Taraf pertama apa yang kami lakukan dalam usaha mendirikan resto ini?
  Setiap hari kami membacai berbagai suratkabar besar, yang banyak
  advertensinya, seperti Le Monde, Le Figaro dan yang lainnya. Dua suratkabar
  besar ini sangat banyak memuat berbagai advertensi, termasuk jual-beli
  gedung, perkantoran dan restaurant. Patut dicatat secara khusus, temanku
  Markam ini sangat ulet, pandai melobby. Dulu dia sebagai wartawan suratkabar
  khusus tentang perekonomian dan sangat aktif bergerak di kalangan wartawan
  Asia-Afrika. Orangnya kecil, lincah, lebih tua dariku, tua umur, tua pengalaman
  dan banyak pengalaman dan pengetahuannya. Kata orang, bila seseorang kecil
  perawakannya, tapi ulet, militan, maka jenis orang ini bertipe pandai
  memimpin, seperti Napoleon, Lenin dan Teng Siao-bing. Ketiga orang itu
  termasuk kecil bila dibandingkan dengan orang lainnya di antara bangsanya.
  Napoleon kecil perawakannya di antara orang Perancis, dan Lenin termasuk
  kecil sebagai orang Russia, juga Teng Siao-bing termasuk kecil di kalangan
  bangsanya, Tionghoa. Dan Markam, kecil sebagai orang Indonesia, tetapi bukan
  kepalang dahsyatnya kalau dia sudah mau mencapai sesuatu.
Berdasarkan pengenalanku terhadap Pak Markam, -begitu aku menyebutnya, -aku
  percaya sangat terhadapnya bahwa benar-benar dia dan kami ini mau
  mendirikan sebuah resto. Padahal aku tahu benar
  bahwa kami samasekali tak punya modal, tak ada uang, tak ada dana buat
  keperluan mendirikan sebuah resto. Mendirikan sebuah resto di Paris, di
  tengah keramaian orang yang banyak uang, kuat dana, kuat modal, samasekali tak
  dapat dibayangkan! Tapi seperti peribahasa-lama Tionghoa yang tetap saja
  berlaku, "tiga orang tukang-sepatu sama dengan Jenderal Chu
  Kuo-liang". Jenderal Chu Kuo-liang itu adalah seorang jenderal yang sangat
  akhli strateg-perang, tetapi berkat sekumpulan orang yang sangat kuat dan
  baik kerja-kolektifnya, maka jenderal itu dapat disaingi oleh tiga orang
  tukang-sepatu! Begitulah kebaikan dan manfaat sebuah kerja-kolektif, dan
  kami mengamalkannya. Betul bahwa Pak Markam dapat dikatakan sebagai orang
  pertama punya gagasan yang kami sebagai kolektifnya bergerak-bersama
  mengikuti irama-cita-cita buat terwujudnya sebuah resto. Tanpa kerja-sama
  yang baik dan kompak serta demokratris, mendengarkan berbagai pendapat
  banyak teman, kerja-besar apapun takkan mungkin dapat dilaksanakan.
Begitulah kepercayaanku kepada orang-kecil-perawakannya ini, dan kami pada
  tahap pertama ini, berdua setiap hari meneliti advertensi yang ada di
  berbagai suratkabar. Dan mencari lokasi resto mengelilingi kota Paris
  setiap hari. Kami mulai kerja dari jam 10.00 setiap hari, sampai pulang ke
  rumah lagi menjelang dinihari sesudah jam 24.00. Kami naik-turun
  metro, RER, bis, troli, kereta, berjalan kaki mengedari kota Paris, dan mencari
  lokasi yang terdapat di advertensi suratkabar, bahwa di daerah Paris sekian
  ada resto
  yang mau dijual. Paris terbagi menjadi 20 daerah arrondisement, setiap
  arrondisement itu merupakan satu daerah yang dikepalai oleh seorang
  walikota, dan 20 arrondisement itu buat seluruh kota Paris, dikepalai oleh
  seorang Walikota-Besar dapat dikatakan sebagai seorang Gubernur.
