Bab 1 :
Chairil Anwar

Tahun ini tahun 1999, dan bulan ini bulan April,- sudah limapuluh
tahun meninggalnya seorang penyair pelopor Angkatan 45 dalam sastra
dan perpuisian. Tepatnya Chairil Anwar meninggal pada 28 April
1949 di Jakarta. Dia lahir tanggal 26 Juli 1922 di Medan, Sumut. Dan
kisah ini sebagian kecil dari hidup kami bersama ketika itu.
Jauh di Tanjungpandan, Belitung sana, kampung halamanku, ketika aku
masih di SD, aku sudah sangat menyukai sastra-budaya. Baru kelas 5 SD
aku sudah membaca MADAH KELANA karangan Sanusi Pane, aku sangat suka
sajak-sajaknya, tetapi sebenarnya aku tak begitu mengerti apa maksud
sebenarnya. Juga aku mengenal sastra melalui yang mungkin orang
katakan "roman picisan" dari berbagai penerbitan di Medan, misalnya
CERDAS, tulisannya ketika itu TJERDAS, lalu LUKISAN PUJANGGA. Karena
suka sastra dan mengagumi beberapa pengarang seperti HAMKA yang kata
orang "pengarang roman air-mata", lalu Yousuf Soueb, Merayu Sukma,
Chairil Anwar yang baru saja naik daun ketika itu, dan juga Sitor Si-
tumorang, dan Mozasa nama lain dari Mohamad Zain Saidi. Mosaza ini
redaktur bahkan pimpinan Redaksi majalah WAKTU ketika itu di Medan.
Tentu saja aku ingat benar, pertama kali aku membuat cerpen, dimuat
di majalah WAKTU tahun 1948 di Medan itu, kalau tak salah nomor 36!
Mulai umur 13 aku sudah mulai belajar mengarang. Dan aku ingat benar
ketika itu, betapa aku sukanya akan puisi Chairil Anwar itu. Hebat
amat puisinya itu,kataku dalam hati.
Siapa yang takkan tergugah oleh sajaknya yang bernama AKU, atau
SEMANGAT yang isinya :

