Bab 3 :
Meletakkan Dasar Dua

Taraf pertama apa yang kami lakukan dalam usaha mendirikan resto ini?
Setiap hari kami membacai berbagai suratkabar besar, yang banyak
advertensinya, seperti Le Monde, Le Figaro dan yang lainnya. Dua suratkabar
besar ini sangat banyak memuat berbagai advertensi, termasuk jual-beli
gedung, perkantoran dan restaurant. Patut dicatat secara khusus, temanku
Markam ini sangat ulet, pandai melobby. Dulu dia sebagai wartawan suratkabar
khusus tentang perekonomian dan sangat aktif bergerak di kalangan wartawan
Asia-Afrika. Orangnya kecil, lincah, lebih tua dariku, tua umur, tua pengalaman
dan banyak pengalaman dan pengetahuannya. Kata orang, bila seseorang kecil
perawakannya, tapi ulet, militan, maka jenis orang ini bertipe pandai
memimpin, seperti Napoleon, Lenin dan Teng Siao-bing. Ketiga orang itu
termasuk kecil bila dibandingkan dengan orang lainnya di antara bangsanya.
Napoleon kecil perawakannya di antara orang Perancis, dan Lenin termasuk
kecil sebagai orang Russia, juga Teng Siao-bing termasuk kecil di kalangan
bangsanya, Tionghoa. Dan Markam, kecil sebagai orang Indonesia, tetapi bukan
kepalang dahsyatnya kalau dia sudah mau mencapai sesuatu.

Berdasarkan pengenalanku terhadap Pak Markam, -begitu aku menyebutnya, -aku
percaya sangat terhadapnya bahwa benar-benar dia dan kami ini mau
mendirikan sebuah resto. Padahal aku tahu benar
bahwa kami samasekali tak punya modal, tak ada uang, tak ada dana buat
keperluan mendirikan sebuah resto. Mendirikan sebuah resto di Paris, di
tengah keramaian orang yang banyak uang, kuat dana, kuat modal, samasekali tak
dapat dibayangkan! Tapi seperti peribahasa-lama Tionghoa yang tetap saja
berlaku, "tiga orang tukang-sepatu sama dengan Jenderal Chu
Kuo-liang". Jenderal Chu Kuo-liang itu adalah seorang jenderal yang sangat
akhli strateg-perang, tetapi berkat sekumpulan orang yang sangat kuat dan
baik kerja-kolektifnya, maka jenderal itu dapat disaingi oleh tiga orang
tukang-sepatu! Begitulah kebaikan dan manfaat sebuah kerja-kolektif, dan
kami mengamalkannya. Betul bahwa Pak Markam dapat dikatakan sebagai orang
pertama punya gagasan yang kami sebagai kolektifnya bergerak-bersama
mengikuti irama-cita-cita buat terwujudnya sebuah resto. Tanpa kerja-sama
yang baik dan kompak serta demokratris, mendengarkan berbagai pendapat
banyak teman, kerja-besar apapun takkan mungkin dapat dilaksanakan.

Begitulah kepercayaanku kepada orang-kecil-perawakannya ini, dan kami pada
tahap pertama ini, berdua setiap hari meneliti advertensi yang ada di
berbagai suratkabar. Dan mencari lokasi resto mengelilingi kota Paris
setiap hari. Kami mulai kerja dari jam 10.00 setiap hari, sampai pulang ke
rumah lagi menjelang dinihari sesudah jam 24.00. Kami naik-turun
metro, RER, bis, troli, kereta, berjalan kaki mengedari kota Paris, dan mencari
lokasi yang terdapat di advertensi suratkabar, bahwa di daerah Paris sekian
ada resto
yang mau dijual. Paris terbagi menjadi 20 daerah arrondisement, setiap
arrondisement itu merupakan satu daerah yang dikepalai oleh seorang
walikota, dan 20 arrondisement itu buat seluruh kota Paris, dikepalai oleh
seorang Walikota-Besar dapat dikatakan sebagai seorang Gubernur.

Kalau kami mendapatkan sebuah lokasi yang disebutkan dalam advertensi
itu, maka yang mula pertama kami pelajari yalah daerah
sekitar-sekelilingnya. Apakah daerah itu banyak orang lalu-lintasnya, apakah
daerah itu banyak perkantoran, pertokoan, pelajar-mahasiswa, apakah banyak
para pegawai, pekerjanya yang makan di daerah itu. Dan resto yang mau dijual
itu kami datangi dan kami turut makan sebagai pelanggan. Dan kami banyak
tanya ini itu kepada pegawai resto itu, dan kalau mungkin kami berusaha
mencari patronnya atau penangungjawab restonya, buat bertanya banyak hal.
Dalam pada itu kami catat dengan diam-diam, berapa pelanggannya yang
masuk, pada jam berapa orang-orang mulai ramai. Bahkan kami memperhatikan
dengan tajam, apa saja pesanan orang, masakan apa yang banyak dipesan orang.
Dan kami menganalisa mengapa resto itu mau dijual.

Biasanya kalau sebuah resto laku-laris, tidak akan mungkin pemiliknya mau
menjual. Dan pada biasanya apabila sebuah resto mau dijual, maka pastilah
ada soal. Misalnya pemiliknya mau pindah-kehidupan, atau
karena sudah terlalu capek mengurusi resto, atau karena resto itu sudah
tidak laku lagi, tak banyak lagi pelanggannya. Atau antara keluarga
pemiliknya berselisih, cekcok sehingga harus membagi harta dan inventarisasi
sesamanya.

