Ketika kami berada di lapanganterbang Buluhtumbang, Belitung, untuk pulang
  ke Jakarta, dan mendekati
  keberangkatan pesawat, banyak sekali orang-orang yang kulihat mengantarkan
  kami. Kutanyakan pada Si-
  han, ponakanku dan juga pengantar kami, siapa mereka. Sihan menjawab,
  hampir semua mereka adalah keluarga kita, katanya, dan memang mereka
  mengantarkan keberangkatan kami pulang ke Jakarta dan Paris. Lalu kenapa
  ketika mau berangkat begini, barulah mereka muncul. Sebab ketika kami di
  hotel selama 5 hari itu, banyak wajah yang kini sulit aku mengenalnya, dan
  rasanya banyak yang tak pernah datang ke hotel. Dan kutanyakan lagi pada
  Sihan siapa di antaranya. Para pengantar itu tidak bisa mendekat dan kami
  tidak bisa lagi ke luar, karena sudah dalam daerah tertutup dan terlarang,
  karena sebentar lagi para penumpang akan masuk pesawat. Jadi antara yang
  mengantarkan dan yang diantar, hanya berpandangan dari jarak beberapa
  meter, hanya saling melambaikan tangan, dan saling senyum-senyum. Lagi-lagi
  kutanyakan pada Sihan, siapa-siapa mereka. Dan Sihan menunjukkan seseorang
  yang agak tua, yang beda umurnya sekira 3 a 4 tahun denganku. Dan dia dari
  jauh melambaikan tangannya, senyum, dan berkata dengan mulut komat-kamit.
  Tentu saja kami saling tak bisa mendengar, hanya bisa saling melihat.
"Coba Pak De perhatikan benar-benar, yang berkudung putih itu siapa? Apa
  Pak De masih ingat?", kata Sihan. Dan aku lama memperhatikannya, sambil
  melambaikan tangan, dan membuka mulut tapi tak satu terucapkan dengan
  suara.
  "Sihan, aku tahu dia, tapi kira-kira saja. Apakah dia bukan tantemu, Bu
  Ngah Hamimah?", kataku. Sihan hampir menjerit karena tak disangkanya bahwa
  aku telah dengan tepat mengatakan hal sebenarnya. Malah sekarang Sihanlah
  yang kulihat berwajah redup, lalu Hamimah yang sudah jadi nenek itu, dari
  jauh tetap melambaikan tangannya padaku, dan kami saling berkata dengan
  gerak-gerik tangan, wajah dan muka, tanpa bersuara. Hamimah adalah adik
  dari ibu Sihan, dan ibu Sihan serta Hamimah ini adalah anak dari adik
  ayahku, jadi kami sepupu. Ayah hanya dua bersaudara saja, dengan adiknya
  wanita bernama Zahara. Dan menerawanglah kenangan lama yang ternyata
  Sihanpun pernah diberitahukan oleh Bu Ngah Hamimah ini. Pernah orangtua
  Hamimah, Pak dan Bu Lik Zahara mengatakan kepada ayahku, bagaimana
  sekiranya anak kita ini dijodohkan. Ayahku sebenarnya tidak begitu setuju,
  tetapi karena ini adalah harapan adik kandungnya, dan lagi karena sesaudara
  tetapi silang tidak sejajar, karena laki-laki dan perempuan, maka
  pernikahan itu sah-sah saja adanya kalaupun semua sudah bersetuju. Kepada
  kami, Hamimah dan aku, juga dikatakan harapan orangtua kami itu. Mereka
  sangat tahu bahwa kami ketika kecilnya sangat dekat dan berkawan, abang dan
  adik. Begitu mendengar harapan itu, maka perkawanan kami malah menjadi
  tidak seerat dulu lagi, sudah saling malu dan menjauh. Tetapi kami saling
  tahu dan
  bersepaham, bahwa kami tidak punya perasaan lain, hanyalah benar-benar
  seperti abang dan adik. Lalu bagaimana bisa dijodohkan begitu saja. Kami
  merasa tidak mungkin, tidak ada alasan, antara kami tidak ada perasaan lain
  sedikitpun. Akhirnya kedua orangtua kami "mengundurkan" maksud hatinya. 
  Dan
  lama sesudah itu barulah perkawanan kami menjadi erat lagi seperti
  sediakala.
Lalu kutanyakan lagi kepada Sihan, mengapa Bu Ngah Hamimah tak mau
  menemuiku di hotel dulu itu, dan tidak berusaha mau ketemu diriku? Jawaban
  klasik orang-orang kampungku, mereka sangat mau bertemu dan melepas
  kekangenan dan rindu, tetapi takut, tidak berani. Akibat hal kecil begitu
  saja, bisa hilang pekerjaan, hilang dan berpecahan periuk-belanga,
  piring-mangkuk, bahkan bukan mustahil masuk----lagi ke dalam! Dan barulah
  aku mengerti dan paham selukbeluknya, mengapa mereka hanya berani me-
  ngantarkan pulang dan itupun hanya di lapanganterbang saja. Lama aku
  terhenyak dan terdiam tak bisa ngomong. Cerita begini ternyata belum
  selesai dan ada-ada saja ekornya buat mempersedih diri.
