Bab 4 :
Berbagai Kendala - Satu


Kami mulai jalan mencari lokasi resto pada akhir Juli dan awal Agustus
1982. Setiap hari jalan dan jalan mengelilingi kota Paris. Mempelajari
banyak soal, tentang lokasi, strategis tempatnya, tempat kendaraan
lalulintas dan parkir mobil, dan ini kami anggap pelajaran-sekitar, lalu
pelajaran-dalam. Pelajaran-dalam yalah mengenai jalannya resto itu
sendiri.
Dan ini artinya harus masuk ke dalam resto itu sendiri, biasanya duduk
makan menjadi pelanggan. Dan mata kami harus jelalatan. Melihat
orang-orang ke luar-masuk dan menghitung berapa pelanggan yang
datang, dan pada jam-berapa merupakan jam-sibuk. Lalu mengamati apa
saja pesanan orang, dan makanan jenis yang mana yang sangat disukai
pelanggan. Dan seperti yang kutuliskan sebelumnya, kalau perlu kami
"curi" daftar-menunya buat kami pelajari baik-baik. Biasanya dari
sebuah resto yang sangat laku dan banyak pelanggannya yang datang.
Itulah yang kumaksud, sebenarnya pekerjaan kami ketika itu bagaikan
perilaku intel, mata-mata ekonomi.


Ada beberapa sasaran, resto yang mau dijual. Dan kami sudah
meniliknya, mempelajarinya. Tempatnya bagian dalam cukup baik.
Kategorinya resto sedang, berkapasitas 70 kursi. Lalu-lintas
ramai, banyak turis, banyak orang-orang yang memerlukan makan di daerah
itu. Biasanya kalau sasaran sudah diketemukan, lalu kami mengadakan
"rapat kecil" dengan teman-teman lainnya. Mendengarkan pendapat teman
lain sesudah kami melaporkan penemuan kami berdua Pak Markam itu. Dan
terjadi diskusi.


Mayoritas teman keberatan. Mengapa? Karena letak lokasi resto itu di
daerah Pigalle. Pigalle adalah tempat pusat pelacuran seperti
Keramat-Tunggak atau dulunya Gang Houber (Gang Sadar- di Jakarta.)
Tidak enak dan tidak pantas kita membuka resto di daerah
pemusatan-pelacuran, demikian pendapat banyak teman. Ya, cari uang sih
cari uang, tapi harus selalu memikirkan sebab-akibat dan berbagai motif
serta alasan lain. Bagaimana di mata orang-orang Indonesia sendiri?!
Harus dipikirkan kelanjutan resto itu nantinya. Kan sangat tidak enak
kalau menjadi ejekan, kok mendirikan resto di daerah pusat
pelacuran?! Alasan teman lain yang pro, mendirikan resto bukankah
dengan maksud agar banyak uang masuk, agar dari pekerjaan kita itu kita
bisa menghidupi dirisendiri. Mengapa harus "mengorbankan" perasaan
yang belum tentu semua orang setuju dengan adanya "ejekan" itu.


Diskusi cukup hangat, tapi penuh rasa sahabat, karena tujuan kami adalah
satu : berdikari dalam kehidupan, tidak tergantung pada orang lain.
Akhirnya kami putuskan, tidak jadi "nembak sasaran" itu. Dan kami
lepaskan harapan yang tadinya sedang timbul-tenggelam. Dan kami tetap
meneruskan perjalanan panjang ini, mengelilingi kota Paris. Tampaknya
ada beberapa mata yang memperhatikan kami. Dan orang itu mengajak
singgah di sebuah cafe-resto dan merangkap sejenis hotel-bar yang
berlantai empat. Tempatnya besar, tapi kelihatan kosong. Ternyata orang
ini, pemilik hotel-bar-resto merangkap disko. Kami diajaknya keliling
gedung itu. Tampaknya memang sudah tidak "online" lagi. Kami diajak
minum dan duduk bercakap-cakap. Dia bertiga dan kami berdua, ngobrol.
Dan kami nyatakan pekerjaan dan maksud kami. Dan mereka sangat
antusias. Ternyata tempat itu mau dijualnya. Dengan kapasitas
32 kamar hotel, bar-resto dan tempat disko, mau dijual seharga 36 juta
Francs. Mereka "membujuk" kami agar tertarik dan dengan harapan mau
membelinya. Dan kami ngakak tertawa. Kami katakan kekuatan kami belum
sampai begitu.


