Bab 7 :
Berburu

Setiap aku pulang berlibur-panjang dari Jakarta, aku selalu berteman dan ke
mana-mana dengan abangku Ratman. Dia ini ibunya adalah adik ayahku. Dan
ayahku hanya dua saudara itu saja, dia dan adiknya wanita, yaitu ibu Ratman
ini. Kesukaan Ratman yalah memancing dan menembak, berburu. Kalau sudah
berburu, bisa sendirian mengaduk-aduk hutan dan padang-lalang, dari petang
sampai pagi lagi. Rupanya perkara berburu ini, "penyakit" ayahku menurun
kepada ponakannya ini. Dan kelaknya sesudah seperempat abad kemudian,
ternyata juga "menurun kepadaku". Hanya bedanya aku "pemburu kecil",
berburu burung saja, tembur, tembak-burung, dan itupun sesudah aku lama
sekali di Tiongkok. Rasanya ketika itu kami menunggu hari Minggu, hari
libur, di mana kami bisa dan punya waktu buat berburu, bukan main terasa
lamanya. Baru hari Senin atau Selasa saja, sudah menghitung-hitung akan ke
hutan mana saja
pada hari Minggu nanti. Maka mengertilah aku, bagaimana dan betapa
"menggilanya" punya hobby berburu itu. Rapat yang tidak begitu penting (
menurut anggapannya ) bisa ditinggalkannya atau batal karena dia mau
berburu!

Suatu kali Ratman mengajakku berburu. Aku mau juga karena sekedar mau tahu
saja, mau coba saja seperti apa sih berburu itu. Bukan main dia gembiranya
karena mau diajaknya berburu. Artinya dia punya
teman, tidak kesepian menjelajahi hutan belukar dan padang-ilalang. Kami
bersiap, dengan perbekalan sebagaimana layaknya orang mau berburu.
Lampu-karbit yang diikatkan di kepala, baterei, minuman, gula-jawa, permen,
dan segala sesuatunya buat bekal di jalan serta sedikit makanan dan minuman
buat siapa tahu menumpang menginap di rumah orang, dan buat orang itu
sekeluarganya. Sudah tentu yang paling pokok senapang yang double-loop itu
beserta pelurunya dan senapang BSA mimis 5,5 buat menembak pelanduk,
kancil. Senapang-api double-loop buat nembak kijang dan rusa.

Kami menuju Seberang, Tanjungtikar, masih tetap di daerah Belitung juga.
Tetapi karena letak tipografi pulau Belitung itu ada bagian yang seperti
paruh-burung, maka kami harus menyeberang muara sungai buat ke Seberang
itu. Kukira mengapa namanya Seberang, barangkali karena harus menyeberang
itulah.
Kami dengan perahu tambangan, artinya bayar, yang memang selalu ada setiap
waktu buat menyeberangkan orang ke Seberang, ke Tanjungtikar. Kami
berangkat dari rumah pada jam sesudah magrib, sesudah orang-orang pada
bersembahyang magrib. Ratman menyandang senapang-api dan aku menyandang
senapang-angin yang 5,5 itu. Lalu kami masing-masing dengan ransel yang
tidak begitu berat. Ke mana dan di mana tentulah hanya Ratman yang tahu,
sedangkan aku hanya ikut saja, karena pengalaman ini adalah pertama kali
aku ikut berburu yang dulu belasan tahun yang lalu "digilai" ayahku.
Berburu artinya memburu, mengejar, maka artinya ya harus jalan, jalan dan
jalan terus. Bayangkanlah berapa jam jalan semalaman itu. Dari kira-kira
jam 20.00 mulai jalan,di tengah medannya, sampai mendekati pagi, menjelang
subuh! Orang normal, jalan normal biasanya satu jam antara 4 sampai 5 km,
jalan cepat bisa sampai 7 km sejam. Tetapi karena ini berburu, jalannya
tidaklah secepat orang jalan normal, sebab ada pelannya karena mengintip
sasaran, dan juga medannya tidak datar. Berbukit, menye-
berang sungai, tali-air, mengharung air karena ada bagian banjir. Kukira
satu jam antara 2 sampai 3 km, karena memang tidak memerlukan jalan cepat.