Kalau kami mendapatkan sebuah lokasi yang disebutkan dalam advertensi
  itu, maka yang mula pertama kami pelajari yalah daerah
  sekitar-sekelilingnya. Apakah daerah itu banyak orang lalu-lintasnya, apakah
  daerah itu banyak perkantoran, pertokoan, pelajar-mahasiswa, apakah banyak
  para pegawai, pekerjanya yang makan di daerah itu. Dan resto yang mau dijual
  itu kami datangi dan kami turut makan sebagai pelanggan. Dan kami banyak
  tanya ini itu kepada pegawai resto itu, dan kalau mungkin kami berusaha
  mencari patronnya atau penangungjawab restonya, buat bertanya banyak hal.
  Dalam pada itu kami catat dengan diam-diam, berapa pelanggannya yang
  masuk, pada jam berapa orang-orang mulai ramai. Bahkan kami memperhatikan
  dengan tajam, apa saja pesanan orang, masakan apa yang banyak dipesan orang.
  Dan kami menganalisa mengapa resto itu mau dijual.
Biasanya kalau sebuah resto laku-laris, tidak akan mungkin pemiliknya mau
  menjual. Dan pada biasanya apabila sebuah resto mau dijual, maka pastilah
  ada soal. Misalnya pemiliknya mau pindah-kehidupan, atau
  karena sudah terlalu capek mengurusi resto, atau karena resto itu sudah
  tidak laku lagi, tak banyak lagi pelanggannya. Atau antara keluarga
  pemiliknya berselisih, cekcok sehingga harus membagi harta dan inventarisasi
  sesamanya.
Karena kami berpedoman pada makanan spesialite daerah dan
  kebangsaan, Indonesia, maka sudah tentulah kami lebih banyak mempelajari
  jalannya sebuah resto yang juga bersifat ke-Asia-an. Kami mempelajari dan
  "mencari sasaran" resto Asia, seperti resto Tionghoa, Vietnam, Thailand 
  dan
  Filipina. Ketika itu tidak ada dan belum ada resto Malaysia dan Indonesia.
  Paling banyak yalah resto Tionghoa, lalu Jepang. Sekarang ini malah ada
  suatu mode(seperti busana saja layaknya!) atau dijadikan model resto
  Jepang, praktis, murah dan cepat. Resto bertipe Jepang pada tahun ini
  1999, menjamur, di mana-mana dan memang sangat laku. Tapi walaupun namanya
  restoran Jepang, para pegawai dan pimpinannya tak satupun yang bisa
  berbahasa Jepang, sebab semuanya Tionghoa atau keturunan Tionghoa, atau Laos
  atau Kamboja. Sama dengan di kampung kita, resto Padang, rumahmakan Padang
  atau Minang, tapi orangnya malah banyak orang Tegal atau orang Jawa lainnya!
  Kini resto bertipe Jepang itu sudah mencapai limaratusan lebih buat seluruh
  kota Paris, dan cukup laris!