  "Tahukah Pak De, siapa yang diujung sana"? Kulihat seorang wanita 
  agak
  tua juga, tetapi tidak setua Hamimah. Dia melambaikan tangannya ke arahku.
  Dan aku menjawab lambaian tangannya.
  "Coba ingat-ingat, siapa dia"?, kata Sihan mau tahu. Dan seperti tadi, 
  lama
  aku memeriksa, membongkar 
  ingatan dan kenangan.
  "Apa bukannya tante Habibah?", kataku kepada Sihan. Dan lagi-lagi 
  Sihan
  malah menepuk belakangku dengan agak keras. Rupanya Sihan merasa gembira
  dan senang, karena aku masih mengenal dengan baik orang-orang ini, kaum
  keluargaku. Tetapi kuharapkan Sihan tidak tahu dan tidak pernah mendengar
  cerita panjang yang tak banyak bedanya dengan Bu Ngah Hamimahnya. Habibah
  adalah anak dari pamanku. Ayah Habibah adalah adik ibuku. Mereka berempat
  saudara, dua laki-laki dan dua wanita. Ayah Habibah adalah adik bungsu dari
  ibuku. Dan persis seperti kisah Hamimah tadi, orangtua Habibah punya
  harapan agar kami lebih mempererat kekeluargaan, dengan mendekatkan diri
  kami menjadi suami isteri. Dan aku merasa sangat beruntung setelah
  bertahun-tahun terlepas dari "harapan-harapan" tersebut kedua adik-adiku
  itu, tak ada perasaan lain, sama dengan diriku. Kami dekat, berkawan,
  semata-mata karena rasa kekeluargaan saja. Bagaimana bisa dipertalikan
  dengan pernikahan, tidak mungkin. Jadi mungkin angkatan kami, dengan dua
  adikku itu, sudah lepas dari ikatan kekunoan pikiran dulu itu, yang sampai
  waktu itu masih dipegang orangtua kami.
Kupuas-puaskan memandangi kedua adikku itu, yang kini katanya sudah punya
  cucu belasan. Aku baru punya cucu empat orang saja. Dan katanya sampai
  menjelang pensiunnya, adikku Hamimah menjadi guru Taman Kanak-Kanak,
  sedangkan adikku Habibah menjadi jururawat di rumahsakit umum. Dua-duanya
  memang aku tahu, mereka punya pekerjaan tetap, pegawai tetap pemerintah.
  Dan betapa akan fatalnya sekiranya pemerintah dan penguasa dan kaum tentara
  tahu, seandainya mereka menemuiku ketika itu. Dan mereka akan dianggap
  "tidak bersih lingkungan" lalu ceritanya akan berkepanjangan, yang 
  mungkin
  pada akhirnya menjadikan penyesalan seumur hidup. Maka tahulah aku,
  setujulah aku dengan sikap mereka, daripada menemuiki di hotel atau di
  rumah, lebih baiklah mereka melihat dari jauh saja. Dan kami, dan kita,
  adik-adikku, biarlah kita lepaskan kerinduan dan kekangenan ini berjarak
  jauh saja. Betapa manusia menyiksa manusia lainnya.
Dan beberapa minggu setelah aku enak-enak dan tenang-tenang di rumahku di
  Paris, tak disangka, tak terpikirkan sebelumnya, mereka menilpunku
  kedua-duanya, tetapinya berlainan harinya. Ketika salah seorang mereka
  menanyakan masih kenalkah dengan suaranya? Kujawab, kan yang kulihat di
  pinggir pagar lapanganterbang Buluhtumbang itu kan? Yang kita saling
  melambaikan tangan? Ya, tidak? Dan Hamimah tertawa senang. Tetapi sebelum
  kami ngobrol agak lama, kuminta nomor tilpunnya, dan segera kumatikan, agar
  aku saja yang menilpunnya, agar mereka terbebaskan dengan ongkos tilpun
  yang begitu mahal. Tidak, aku tidak lupa akan suara adik-adikku. Dan
  ternyata Hamimah sudah jadi haji, hajjah. Sedangkan Habibah pada tahun ini
  akan naik hajinya. Kukatakan, abang mendoakan ke hadirat Tuhan, agar
  kemauan dan hajatmu diridoi dan dikasihi Tuhan. Karena mereka adik-adikku
  yang kini sudah pada tua dan nenek, kutanyakan kenapa berani menilpun?
  Katanyanya, sekarang kan zamannya reformasi, jadi tak seperti abang ke
  Belitung dulu itu. Kami sudah agak beranilah, berani ngomong, bahkan kalau
  abang pulang lagi, kami mungkin berani menemui abang, atau kami minta abang
  menginap di rumah kami. Mendengar kata-kata ini, pelan-pelan aku mengusap
  dada. Betapa zaman baru-baru ini sudah begitu hebat dan sangat dalam bisa
  dan mampu menjadikan kami penduduk dan rakyat biasa begitu dicekam
  ketakutan dan kebodohan, serta memendam kerinduan dan kekangenan antara
  keluarga. Kuharapkan, dan kudoakan agar adik-adiku dan semua keluargaku,
  serta teman-temanku, bisa bertuan atas dirinya sendiri,-
Paris 29 April 1999
 
 
  
  © Sobron Aidit. 
  All rights reserved.
  Hak cipta dilindungi Undang-undang.