Di kampung kami, di seluruh Belitung tidak ada binatang buas, seperti
harimau-macan, juga tak ada bina-
tang besar-besar seperti gajah walaupun Belitung termasuk Sumatera Selatan,
Palembang ,yang banyak gajahnya. Itu di daratan Sumateranya, sedangkan
Belitung terpisahkan oleh laut.Yang dikuatirkan yalah ular berbisa, ular
senduk, kobra istilahnya, dan buaya. Di tengah jalan, sedang menyeberang
tahu-tahu
melintas ular kobra. Dan ketika memasuki semak-semak belukar, baru saja
menyeruakkan kepala dari berbagai ranting dan dedaunan, tahu-tahu saja
hampir dilibas kobra, akh sungguh ngeri juga! Dan dalam perjalanan itu
tidak sekali dua terperosok ke dalam lobang dan alur yang agak dalam.
Singkat kata, berburu itu haruslah siap sengsara, siap susah-payah, siap
menemui hal-hal diluar dugaan termasuk siapa tahu kecelakaan. Sampai
beberapa jam barulah ketemu mata yang memancar bersinar tajam. Ratman mau
membidik, tetapi setelah diamatinya, ternyata menurutnya, setelah agak
berbisik padaku :
"Nah, bagianmu. Siap senapang-angin. Pelanduk yang agak besar! Hati-hati
dan tenang, bidik yang tepat", katanya agak berbisik. Mata itu tetap tidak
bergerak,tetapi menuju ke lampu-karbit di kepalaku.
Dan aku sesudah menarik nafas agak panjang, lalu menahannya pelan-pelan,
dan dengan menenangkan diri, lalu membidik tepat di antara kedua mata itu.
Dan--------bloss bunyinya, seperti terkena tempurung atau benda yang agak
kosong di tengahnya. Lalu kulihat mata itu hilang dan ada bunyi yang jatuh.
Ratman dengan gembira berkata :
"Sudah, sudah-----------kena itu". Dan kami dekati, memang seekor
pelanduk yang agak besar, dan yang tadi berbunyi itu ternyata bloss itu
kena tempurung kepalanya di atas matanya sedikit.Tentu saja aku sangat
gembira, termasuk Ratman juga gembira, dengan harapan agar aku selalu mau
ikut bila dia berburu lagi. Sedangkan kegembiraanku tidak begitu lama,
sebab membawa pelanduk yang kira-kira beratnya 7 atau 8 kg itu cukup
melelahkan. Beratnya sih tidak begitu soal, tetapi ini kan jalannya jauh,
menanjak, menurun, mengharung, menyeberang, bukannya datar di jalan raya!
Dan rupanya tak lama se-
sudah itu bagian Ratman yang membidik, seekor kijang terkapar setelah bunyi
senapang api itu mengaum
garang dan dahsatnya. Dan kini persoalan bertambah. Bagaimana membawa
kijang yang beratnya saja lebih dari 20 kg itu!