Ketika taraf kami mencari dan mempelajari jalannya sebuah resto itu sudah
  tentu kami banyak jalan, jalan kaki. Rasanya kalau sudah malam larut dan
  merebahkan diri di tempat-tidur, badan bagaikan pernah dipukuli, tetapi
  sangat nikmat, sebab lelah-letih dan lalu tertidur. Kerja kami memang banyak
  jalan, dan kalau sudah waktunya, kami makan di resto yang menjadi sasaran
  kami. Rasa selera makan tentulah tidak sama dengan kalau kita atau kami
  sedang dengan santai makan sedang bersenang-senang. Sebab ketika itu
  sebenarnya kami sedang bertugas. Sekarang ini dapat kukatakan, sebenarnya
  dulu itu kami lebih banyak bekerja bersifat seperti intel, mata-mata
  ekonomi. Kami mau banyak tahu, mencuri pengetahuan, dan sorry kalau
  kukatakan, kami juga banyak mencuri daftar atau menu-makanan di beberapa
  resto yang sangat laku, sebab kami mau tahu, apa sih yang membuat sebuah
  resto begitu laku. Pegawai, pekerja dan pemilik restro tidak mungkin mau
  memberikan daftar-makanan dari restonya. Kecuali kalau dirikita mau
  mencatatnya sendiri di tengah-tengah orang banyak itu. Dan bukan sekali dua
  kami ini dimarahi dan ditegur oleh pemilik resto karena terlalu banyak
  tanya kepada pegawai dan pekerjanya, termasuk kokinya. Ini sebenarnya
  dilarang walaupun tak ada undang-undang pelarangan itu. Tetapi kebiasaan
  konvensional, tak seharusnya dan tak wajar seseorang pelanggan atau orang
  yang mau makan tetapi lalu banyak tanya tentang keadaan jalannya sebuah
  resto! Dan kami tahu benar, apa yang kami kerjakan memang untuk persiapan
  berdirinya sebuah resto. Jadi juga adalah wajar kalau kamipun harus
  berusaha mencari pengetahuan dan berbagai akal agar nantinya punya senjata
  yang ampuh buat mendirikan sebuah resto. Untuk itu kami siap kalaupun
  dimarahi, diperenguti, diomeli pemilik resto tertentu dan kami sudah
  mengalaminya berdua Pak Markam.
Kalau kami sudah kelelahan karena terus jalan mengelilingi kota
  Paris, sering nongkrong di sebuah cafe buat melepaskan lelah, lalu kami
  berdua mendiskusikan hasil setengah hari "memata-matai" berbagai resto 
  yang
  sangat laku dan yang mau dijual itu. Sambil kami melirik ke sepatu
  masing-masing, sebab sepatuku sudah menganga, sudah harus diganti, tetapi
  masih bisa bertahan. Dan sepatu Pak Markam sudah sangat aus, tipis dan "agak
  mengkhawatirkan", dan kami biasanya tertawa, mentertawakan diri sendiri.
  Begini tampangnya orang mau punya resto itu, - kata kami dalam hati. Tapi
  kami tetap berkemaun teguh buat mendirikan sebuah resto, tempat yang
  nantinya bisa menghidupi diri kami sendiri. Lalu mengapa kami hanya berdua
  setiap hari mengelilingi kota Paris buat mencari resto itu? Karena teman
  lain sedang bertugas belajar bahasa Perancis, belum selesai dari
  kewajibannya, dari asrama. Dan ada juga yang sedang mengikuti penataran
  lanjutan dari bahasa-dasar yang diperolehnya. Tetapi setiap minggu satu
  kali kami selalu mendiskusikan hasil "perjuangan" beberapa hari itu, 
  dan
  "pasang strategi" lanjutannya buat bagaimana kalau suatu hari resto 
  itu
  didapatkan tetapi uangnya belum ada. Sedangkan resto itu kalau tak
  cepat-cepat dibeli, akan jatuh ke tangan orang lain. Masalah ini selalu
  menjadi pendiskusian antara kami "beberapa tukang-sepatu" tadi itu, 
  buat
  menyaingi "kepandaian seorang Jenderal Chu Kuo-liang", beradu strategi 
  dan
  taktik-perang. Dan hari-hari selanjutnya pekerjaan akan jauh lebih rumit
  dan sulit, sebab seandainyapun ada dan terdapat sedikit saja "kemenangan"
  maka buat mempertahankan dan mencapai kemenangan yang lebih besar adalah
  bukan main banyaknya minta tenaga dan pikiran.
Paris 20 Maret 1999
 
 
  
  © Sobron Aidit. 
  All rights reserved.
  Hak cipta dilindungi Undang-undang.