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

-------------------------------

Demikian katanya, dan sajak itu dibuat pada Maret 1943. Tetapi memang
ada dua versi, pada sajak yang sama tetapi judulnya SEMANGAT,
diubahnya sedikit, yang tadinya kata Ku mau lalu menjadi kutahu. Pada
kata Hingga hilang pedih peri, menjadi Hingga hilang pedih dan peri,
yang satu versi Deru Campur Debu, dan yang satunya lagi Kerikil
Tajam, dua-duanya nama kumpulannya sendiri dan dibuat pada bulan dan
tahun yang sama. Mungkin Chairil perlu uang, maka sajaknya itu dimuat
dua kali, agar dapat dua honor.
Ketika aku sampai di Jakarta tahun 1948 karena mau melanjutkan
sekolah, sebab di kampung halaman kami di Belitung ketika itu belum
ada sekolahan SMP, maka aku ke Jakarta. Aku tinggal di Oud Gondangdia
Binnen no 2, yang akhirnya di-indonesia-kan menjadi Gondangdia Lama
Dalam nomor 2. Kami tinggal bersama, abangku dan temanku,lalu ada
lagi teman lainnya, yang bila pulang sangat malam, dan aku jadi
"tukang buka pintunya". Katanya sih namanya Chairil, tetapi dalam
pikiranku pastilah bukannya Chairil Anwar yang sangat kukagumi itu.
Dan kalau malam menjelang pagi, kalau ada suara yang memanggil, "rad,
rad----------panjang dan berkali-kali, dan tidak dibuka-buka, lalu
disusul lagi dengan memanggil namaku "bron---bron----- buka pintu",
dan tahulah aku, Chairil datang. Dan aku membuka pintu, hari
sudah hampir jam 01.00 menjelang pagi. Lalu dia tidur pakai tikar
sama dengan kami, dengan sebuah bantal lalu bantal guling yang sudah
agak butut. Suara "r"nya telor (bukan telor dari kata telur, seperti orang
Perancis mengucapkan huruf r ).
Lama bahkan sesudah berbulan-bulan barulah aku tahu, bahwa Chairil
inilah yang Chairil Anwar kukagumi itu. Tadinya memang ada perasaan
dalam hatiku, masak sih Chairil ini yang Chairil Anwar itu! Tak
mungkin! Dan lama-lama juga dia tahu bahwa aku suka bacaan sastra,
dan setelah kami saling tahu, lalu kami bersahabat baik,walaupun aku
baru kelas satu SMP di Jalan Budi Utomo, dan umur kami berbeda 12
tahun! Tetap saja aku menjadi "tukang buka pintunya" dengan panggilan r
telornya, "bron---bron---buka pintu" sambil menggedor pintu agak
pelan, agar jangan mengganggu orang lain yang sedang lelap di alam
mimpi.
Karena abangku banyak temannya dan juga Chairil banyak temannya, lalu
banyak yang sering datang ke rumah kami. Yang pada akhirnya
orang-orang terkenal seperti HB Jassin, Asrul Sani, Rivai Apin,
Dolfverspoor, bahkan ada "serdadu belanda" yang membawa karaben
dengan celana pendek, yang akhirnya aku tahu, itulah JC. Princen, dia
"mengkhianat" bagi Belanda, tetapi "pahlawan" bagi perjuangan kita
ketika itu. Lalu juga jauh sebelum ini, sering datang para pejuang
ketika itu, seperti Chairul Saleh, Wikana, dan lain-lainnya.
Chairil dengan matanya yang selalu merah, badannya yang kurus, tetapi
pancaran mata yang selalu bersinar dengan api yang menyala-nyala,
semangat yang selalu segar, banyak bacaannya, pandai serta cerdas,
tapi kami sudah tahu bahwa dia ini suka "jahil-tangan" suka "maling
kecil", istilahnya ketika itu, Chairil ini terkena penyakit
kleptomani, suka "nyuri kecil" yang menurutnya sendiri, hal itu
bukanlah kejahatan pencurian. Dan karena kami terkadang benci, tapi
juga terkadang rindu kepada Chairil apabila dia tidak pulang-pulang
selama beberapa hari, akan selalu bertanya, ke mana sih kok Chairil
nggak pulang-pulang!
Suatu kali dia datang dan dengan bersemangat memanggilku.
"Bron, aku tahu, dan aku sudah baca sajakmu. Bagus, lumayan, boleh
kan aku muat nanti di Mimbar, dan aku sudah bilang sama Jassin",
katanya. Ketika itu aku tidak tahu apa itu arti "muat", yang nantinya
barulah aku tahu, artinya "siarkan,terbitkan". Dan ketika sajakku
dimuat di Mimbar Indonesia asuhan HB Jassin itu, abangku tanya apakah
aku sudah terima honorariumnya. Lagi-lagi aku tak mengerti apa itu
arti honorarium! Dan setelah dengan malu kutanyakan apa itu semua
artinya, lalu kutunggu Chairil mau menanyakan tentang honornya.
Beberapa hari sesudah itu dia datang, dan kutanyakan padanya. Dengan
tertawa seenaknya, tapi juga seakan-akan tak ada soal, tak ada
perkara apapun, berkata :
"Yah, kan kita sudah makan sate ketika itu kan. Ingat nggak
malam-malam itu, kubawa makanan, dan kau dengan lahapnya makan sate
pakai lontong itu, ingat nggak?". Dan memang satu malam pernah kami
makan sate-lontong yang dibawa Chairil ketika itu. Tetapi aku sama
sekali tak tahu bahwa uangnya adalah uang honor itu, yang honorarium
itupun aku tak tahu! Tapi kami akhirnya tokh hidup bersama begini
harus saling maaf memaafkanlah. Dan banyak kudengar sesudah itu,
bahwa Chairil suatu ketika "nyambar" jas pamannya ketika sama-sama
sedang menghadiri sebuah jamuan-makan, resepsi, dan katanya pamannnya
itu adalah Sutan Syahrir, yang pernah jadi Perdana Menteri!
Dan banyak lagi cerita-cerita agak aneh, tetapi banyak orang yang pada
akhirnya rindu mau bertemu dengan Chairil, yang tadinya sangat benci
dan geregetan mau nabok dan nempelengnya! Dan lama sekali Chairil tak
pulang-pulang ke rumah kami. Lama sekali berbulan-bulan. Tahu-tahu ada
kabar, dia sudah meninggal di RS CBZ, yang akhirnya menjadi RS Tjipto
itu. Kami sangat bersedih, dan aku menitikkan airmata. Rupanya
sajaknya yang menyebut di Karet, di Karet daerahku yang akan datang,
terjadi dan terkabul juga apa yang dia katakan.
Kami berdua SM. Ardan ziarah ke kuburannya. Dan cobalah periksa
sejarahnya, agar lurus dan agar benar, kami berdua Ardan adalah orang
pertama memperingati Hari Meninggalnya Chairil Anwar ketika satu atau
dua tahun meninggalnya, di Balai Prajurit DIPONEGORO dekat Balai
Pustaka ketika itu.
Masih ingat aku keesokan harinya terpampang fotoku di MIMBAR
INDONESIA sedang berpidato dalam acara memperingati meninggalnya
Chairil Anwar pada tahun 1951, dan yang kenapa aku ingat, tampak bulu
kakiku, karena aku belum tahu dan belum punya celana-panjang atau
pantalon! Aku setiap hari hanya bercelana pendek saja, tidak tahu
bagaimana rasanya punya celana panjang dan pantalon itu, dan
sekolahpun baru kelas tiga SMP! Sesudah itulah baru banyak orang dan
banyak badan serta grup dan organisasi memperingati meninggalnya
Chairil Anwar. Chairil sangat banyak membawa kenangan yang
pahit-manis,suka-duka,berkelit-jujurnya dan dengan semangat
memberontak, selalu berapi-api, dan seluruh hidupnya diabdikan buat
sastra-budaya, sayang umurnya demikian singkat, tapi nafas-jiwanya
sampai kini menggema, apalagi zaman reformasi ini,- "dan aku akan
lebih tidak perduli, aku mau hidup seribu tahun lagi", bukan main
deklarasi semangat juangnya!


Paris 14 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.