Karena kami berpedoman pada makanan spesialite daerah dan
kebangsaan, Indonesia, maka sudah tentulah kami lebih banyak mempelajari
jalannya sebuah resto yang juga bersifat ke-Asia-an. Kami mempelajari dan
"mencari sasaran" resto Asia, seperti resto Tionghoa, Vietnam, Thailand dan
Filipina. Ketika itu tidak ada dan belum ada resto Malaysia dan Indonesia.
Paling banyak yalah resto Tionghoa, lalu Jepang. Sekarang ini malah ada
suatu mode(seperti busana saja layaknya!) atau dijadikan model resto
Jepang, praktis, murah dan cepat. Resto bertipe Jepang pada tahun ini
1999, menjamur, di mana-mana dan memang sangat laku. Tapi walaupun namanya
restoran Jepang, para pegawai dan pimpinannya tak satupun yang bisa
berbahasa Jepang, sebab semuanya Tionghoa atau keturunan Tionghoa, atau Laos
atau Kamboja. Sama dengan di kampung kita, resto Padang, rumahmakan Padang
atau Minang, tapi orangnya malah banyak orang Tegal atau orang Jawa lainnya!
Kini resto bertipe Jepang itu sudah mencapai limaratusan lebih buat seluruh
kota Paris, dan cukup laris!

Ketika taraf kami mencari dan mempelajari jalannya sebuah resto itu sudah
tentu kami banyak jalan, jalan kaki. Rasanya kalau sudah malam larut dan
merebahkan diri di tempat-tidur, badan bagaikan pernah dipukuli, tetapi
sangat nikmat, sebab lelah-letih dan lalu tertidur. Kerja kami memang banyak
jalan, dan kalau sudah waktunya, kami makan di resto yang menjadi sasaran
kami. Rasa selera makan tentulah tidak sama dengan kalau kita atau kami
sedang dengan santai makan sedang bersenang-senang. Sebab ketika itu
sebenarnya kami sedang bertugas. Sekarang ini dapat kukatakan, sebenarnya
dulu itu kami lebih banyak bekerja bersifat seperti intel, mata-mata
ekonomi. Kami mau banyak tahu, mencuri pengetahuan, dan sorry kalau
kukatakan, kami juga banyak mencuri daftar atau menu-makanan di beberapa
resto yang sangat laku, sebab kami mau tahu, apa sih yang membuat sebuah
resto begitu laku. Pegawai, pekerja dan pemilik restro tidak mungkin mau
memberikan daftar-makanan dari restonya. Kecuali kalau dirikita mau
mencatatnya sendiri di tengah-tengah orang banyak itu. Dan bukan sekali dua
kami ini dimarahi dan ditegur oleh pemilik resto karena terlalu banyak
tanya kepada pegawai dan pekerjanya, termasuk kokinya. Ini sebenarnya
dilarang walaupun tak ada undang-undang pelarangan itu. Tetapi kebiasaan
konvensional, tak seharusnya dan tak wajar seseorang pelanggan atau orang
yang mau makan tetapi lalu banyak tanya tentang keadaan jalannya sebuah
resto! Dan kami tahu benar, apa yang kami kerjakan memang untuk persiapan
berdirinya sebuah resto. Jadi juga adalah wajar kalau kamipun harus
berusaha mencari pengetahuan dan berbagai akal agar nantinya punya senjata
yang ampuh buat mendirikan sebuah resto. Untuk itu kami siap kalaupun
dimarahi, diperenguti, diomeli pemilik resto tertentu dan kami sudah
mengalaminya berdua Pak Markam.

Kalau kami sudah kelelahan karena terus jalan mengelilingi kota
Paris, sering nongkrong di sebuah cafe buat melepaskan lelah, lalu kami
berdua mendiskusikan hasil setengah hari "memata-matai" berbagai resto yang
sangat laku dan yang mau dijual itu. Sambil kami melirik ke sepatu
masing-masing, sebab sepatuku sudah menganga, sudah harus diganti, tetapi
masih bisa bertahan. Dan sepatu Pak Markam sudah sangat aus, tipis dan "agak
mengkhawatirkan", dan kami biasanya tertawa, mentertawakan diri sendiri.
Begini tampangnya orang mau punya resto itu, - kata kami dalam hati. Tapi
kami tetap berkemaun teguh buat mendirikan sebuah resto, tempat yang
nantinya bisa menghidupi diri kami sendiri. Lalu mengapa kami hanya berdua
setiap hari mengelilingi kota Paris buat mencari resto itu? Karena teman
lain sedang bertugas belajar bahasa Perancis, belum selesai dari
kewajibannya, dari asrama. Dan ada juga yang sedang mengikuti penataran
lanjutan dari bahasa-dasar yang diperolehnya. Tetapi setiap minggu satu
kali kami selalu mendiskusikan hasil "perjuangan" beberapa hari itu, dan
"pasang strategi" lanjutannya buat bagaimana kalau suatu hari resto itu
didapatkan tetapi uangnya belum ada. Sedangkan resto itu kalau tak
cepat-cepat dibeli, akan jatuh ke tangan orang lain. Masalah ini selalu
menjadi pendiskusian antara kami "beberapa tukang-sepatu" tadi itu, buat
menyaingi "kepandaian seorang Jenderal Chu Kuo-liang", beradu strategi dan
taktik-perang. Dan hari-hari selanjutnya pekerjaan akan jauh lebih rumit
dan sulit, sebab seandainyapun ada dan terdapat sedikit saja "kemenangan"
maka buat mempertahankan dan mencapai kemenangan yang lebih besar adalah
bukan main banyaknya minta tenaga dan pikiran.

Paris 20 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.