Mereka tampaknya sangat ramahtamah, adalah hal biasa bagi para
eksekutif komersial, maklumlah orang dagang. Dari pembicaraan dan
gurauan yang saling menggembirakan, dengan enteng kami memperlihatkan
sepatu kami yang menganga dan berlobang. Dan mereka tertawa, merasa lucu.
"Tuan, seseorang yang banyak uang, tidak jarang berlaku seperti
Anda, pakaian bisa sederhana, tetapi perkara uang hanya bank yang tahu.
Nah, bukan mustahil, Anda termasuk seperti yang saya katakan", katanya.
Dan kami tertawa semua.
Sudah tentu kami hanya memenuhi ajakannya buat duduk minum sambil
ngobrol dan bagi kami cukup santai melepaskan lelah setelah hampir
seharian jalan terus dengan mata jelalatan mencari resto yang mau
dijual. Hal begini tidak hanya sekali dua terjadi pada kami di Paris.
Ada yang baik, dan ada yang jelek. Ada yang mau bersahabat dan ada yang
mau mendekat, tapi juga pasti tidak sedikit yang mau berbuat jahat.
Tergantung seni-bergaul, seni-bermasarakat.


Di salah satu pusat yang cukup ramai dekat stasion Gare de Lyon, sebuah
stasion kereta yang cukup besar, yang lalulintasnya antara negara, ke
Spanyol, Portugal dan lain-lainnya, ada "sasaran-tembak" kami. Sebuah
resto yang kecil-mungil, tetapi berkategori edang-menengah, berkapasitas
50 kursi.
Kami masuk ke dalamnya dan ngobrol dengan pemiliknya. Seperti
biasa, pemiliknya itu sangat baik dan ramahtamah, biasalah orang dagang.
Kami diajak minum bahkan disuguhi kue. Kelihatannya pemiliknya ini
peranakan Perancis-Guadeloupe, francophone, daerah bekas jajahan
Perancis yang berbahasa Perancis. Katanya resto ini mau dijual karena
mereka mau pulang ke Guadeloupe.


Kami diajak masuk ke belakang dan meninjau daerah sekitarnya. Tempat
lalulintas, tempat parking mobil dan cukup ramai. Dalam hati
kami, sayang mereka mau pulang, sebab resto ini cukup baik letaknya dan
ramai kunjungan pelanggannya. Lagi-lagi kami keliling
sekitarnya, mungkin tak ada soal yang besar dan memang mereka mau
pulang. Sudah menjadi kebiasaan kami dalam kehidupan kami ketika
itu, bahwa apabila kami mau bertindak yang sifatnya
memutuskan, final, fiat dalam istilah percetakan, kami selalu akan
berkonsultasi dengan advokat, pengacara yang adalah teman kami orang
Perancis. Teman Perancis ini akan datang dan akan memberi nasehat atau
keputusan-pribadinya. Akan memeriksa segala sesuatunya agar pekerjaan
dan maksud kita itu bisa dilaksanakan, dilangsungkan.


Beberapa hari advokat kami bersama kami berdua mencari
keterangan, termasuk ke Balai Kota apakah lokasi itu memang layak-jual
dan sah dalam pengertian tak ada soal-soal dalam hubungan administrasi
setempat. Teman-teman kami di rumah sudah kami beritakan, dan beberapa
teman ini juga datang melihat "cikal-bakal restonya sendiri". Pada
umumnya mereka setuju dan bahkan berharap agar "cikal-bakal restonya"
itu dapat dimiliki. Pada hari ketiga dengan kesibukan agar memutuskan
jadi tidaknya resto itu dibeli, kami berubah wajah. Ada kemarahan, ada
kesedihan, ada kegemasan.


Ternyata resto yang mau dijual itu, dalam perencanaan di Balai Kota
termasuk daerah yang akan digusur buat melebarkan jalan-kereta-api.
Memang rencananya itu pada tahun depan pertengahan, artinya masih
sekitar 10 bulan lagi. Tetapi waktu 10 bulan, terlalu riskan buat
menjalankan sebuah resto yang dimulai dari nol lagi. Dan yang kami
sesalkan mengapa pemiliknya tidak memberitahukan tentang keadaan
sebenarnya bahwa resto itu termasuk daerah yang akan digusur. Tetapi
pendapat begini hanya sebentar dan tidak berkesan banyak. Sebab
sebenarnya dari pihak diri kitalah yang harus aktive menyelidiki dan
memeriksa dengan seksama. Inilah keuntungan kami berteman
dan punya advokat, pengacara Perancis itu. Dan kami benar-benar merasa
sangat berterimakasih atas penemuannya ini. Tanpa dia kami hanya akan
menjadi korban kelengahan dan kebodohan kami sendiri.


Sudah dua kali dengan peristiwa ini kami mengalami kegagalan. Yang
satu di Pigalle itu dan yang satu ini di daerah Gare de Lyon. Dan kami
lebih tegas dan mantap buat memperjuangkan nasib kami berdikari dalam
kehidupan : bahwa resto yang kami maksudkan harus berdiri dan eksis
pada waktunya. Modalnya hanya satu :
ulet, militansi, tak kenal lelah, dan terus mencari dan mencari. Orang
yang ulet mencari pastilah akan menemukan. Semakin sulit membajak dan
mengolah-tanah, memupuk, menyiangi, maka panen yang akan didapat akan
semakin cerah dan berhari-depan yang gemilang. Inilah pedoman kami, dan
memang hanya itulah yang harus kami kerjakan.


Paris 21 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.