rumahnya. Dan sering antara kami saling mengantar makanan. Berry merasakan keluarga Azizah sudah seperti keluarganya sendiri.

Suatu hari pernah Berry berkata begini di depan mama-papanya. "Kakek yang di Paris, itu adalah kakeknya Berry. Tapi papanya Azizah juga adalah kakeknya Berry". Lalu dia diam, dan kami menunggu lagi apalagi yang mau dikatakannya. "Lalu siapa lagi kakeknya Berry?". Tapi Berry diam saja dan kami menunggu jawaban. "Bukankah ada lagi, kenapa tidak kamu sebut? Bukankah kakek yang di Hoorn, Opa dan Oma, juga adalah kakek dan nenek Berry?". Oom Sukardiman dan Tante Anneke, ibu-bapaknya papanya Berry, dia tidak sebut. Ada apa ini?

Beberapa waktu sesudah itu, dapatlah jawaban itu. Pada suatu hari Berry ingin menginap di rumah Opa-Omanya di Hoorn. Tentu saja mama-papanya sangat senang, sebab akan menyenangkan sang kakek dan nenek yang juga memanjakan cucu pertamanya pula, dan laki-laki pula, dan nakal serta cerdas pula. Janji semula Berry mau menginap selama tiga hari, sebab liburan sekolahnya. Tetapi setelah baru saja sehari, Berry sudah menilpun mamanya ke Almere, agar menjemputnya buat pulang. Tak mau lagi melanjutkan menginap selama yang dijanjikannya. Ibunya menjemput. Dan Berry tampak berwajah asam dan tak gembira.

Kalau sudah terjadi hal-hal begini, ibunya selalu dengan rasa sayang dan kecintaan seorang ibu, menanyakan apa sebenarnya yang terjadi. "Mama lihat kamu sangat sedih. Ada apa Berry sampai begitu sedih, apa yang terjadi Berry?". Berry diam saja, dia samasekali tidak ngomong. Tetapi airmatanya menggenang, dan lalu isak-tangisnya terdengar sesengukan. "Ayo, Berry harus katakan sama mama, agar mama tahu apa sebabnya, nanti kita pecahkan solusinya. Semua persoalan pasti akan terpecahkan dengan baik, tapi kita harus jujur dan terus terang", kata ibunya. Sudah sejak dulunya, Nita selalu berkomunikasi dengan baik terhadap anak-anaknya, jelas dan tidak menganggap persoalan ini adalah persoalan anak-anak, tetapi persoalan antara manusia, antara orang, bukannya secara umur dan tingkat kederajatan.

Sesudah agak tenang dan isakan tangis Berry sedikit mereda, berkatalah dengan suara agak tersangkut-sangkut. "Opa jahat, Opa tidak suruh Berry lihat tele(visi). Opa lalu bentak Berry dan suruh tidur. Lalu Opa sendiri yang nonton, Berry disuruh ke atas tidur dengan Oma". "O soal itu, tapi mungkin Opa benar, sebab hari sudah terlalu malam, sedangkan anak-anak seperti Berry harus sudah tidur". "Tapi kenapa Opa boleh nonton, Berry harus tidur cepat?". "Ya, karena Opa kan orang tua bukan lagi anak-anak yang harus segera lekas tidur pada jamnya. Sedangkan Berry masih kecil dan anak-anak, kalau sudah jam tidur ya harus tidur, tidak boleh lagi nonton tele", kata ibunya meyakinkan. Dan sebuah misteri anak-anak terbuka katupnya.

"Jadi, tetap saja Opa dan Oma adalah Opa dan Oma-nya Berry. Dan kalau menyebut siapa Opa dan Oma-nya Berry, yang di Hoorn tetap adalah Opa-Oma Berry, ya kan sayang?!", kata ibunya. Tampak Berry agak berat dan menganggukkan kepalanya belum rela sepenuhnya. Rupanya "sakit hatinya" karena "bentakan" itu juga bisa merasuk kepada hati anak-kecil, anak balita. Mungkin saja kadar bentakan itu cukup tidak bisa dipikul anak sekecil itu, tapi mungkin saja si anak karena tidak pernah mengalami hal-hal demikian, lalu menjadi sangat berkesan dalam hatinya, yang lalu tidak mau menyebutkan orang "yang sudah menyakitkan hatinya itu".

Dan pada biasanya kami selalu berusaha sejalan dalam cara dan membawakan pendidikan ini. Memang Berry adalah anak cerdas, menyenangkan, pada pokoknya semua orang yang mengenalnya akan bersimpati padanya. Tetapi bila salah-didik, benar-benar anak ini bisa jadi "raja-perang kecil" seperti kata Opanya,"pangeran Soreng - Bandung", karena asal papa dan neneknya orang Soreng - Bandung. Dan sampai kini keluarga Azizah dari kakek Saadiah dan Habibah, menjadi sahabat kami yang dekat, terpercaya, dan saling mengerti dan penuh rasa kekeluargaan. Ternyata pemberian kepercayaan yang sepenuh hati, akan diterima oleh hati yang juga tahu, merasakan, melihat kenyataan sehari-hari dalam kehidupan ini,-

Paris 26 Mei 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.