Dalam hati, aku sudah banyak sekali pertanyaan yang tak dapat kujawab.
Bagaimana sekiranya dapat
lagi, dan kapan akan berhentinya. Kulihat jam sudah jam 03.00. Mau nanya
kapan pulangnya, tetapi tidak enak. Sudahlah, terus saja, kepalang sudah
memutuskan mau dan siap, harus diselesaikan. Sepanjang malam sampai kami
berhenti di rumah seorang penduduk di tepi hutan, tak jauh dari pantai,
kami harus
memikul tiga ekor pelanduk dan seekor kijang. Itupun setengah kami seret,
karena sudah terlalu letih dan tak punya tenaga lagi. Tak jauh dari situ
menjelang subuh, Ratman mengetuk rumah orang yang entah siapa, kamipun tak
kenal. Tetapi itulah adat di kampung kami, mau menginap di rumah siapapun,
di pedalaman jauh di desa, hutan, asal kita mendahului berbaik hati, dan
minta dengan sopan dan ramah, maka tuan-rumah akan membalasnya lebih ramah
lagi. Kami serahkan pelanduk dan kijang itu mau diapa-
kan. Dan betapa tuan-rumah gembiranya, perbekalan yang kami bawa tadi,
sejak dari rumah sudah kami persiapkan, gula, kopi, tembakau dan ikan-asin,
kami serahkan buat keluarga itu. Kami katakan kami mau tidur, karena sangat
ngantuk dan sangat capek. Mereka segera menyiapkan tikar dan bantal butut,
digelar di tengah rumah. Sesudah mencuci-muka dan tangan, kami merebahkan
diri, dan sudah tak tahu lagi apa yang terjadi.

Ketika kami bangun, karena mata kami sudah kena timpa sinar matahari yang
masuk celah-celah dinding bambu itu, ternyata hari sudah jam 1100. Oleh
tuan-rumah, kami dipersilahkan mandi kalau mau, atau cuci muka untuk segera
makan! Dan betapa harum bau makanan dan masakan tuan-rumah. Isterinya sudah
siap menyajikan gangan-pelanduk ( gagangan artinya gulai cara Belitung).
Dan begitu kami menampak sekeliling rumah yang baru sekarang ini terlihat
jelas, bagus sekali dan subur sekali tanaman mereka. Kebun singkong, cabe,
terong-pukak, terong-cina,pohon pisang yang sedang berbuah. Dan
memandang di kejauhan, tampak laut luas tak bertepi, bagaikan kaca jernih.
Ada tampak kecil sekali layar putih, perahu nelayan, berjalan pelan dan
lambat bagaikan kupu-kupu yang lucu. Tak begitu sempat kami menikmati
pemandangan yang sangat indah itu, karena perut kami sudah terdengar
keroncongannya. Gangan-pelanduk pakai irisan singkong-muda, lalu lalap daun
singkong dicecal dengan sambal terasi, dan nasi yang sedang mengepul, ya
Allah, nikmatnya hidup ini, ya Tuhanku! Kami berusaha jangan memperlihatkan
kerakusan yang berlebihan, walapun agak kelaparan! Tahanlah, bertahanlah
baik-baik!

Kami tinggalkan pesan, agar perolehan pelanduk dan kijang itu dibagikan
kepada orang-orang sekitar situ, kepada tetangga-tentangga. Sedangkan kami
cukup sekedarnya saja untuk dibawa pulang. Dan yang paling gembira
barangkali bukannya keluarga petani-nelayan itu, tetapi aku, akulah yang
paling gembira!
Karena pulang nanti tidak lagi membawa beban. Tadinya tuan-rumah menolak,
agar semua kami bawa saja, tokh keluarga kami di rumah memerlukannya
katanya. Tapi Ratman menjawab, cukup sekedarnya saja, terlalu banyak, lebih
baik dibagikan kepada para tetangga situ. Mendengar perkataan ini, kataku
dalam hati, "nah begitu dong Man, agar kita nggak kecapean bawanya". Semua
ini terjadi tahun 1952. Begitulah dulu orang-orang kampungku, pada ramah,
baik-hati, di mana saja dan ke mana saja mau menginap terutama jauh di
pedesaan, perkampungan, perhutanan, mereka dengan senang hati dan ramah
menerima kita dengan hangatnya. Semoga masih begitulah hendaknya. Apakah
sudah ada perubahan yang tidak seperti dulu itu, misalnya sudah lain, tidak
ramah dan terbuka lagi? Entahlah, aku sendiri sudah lebih 40 tahun terpisah
dari keadaan itu, tetapi sampai kini aku masih mengenang kampung halamanku
yang aman-sentosa ketika tahun 50-an dulu itu.-

Paris 23 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.